Menuju konten utama
Obituari

Ali Shahab dan Film-Film yang Tidak Meracuni Rakyat

Bagi Ali Shahab, menyajikan hiburan yang mudah dikunyah masyarakat bukan berarti mengabaikan nilai-nilai.

Ali Shahab dan Film-Film yang Tidak Meracuni Rakyat
Ali Shahab. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ali Shahab meninggal dunia pada Selasa, 25 Desember 2018. Sutradara yang memopulerkan Muhammad Sulaeman alias Mat Bolot sebagai komedian budek lewat Pepesan Kosong itu mengembuskan napas terakhir di usia 77.

Lahir di Jakarta pada 22 September 1941, Ali menyukai kesenian sejak duduk di bangku SMP. Mula-mula ia kursus melukis dan berhasil menyelesaikan kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta pada 1958-1963. Setelah lulus, ia aktif sebagai wartawan di sejumlah media massa, salah satunya sempat menjadi pemimpin redaksi Indonesia Jaya.

Ia juga pernah menjadi pembuat karikatur, aktif di dunia teater, dan penulis novel. Naskah-naskah novelnya banyak yang diangkat ke layar lebar, sehingga membuat kariernya di dunia film semakin bersinar.

Mula-mula Ali Shahab terlibat dalam film Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966) arahan sutradara Misbach Yusa Biran sebagai penata artistik. Setelah itu ia seolah menghilang, dan baru kembali ke dunia film di awal 1970-an saat berkenalan dengan Suzana dan Dicky Suprapto pemilik Tidar Jaya Film.

“Mereka inilah yang kemudian memberikan kepercayaan pada Shahab untuk jadi sutradara film-film mereka,” tulis Kompas edisi 24 Februari 1976.

Film Beranak dalam Kubur (1972)yang dibintangi Suzana banyak disebut sebagai karya pertamanya sebagai sutradara. Namun, sebagian sumber lain menyebutkan film yang diangkat dari komik “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH itu disutradarai Awaludin. Kemungkinan lain adalah film ini disutradarai mereka berdua, atau Ali Shahab bertugas sebagai asisten sutradara.

Salah satu sumber yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa Beranak dalam Kubur bukan karya pertamanya adalah Kompas edisi Jumat, 14 September 1973, yang membahas film Bumi Makin Panas.

“Terlalu berlebihan untuk menuntut terlampau banyak dari seorang Ali Shahab yang pertama kali bekerja sebagai sutradara film. Namun, jika yang diharapkan adalah tontonan yang tidak bermokal-mokal, tidak diruwetkan oleh pretensi yang macam-macam dan lumayan menghibur, inilah dia Bumi Makin Panas (Tidar Jaya Film) hasil kerja pertamanya tersebut,” tulis Kompas.

Sebagai karya pertamanya—jika mengacu pada KompasBumi Makin Panas (1973) dianggap tidak terlalu berhasil sebagai sebuah film yang baik dan menimbulkan kebingungan penonton.

Dalam catatan Kompas, meski kisahnya cukup jelas, film ini disajikan lewat pendekatan periodisasi dan dieksekusi Ali Shahab secara kering dan skematis. Ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran seorang sutradara yang tengah berproses pada fase awal kariernya.

Kalau Masih Banjir, Jangan Bikin Roket

Tahun 1960-an, saat ia masih menjadi wartawan, Ali Shahab menulis novel Tante Girang yang membuatnya menjadi populer.

“Dengan novel yang dicetak tiga kali itu saya berhasil liburan di Singapura selama dua bulan. Dan di sana (Singapura) timbullah novel berikutnya. Kejadian ini memang nampaknya fantastis. Hanya karena satu novel itu saya disebut orang sebagai penulis, sebagai novelis. Maka karena sebutan itu pula saya meneruskan karir jadi penulis,” katanya seperti dikutip Kompas edisi 24 Februari 1976.

Bagi sebagian kalangan, terutama yang bergelut di bidang sastra, sejumlah novel yang ditulisnya dianggap sebagai karya pop dan bertujuan murni komersial. Ini tidak ia sanggah. Ali Shahab bahkan menegaskan bahwa baginya komersial itu adalah sesuatu yang adil dalam dunia hiburan.

Lagi pula, imbuhnya, ia tak terlalu hirau dengan nilai kesenian atau nilai sastra dalam novel-novelnya yang banyak diadaptasi menjadi film. Ia hanya berusaha menulis baik dan karyanya ingin dibaca banyak orang.

“Di samping menulis yang baik, saya ingin tulisan saya dibaca sebanyak mungkin orang. Buat apa film saya dihadiahi piala banyak, sementara cuma ditonton segelintir orang. Saya tidak mau jadi sineas yang kesepian,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa meski karya-karyanya ditujukan agar dibaca sebanyak mungkin orang, tapi tidak serta-merta membuatnya lalai dengan mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut.

“Saya sekarang jadi ‘sesuatu’ kan karena banyak orang yang membaca novel atau melihat film saya. Saya kan tidak mau kehilangan mereka. Komunikasi itu harus dibina terus. Tapi di pihak lain, saya harus berikan dagangan saya yang baik dan tidak meracuni mereka,” ucapnya.

Ia tidak berusaha menyajikan persoalan-persoalan rumit dalam karyanya. Ia ingin menghibur masyarakat tanpa abai terhadap kualitas karyanya. Agar filmnya laku di pasaran, Ali Shahab kerap menonton banyak film saat ia bepergian ke luar negeri. Selain itu, ia juga rajin berkomunikasi dengan para importir dan produser film untuk membicarakan kecenderungan film yang tengah digandrungi masyarakat.

Ali Shahab mengumpamakan kondisi masyarakat saat itu, yang menjadi sasaran karya-karyanya, dengan ambisi kemajuan teknologi yang tidak berjejak pada persoalan keseharian.

“Kalau rakyat masih ngurusin banjir janganlah kita bikin roket untuk ke bulan. Kita tidak jadi pahlawan dengan sikap demikian itu. Tanggulangilah banjir itu, maka rakyat tentu akan berterimakasih,” ungkapnya dalam Kompas edisi 24 Februari 1976.

Tersingkir dari Televisi

Ketika hiburan di televisi mulai digemari masyarakat, Ali Shahab pun merintis kariernya di dunia baru itu. Pada 1980-an, ia melahirkan serial Rumah Masa Depan yang selalu ditunggu pemirsa TVRI. Ia juga membidani lahirnya sinetron Nyai Dasima dan Angkot Haji Imron.

“Ali Shahab tidak tanggung-tanggung terjun ke dunia sinetron. Dialah orang pertama yang memiliki studio lengkap di atas tanah seluas 15 hektar di Pacet, Cianjur. Maka, gelar sebagai pelopor [sinetron] sebenarnya lebih pantas buat dia ketimbang tokoh yang lain,” tulis Ilham Bintang dalam Mengamati Daun-daun Kecil kehidupan (2007).

Namun, bertahun-tahun kemudian, saat stasiun televisi telah begitu banyak, namanya perlahan mulai dilupakan. Ini karena ia tidak mau berkompromi dengan sejumlah stasiun televisi yang menurutnya terlalu mengejar rating dengan menggadaikan mutu program-program yang mereka tayangkan.

Infografik ALi Shahab

Infografik ALi Shahab

Dalam sebuah acara selamatan produksi sinetron yang menekankan unsur pendidikan, ia berkata kepada Ilham Bintang, “Aku bertapa di sini. Aku tak sanggup mengikuti jalan pikiran para programmer televisi. Mereka menjungkir balikkan nilai-nilai.”

Ungkapannya itu seolah-olah menegaskan bahwa meski dari dulu ia menggarap karya-karya yang dianggap terlampau komersial, ia selalu sadar bahwa masyarakat yang menggandrungi karya-karyanya tidak boleh dianggap hanya sebagai pasar. Baginya, harus ada semacam tanggung jawab sosial di balik karya tiap penulis atau sutradara.

Dalam lagu pembuka Pepesan Kosong yang santai, cair, dan menghibur, terdapat sepenggal lirik yang berbunyi:

“Pepesan kosong lagu Betawi/lagu Betawi ada bukan Semarang/paling kasian anak Betawi/paling kasian anak Betawi/negerinye ilang diambil orang/Senayan digusur/Kebayoran digusur/Kuningan digusur/engkong digusur/encang digusur/buyut digusur/encing digusur”

Lirik tersebut barangkali menunjukkan sikapnya terhadap kesenian yang bertahun-tahun ia geluti. Kesenian yang “menanggulangi banjir” dan “tidak meracuni”.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Ivan Aulia Ahsan