tirto.id - Coba ingat-ingat lagi. Milly (Sissy Priscillia) dan Mamet (Dennis Adhiswara) tidak pernah dekat (apalagi mesra) dalam Ada Apa dengan Cinta? (AADC, 2002). Mamet, si anak cupu, terlihat mencoba untuk akrab dengan semua yang ada di geng Cinta (Dian Sastrowardoyo).
Lanjut ke awal film AADC 2, Mamet dan Milly tiba-tiba sudah menjadi pasangan rumah tangga. Mau punya anak pula. Penulis naskah Ernest Prakasa akhirnya punya tanggung jawab untuk menerangkan asal-usul hubungan mereka di film terbaru yang ia sutradarai dan tulis naskahnya, Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga).
Status film ini adalah spin-off sehingga mencoba keluar dari jalan cerita AADC. Meski demikian, film masih menyertakan para pemain utamanya sebagai figuran (minus Nicholas Saputra dan Ladya Cheryl).
Geng Cinta diceritakan sedang nongkrong di sebuah klab malam tanpa pasangan, kecuali Milly yang ditemani pacarnya, Rama (Surya Saputra). Rama tipikal orang yang kaku, gampang diganggu kerjaan, tidak suka keramaian, sehingga ia memutuskan untuk pulang duluan.
Milly kemudian diantar pulang oleh Mamet memakai mobil tua yang di AADC pertama dipakai geng Cinta untuk mengejar Rangga ke bandara. Lalu mulailah terjadi obrolan intim. Saat mobil mogok di tengah jalan, Milly menolak ikut mobil Cinta sebab memilih untuk menunggu montir bersama Mamet. Benih cinta bersemai, dan keduanya menikah setelah menjalani masa pacaran.
Terlalu instan? Well, sepenggal kilas balik itu hanya semacam prelude sebelum masuk ke cerita utama. Fokusnya ada pada dinamika rumah tangga Milly dan Mamet, terutama setelah kelahiran anak pertama mereka yang bernama Sakti.
Akhir November lalu, Pandji Pragiwaksono mengunggah vlog obrolannya dengan Ernest perihal film yang terasa seperti judi ketimbang investasi. Pandji curhat mengenai peforma buruk Partikelir (2018), film yang ia sutradarai, tulis skenarionya, dan sekaligus bintangi.
Ia penasaran mengapa film-film Ernest bisa lebih sukses menarik penonton. Ernest kemudian menjawab kuncinya ada di cerita yang dekat dengan penonton, atau yang ia istilahkan dengan relatable.
Ernest menjelaskannya sebagai investasi emosional. Film akan lebih erat mengikat penonton jika penonton merasa dekat dengan karakternya, konfliknya, hingga perjuangan tokoh-tokohnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, performa Partikelir buruk sesederhana karena pekerjaan sebagai detektif swasta tidak populer di Indonesia. Ia menambahkan bahwa kata kuncinya adalah menampilkan sesuatu yang “primal”, atau sesuatu yang secara mendasar, yang bisa dirasakan oleh orang banyak.
Jika AADC pertama adalah tipikal kisah cinta anak SMA dan yang kedua lebih seperti iklan pariwisata pemerintah Yogyakarta dalam bungkus kegalauan masa lalu, Ernest mencoba menyentil para orangtua muda dengan menjadikan Milly & Mamet sebagai film lebih membumi bagi mereka.
Pertama, bahwa mengurus anak (pertama) itu super-melelahkan. Milly menyadari betapa berharganya waktu sarapan yang tenang saat Sakti masih tidur. Atau saat tetangganya Jojo (Eva Celia) berkunjung ke rumah karena bisa menuntaskan rindu “ngobrol bareng orang dewasa”.
Kedua, bahwa bekerja di bidang yang bukan diidam-idamkan itu amat menyiksa. Mamet mengurus pabrik konveksi ayah Milly, Pak Sony (Roy Marten). Padahal, ia lulusan Tata Boga yang bercita-cita punya restoran sendiri, atau setidaknya jadi juru masak, sebagaimana profesi teman-temannya.
Pak Sony tipikal orang bertangan besi, sementara Mamet lembek. Saat Mamet belajar membuat keputusan sendiri, ia justru didamprat Pak Sony. Mamet tak tahan lagi. Apalagi Milly syok melihat murka ayahnya. Ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Milly mendukung jika Mamet ingin kembali jadi tukang masak.
Saat Mamet sudah berhasil menapaki bisnis restoran berkat bantuan temannya Alexandra (Julie Estelle), gantian Milly yang tergoda berkarier. Ia berhasil meyakinkan Mamet untuk menggantikan posisi kepala pabrik ayahnya. Tapi, di saat kemapanan karier tercapai, konflik baru muncul karena pengasuhan Sakti terganggu.
Bukan presmis 100 persen orisinal? Ya. Menumpang reputasi AADC sebagai salah satu film drama paling legendaris serta berisi aktor-aktris terkenal? Tentu saja.
Tapi untungnya Ernest mengambil peluang ini tidak untuk semakin mewaralabakan kisah cinta ala Cinta-Rangga. Ia justru mengambil penggalan narasi yang baginya lebih nyambung untuk ditonton orang-orang dewasa.
Ernest mengolah skenario dengan berkaca dari kehidupan rumah tangga yang sudah sering ia jadikan bahan lelucon selama melakukan stand-up. Melalui medium film, ia membungkus Milly & Mamet sebagai drama dengan pesan-pesan yang bisa dipetik dengan mudah (bagi saya juga sudah bisa ditebak sejak awal).
Khas film-film yang Ernest tulis sendiri skenarionya, ada unsur komedi. Ernest menyewa komedian stand-up Acho sebagai konsultan yang bertugas mengolah humor dalam dialog. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan komedi dalam narasi dramanya, demikian mengutip pemberitaan media.
Yang agak mengganggu adalah kesan bahwa Ernest terjebak untuk memadatkan drama dan komedi ke dalam seluruh adegan. Seakan ia mewajibkan tiap adegan untuk mengandung unsur dramatis atau humoris. Pilihannya antara penonton tergerak secara emosional, atau tertawa.
Saya hampir tak bisa “bernapas” karena jarang sekali ada adegan yang netral dari kedua unsur tersebut. Beberapa bagian bahkan sudah dalam level mengganggu. Pemaksimalan unsur komedi, misalnya, sampai memunculkan tokoh-tokoh figuran seperti Rika (Isyana Sarasvati) yang sebenarnya garing.
Rika adalah sekretaris James (Yoshi Sudarso), pacar Alexandra dan investor restoran Mamet. Karakternya absurd. Terlepas dari Isyana yang memang bukan aktris berpengalaman, sosoknya terasa dipaksakan untuk ada saat film sudah dipenuhi oleh komedian-komedian muda.
Guyonannya didasarkan pada kecintaan absurd Rika pada binatang peliharaannya. Ia pernah tiba-tiba masuk ke ruangan James saat James sedang rapat dengan Alex dan Mamet untuk izin pulang karena kucingnya yang bernama Si Anjing sakit, dan dengan santai menitipkan ikan emas peliharaannya ke James.
Kelakuan tersebut tidak hanya garing, setidaknya menurut saya. Tapi juga hampir tak mungkin dilakukan seorang sekretaris di dunia nyata.
Meski dialog-dialognya sudah cukup humoris, mengapa Ernest memaksakan komedinya keluar dari jalur realisme seperti yang dilakukan Rika? Termasuk dengan menghadirkan polisi yang menilang Mamet hanya karena Mamet tidak meng-update aturan berlalu lintas yang baru di akun Instagram si polisi?
Di luar itu semua, Ernest adalah storyteller yang cukup jago membawakan cerita-cerita bernuansa humanis melalui medium film. Milly & Mamet memang masih dalam 'AADC universe'. Tapi, setidaknya ia memberikan alternatif cerita yang lebih mampu mengundang empati Anda-Anda: yang muda dan berumah tangga.
Editor: Windu Jusuf