tirto.id - Sebuah pepatah klasik berbunyi: “Kekuatan yang paling besar bukanlah kekuatan uang melainkan kekuatan politik.” Pepatah itu berlaku buat para tiran dunia seperti Hosni Mubarak, Soeharto, Idi Amin, dan banyak lagi di abad 20. Untuk abad ini, Paul Kagame dari Rwanda masuk dalam klub di atas.
Paul Kagame, yang sudah berkuasa sejak 2000 dipastikan kembali memegang posisi orang nomor satu Rwanda untuk beberapa tahun ke depan. Pemilihan umum yang digelar pada Jum’at (5/8/2017) lalu memenangkan Kagame dengan perolehan suara hampir absolut; 99 persen.
Kemenangan Kagame bakal sulit terwujud apabila tidak terjadi perubahan mendasar dalam tubuh konstitusi Rwanda. Dengan prosesi amandemen yang menghapus ketentuan batas maksimal dua periode untuk jabatan presiden, seketika akses Kagame ke Istana pun mulus. Hampir 98% anggota dewan menyetujui amandemen tersebut.
Kagame bersaing dengan dua kandidat, Frank Habineza dari Partai Demokratik Hijau serta Philippe Mpayimana dari kubu independen. Sebetulnya terdapat juga kandidat lain yang diusung lewat jalur independen, Diane Rwigara seorang aktivis HAM dan pengusaha. Sayangnya, pencalonan Rwigara dicoret oleh Komisi Pemilihan Nasional walaupun persyaratan sudah terpenuhi.
Kemenangan boleh dipastikan, tetapi dugaan maupun kritik terhadap kecurangan pemilihan umum mustahil ditepis. Dua penantang Kagame mengeluhkan intimidasi kepada para pendukung mereka. Kandidat-kandidat lainnya juga menuduh pihak berwenang telah melakukan intervensi terhadap agenda kampanye. Seperti dilaporkan The Guardian, Habineza menyatakan “Kami masih diperlakukan bak musuh … tapi sejauh ini ada kemajuan: tak ada orang partai kami yang dibunuh, dipenjara, atau dianiaya.”
Setelah hasil perhitungan suara diumumkan, Kagame menyatakan akan bekerja maksimal untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Bukan tanpa sebab Kagame memfokuskan diri pada ekonomi mengingat selama beberapa dekade terakhir catatan positif melekat pada kebijakan-kebijakan Kagame, misalnya turunnya angka kematian bayi, tingkat kemiskinan, sampai kenaikan tingkat melek huruf. Tak sebatas perbaikan ekonomi, kepada para pendukungnya Kagame menjanjikan lebih lagi proyek pembangunan sekolah, jalan, dan klinik kesehatan.
Baca juga:
“Masih ada waktu tujuh tahun lagi untuk menangani masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan rakyat Rwanda. Dan sudah menjadi tugas kita memastikan rakyat Rwanda berkembang secara nyata di bidang ekonomi,” ucap Kagame dalam sebuah pidato usai kemenangan.Paul Kagame dikenal sebagai pemimpin yang menghentikan konflik antara etnis Hutu dan Tutsi pada 1994. Konflik yang terjadi selama tiga bulan itu tersebut berujung pada genosida yang menewaskan 500.000 warga Rwanda. Meski muncul ketidakpuasan akibat pengangguran dan beberapa isu lainnya, Kagame masih populer di mata rakyatnya.
Represi Senyap
Tak sulit bagi Kagame untuk merebut hati enam juta rakyat Rwanda agar memilihnya lagi. Pesona karismatik sebagai pembawa perdamaian turut mengerekelektabilitas Kagame. Dalam tiga pemilihan terakhir, perolehan suaranya mencapai lebih dari 90%.
Dalam pemilu pertama, Kagame memberanikan diri untuk membenahi keadaan Rwanda yang baru saja babak belur dihajar konflik. Dengan menjadikan Korea Selatan dan Singapura sebagai contoh, Kagame berharap melanjutkan pembangunan ekonomi yang ideal.
Pelan-pelan, kondisi Rwanda membaik. Di bawah komando Kagame, Rwanda mulai membangun infrastruktur ekonomi: membuka pabrik tepung jagung pertama, memperbaiki jaringan jalan, membangun bandar udara, mendirikan perusahaan penerbangan nasional, dan akhirnya meraih status sebagai salah satu pusat bisnis di Afrika dengan menyelenggarakan konferensi-konferensi tingkat regional. Perlahan tapi pasti, ekonomi Rwanda tumbuh dengan angka rata-rata 7% per tahun.
Kesan pertama: semua berjalan sesuai rencana. Jalan-jalan tak dipenuhi sampah, pelayanan dari aparat yang ramah, keterbukaan terhadap penanam modal digencarkan, dan penghormatan terhadap perempuan dijunjung tinggi. “Jika perempuan ditindas, maka tak ada kata lain selain perang karena hal ini dapat dibenarkan,” ungkapnya pada suatu waktu.
The Economistmenguak kenyataan pahit di balik pembangunan Rwanda. Pelanggaran hak asasi manusia, berat atau ringan, mengiringi pemerintahan Kagame. Media ditekan, anggota partai oposisi dianiaya, bahkan beberapa mantan pejabat senior dihabisi nyawanya kendati sudah mengungsi ke luar negeri (kematian mantan kepala intelijen di sebuah kamar hotel Afrika Selatan dan ditembaknya mantan menteri dalam negeri di Kenya adalah dua contoh utama).
Menurut laporan pengawas media internasional Reporters Without Borders, dalam dua dekade terakhir kondisi kebebasan pers di Rwanda sangat memprihatinkan; delapan wartawan dibunuh atau dihilangkan, 11 orang dibui, dan 33 lainnya terpaksa melarikan diri dari Rwanda.
Amnesty International mengatakan Rwanda bahwa sedang menghadapi iklim ketakutan yang tumbuh selama bertahun-tahun bersama tindak represi terhadap oposisi, wartawan, dan pegiat hak asasi manusia. Mereka yang melawan dipenjara, diserang secara fisik, bahkan dibunuh, atau mungkin dibuang ke pengasingan.
Untuk menilai Kagame, orang perlu menilik reputasinya yang dimulai 23 tahun lalu, ketika dia dan pasukannya mengambilalih sebuah negara yang kacau. Seperti yang digambarkan Johan Pottier lewat bukunya Re-Imagining Rwanda: Conflict, Survival, and Disinformation in the Late Twentieth Century (2002), ketika konflik etnis meledak, sebesar 85% komposisi penduduk Rwanda adalah etnis Hutu yang sejumlah elitnya mendalangi kematian 500.000 etnis Tutsi. Kagame berupaya merebut kekuasaan agar bencana kemanusiaan tidak terulang lagi.
Seiring berjalannya waktu, ambisi Kagame untuk memburu etnis Hutu semakin menjadi-jadi. Kagame terus mengejar orang Hutu kemana pun mereka melangkah, sekalipun mereka mengungsi keluar negeri. Tak ada toleransi; semua harus dibantai.
Baca juga: Perburuan Albino di Afrika
Beberapa pendapat mengatakan, keberanian Kagame menghajar musuh-musuhnya sekaligus menyembuhkan luka di masa lalu dibekingi oleh Amerika Serikat dan Inggris. Nii Akuetteh, analis asal Ghana yang juga mantan direktur lembaga Afrika Action yang berbasis di Washington, menyebut Kagame sebagai “salah satu tiran Amerika.”
Dalam “Do We Understand Life after Genocide? Center and Periphery in the Construction of Knowledge in Postgenocide Rwanda,” Bert Ingelaere menyatakan bahwa obsesi Kagame untuk mempertahankan kekuasaan tak bisa dilepaskan dari ketakutan akan kebangkitan Hutu yang kelak berpotensi merusak kehidupan orang Tutsi. Atas dasar itu, Kagame tak ragu mengerahkan pasukannya, Front Patriotik Rwanda (FPR), untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat, menganalisis kemungkinan pemberontakan, dan mengekang kebebasan. Setiap kritik dipandang sebagai hasutan dan ancaman bagi kekuasaan.
Upaya Kagame membangun Rwanda tak bisa dipungkiri membuatnya populer. Ia dengan gencar meningkatkan fasilitas kesehatan, mengawasi target para menteri guna melihat seberapa jauh program dapat dilangsungkan, dan meningkatkan neraca perekonomian. Sayangnya, kebijakan-kebijakan yang disebut pro-rakyat itu dirusak dengan keputusan Kagame untuk mengakumulasi kekuasaan dengan represi.
Rwanda masih memegang status sebagai salah satu negara termiskin di dunia dengan sedikit sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang memadai. Kondisi negara yang jauh dari gemerlap metropolitan, ditambah lagi dengan faktor-faktor penghambat pembangunan, menuntut perhatian banyak dari pemerintah.
Pada 1994, saat konflik etnis meletus Kagame diusung sebagai pahlawan karena mengangkat Rwanda dari jurang kesengsaraan. Tapi hari ini, Kagame adalah bagian dari masalah Rwanda.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf