Menuju konten utama

Masalah Kronis Kemudahan Berbisnis di Indonesia

Selama dua tahun Jokowi sudah dua kali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang menekankan soal percepatan perizinan dan investasi.

Masalah Kronis Kemudahan Berbisnis di Indonesia
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (tengah) memperhatikan petugas mengoperasikan sistem perizinan angkutan sewa khusus berbasis daring saat diluncurkan di Jakarta, Minggu (16/7).ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Presiden Joko Widodo punya gondok akut pada soal perizinan dan investasi di Indonesia. Di berbagai kesempatan, ia kerap mengkritisi masalah perizinan yang sudah kronis. Paling anyar, ia mengeluhkan proses perencanaan sekuritisasi pendapatan PT Jasa Marga Tbk yang sempat lamban.

Ia protes pada proses persiapan yang memakan waktu sampai sembilan bulan. Padahal menurut Jokowi, gagasan itu sudah disampaikan Menteri BUMN Rini Soemarno sejak tahun lalu, sehingga harusnya bisa diselesaikan dalam waktu yang lebih ringkas.

“Saya enggak tahu urusan paling ruwet ada di mana, saya tanya-tanya kok belum selesai-selesai,” katanya dalam acara peluncuran sekuritisasi aset di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (31/8).

Baca juga:Jokowi Keluhkan Lamanya Proses Sekuritisasi Jasa Marga

Dalam kesempatan yang sama Jokowi mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi XVI tentang percepatan penerbitan perizinan berusaha dari tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan yang sebenarnya sudah ada sejak Paket Kebijakan Ekonomi II saat September 2015 diluncurkan. Ini menandakan masih ada persoalan yang dirasa belum sesuai harapan. Presiden Jokowi memang menargetkan Indonesia bisa masuk 40 besar di antara seluruh negara di dunia dalam urusan kemudahan berbisnis.

“Ini juga kita perbaiki terus. Jangan dipikir kita sudah berhenti, tidak! Saya sampaikan pada Menteri, target saya peringkat 40, itu target jangan ditawar,” tegas Jokowi.

Dengan adanya Paket Kebijakan Ekonomi XVI, Jokowi ingin aturan tentang reformasi perizinan usaha lebih luas diterapkan di semua instansi. Sehingga prosesnya terpusat dan tak lagi perlu makan waktu lama.

Baca juga:Perizinan Butuh Beberapa Jam Saja pada 2018

Capaian soal kemudahan berbisnis di Indonesia memang belum optimal. Catatan The World Bank Group tentang ranking kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business Index) di seluruh dunia, Indonesia menempati posisi ke-91 pada 2017. Di ASEAN, Indonesia masih menempati posisi ke-6 dari 10 negara. Angka ini jauh tertinggal dari negara tetangga, Singapura, yang berada di posisi ke-2 di seluruh dunia dan posisi pertama di ASEAN. Indonesia pun masih di bawah Vietnam, apalagi Brunei Darussalam atau Thailand dan Malaysia.

Di Singapura, pemerintahnya mereformasi sistem perizinan membuat usaha dengan menciptakan online one-stop shop—sebuah perampingan administrasi perizinan yang dilakukan secara online dan di satu tempat. Waktu mengurusnya, yang memakan 2,5 hari, memang masih relatif lama ketimbang negara lain seperti Hong Kong atau Selandia Baru, tapi hal tersebut yang membuat peringkat Singapura naik dari tahun sebelumnya yang menempati posisi ke-3.

Dalam 10 indikator yang dihitung untuk menentukan kemudahan berbisnis sebuah negara, Singapura meningkatkan performa di empat sektor, antara lain dalam kemudahan memulai bisnis (naik satu peringkat), urusan izin konstruksi (naik 14 peringkat), mendaftarkan properti (naik tiga peringkat), dan pembayaran pajak (naik satu peringkat).

Pemusatan gedung perizinan seperti di Singapura juga ditargetkan Jokowi dalam waktu dekat bisa benar-benar terealisasi. “Awal tahun depan, Januari atau Februari 2018, kita harus memiliki satu gedung yang khusus urusan perizinan,” katanya.

Target baru Jokowi ini kembali menunjukkan bahwa masih ada persoalan dalam sistem perizinan dan investasi di Indonesia. Padahal, konsep mirip-mirip seperti di Singapura sudah ada dalam wadah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang dibentuk sejak Januari 2015. Namun, PTSP saat ini masih bersifat semu karena tak semua perizinan di kementerian atau lembaga bisa ditangani di BKPM, apalagi PTSP di daerah yang masih jauh dari harapan karena belum terkoneksi.

“Dulu juga sangat sulit urusan di BPKM, sampai bertahun-tahun. Nyatanya sekarang bisa tiga jam terbit delapan izin. Saya juga sampaikan kepada para Menteri jangan sampai bulanan atau tahunan,” ungkap Jokowi.

Apa yang dikatakan Jokowi memang ada benarnya, untuk beberapa perizinan sudah ada kemudahan terutama dalam hal kecepatan waktu yang dalam hitungan jam saja untuk indikator kemudahan memulai usaha. Pada 2015, Kepala BKPM sudah mengeluarkan peraturan tentang Layanan Cepat Investasi 3 Jam di Kawasan Industri. Ini menjadi bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi II yang keluar September 2015--paket kebijakan ekonomi pendahulu.

Infografik Seberapa Mudah berbisnis di asean

Kemudahan Belum Sesuai Harapan

Target Jokowi menginginkan Indonesia berada di posisi 40 besar dalam kemudahan berbisnis memang sangat mungkin terjadi. Bila menilik capaian dalam dua tahun terakhir, memang ada perubahan dan perbaikan, tapi tak signifikan. Layanan percepatan perizinan dan beberapa regulasi yang mempermudah perizinan selama dua tahun terakhir memang membuat ranking Indonesia membaik dalam kemudahan berbisnis.

Pada 2015, kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat ke-114, lalu naik menjadi peringkat ke-109 di 2016. Pada tahun ini makin membaik menjadi di peringkat ke-91 atau naik 15 poin. Catatan yang lebih positif memang terjadi pada bagian indikator kemudahan memulai usaha yang naik 16 poin dari 167 pada 2016 menjadi 151 pada 2017. Ini bisa dilihat dari layanan izin 3 jam di kawasan industri, adanya pemangkasan waktu pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).

Namun, secara keseluruhan peringkat kemudahan berbisnis masih jauh dari harapan meski beberapa program sudah dikerjakan. Ini karena selain masalah kemudahan memulai usaha, ada indikator lain tentang proses mendapatkan listrik. Beruntung peringkat Indonesia memang juga mengalami kemajuan pada indikator ini.

"Indonesia membuat proses untuk mendapatkan sambungan listrik lebih cepat," tulis situs Doing Business. Pasokan listrik juga ditambah, sehingga mempermudah permintaan pemasangan baru.

Perbaikan memulai bisnis dan kecepatan mendapatkan listrik jadi sumbangsih meningkatnya peringkat Indonesia naik ke-100 besar. Perbaikan ini bukan tiba-tiba, sejak hampir tiga tahun lalu, perkara perizinan listrik juga sering diproteskan Presiden Jokowi.

Selain dua indikator kemudahan memulai usaha dan mendapatkan listrik, masih ada pekerjaan rumah yang harus dibenahi terkait indikator lain dalam kemudahan berbisnis, yaitu urusan izin konstruksi, mendaftarkan properti, dan pembayaran pajak yang harus dibenahi. Pembenahan ini memang harus berkejaran dengan momentum dan persaingan antar negara yang sedang terjadi.

Menurut Jokowi, Indonesia harus memanfaatkan posisinya kini sebagai salah satu negara tempat berinvestasi paling menggiurkan di dunia. Berdasarkan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTD), Indonesia kini memang berada di posisi ke-4 sebagai negara tujuan berinvestasi, naik empat peringkat dari posisinya tahun lalu di posisi ke-8. Investasi yang melonjak diharapkan akan berdampak baik bagi ekonomi dan pembangunan Indonesia.

Baca juga:Saat Ini Momentum untuk Investasi, Tunggu Apalagi?

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, melihat indikator yang sama, ia juga memperhatikan kinerja realisasi investasi Indonesia yang masih di bawah target. Menurutnya, salah satu penyebab hal itu terjadi adalah urusan administrasi di Indonesia yang masih bertele-tele. Capaian target rasio investasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rentang 2012 hingga 2016 hanya 32,7 persen. Angka ini lebih rendah dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang sebesar 38,9 persen pada 2019.

“Kendati Indonesia sudah masuk sebagai negara layak investasi, namun realisasi dan kecepatan untuk mulai berusaha belum seperti yang diharapkan,” ujar Darmin, dikutip dari Antara.

Selain adanya Perpres, Darmin juga merasa perlu merombak paradigma para birokrasi dari ‘pemberi izin’ menjadi ‘melayani’. Bila ini tak diubah maka persoalan kemudahan berbisnis yang masih menjadi masalah kronis belum akan terpecahkan. Target angka-angka yang tinggi hanya akan berakhir tanpa hasil di tengah persaingan ketat dengan negara tetangga yang juga tak berdiam diri.

Baca juga artikel terkait INVESTASI atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra