Menuju konten utama
Lukman Sardi

"Film Bagus Tak Boleh Elitis, Literasinya Harus Sampai ke Daerah"

FFI kini bukan panitia Piala Citra saja, tapi penggerak program literasi film yang siap berkolaborasi dengan pemda. Industri film sedang tumbuh. Lukman harap bukan soal jumlah penonton saja.

Ilustrasi Lukman Sardi. tirto.id/Sabit.

tirto.id - Industri film Indonesia sedang tumbuh. Menurut catatan Bicara Box Office, jumlah penonton film Indonesia di bioskop pada 2018 sudah melampaui total di tahun 2017. Tapi kemajuan bukan perkara kuantitas saja. Festival Film Indonesia (FFI) mencoba hadir untuk menjaganya dari sisi kualitas.

Tanggung jawabnya ada di pundak Lukman Sardi, ketua Komite FFI periode 2018-2020. Dalam wawancara bersama jurnalis Awal Hasan dan fotografer Havitz Maulana dari Tirto di kantor MNC Studios, Jakarta (19/12), Lukman mengungkap visi dan program baru FFI yang kini menjelma sebagai entitas mandiri.

Salah satunya adalah peningkatan literasi film di daerah, supaya film-film berkualitas tidak lagi elitis dalam soal akses, serta demi menghilangkan kesan Jakarta-sentris. FFI membuka kesempatan kolaborasi bagi pemerintah daerah untuk mengadakan acara terkait film di daerahnya, baik pemutaran, diskusi, hingga workshop.

Lukman tahu masyarakat Indonesia haus akan film-film Indonesia yang bagus. Agar akses dan pemahamannya bisa merata, FFI bukan lagi soal seremonial malam puncak. FFI juga tentang program yang berkelanjutan agar ke depan tidak ada lagi orang yang menyesal karena belum menonton karya para nomine dan pemenang Piala Citra.

Bagaimana penyelenggaraan Piala Citra kemarin? Ada kekurangan? Kabarnya publikasinya kurang?

Kekurangan pasti ada. Persiapan pelaksanaannya yang kurang ideal. Komitenya sendiri baru dibentuk pada pertengahan tahun, sekitar Mei-Juni. Jadi untuk menyiapkan FFI ini bukan untuk seremonial, tapi sebagai program.

Waktunya sangat mepet. Kita bukan hanya kerja sendirian, tapi memerlukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Waktu yang mepet bikin kolaborasi itu jadi tidak maksimal juga, termasuk dengan sponsor, meski yang diajak memang komitmen.

Soal publikasi kembali waktu persiapannya, dan akhirnya soal pilihan. Mau bikin baliho-baliho gede dengan acara yang gitu-gitu aja, apa fokus bikin acara yang lebih esensial? Kita memilih mematangkan acara. Sistem penjuriannya kita matangkan. Bagi kita, urus isinya dulu, bukan luarannya.

Itu untuk tahun ini. Kalau untuk tahun depan, saya tidak bisa pakai alasan yang sama. Proses persiapannya kan sudah sejak awal tahun.

Yang berkesan?

Teman-teman merasa ini pertama kalinya FFI bisa terasa hangat, seperti di rumah sendiri. Benar-benar terasa sebagai acara buat mereka. Juga dikemas dengan tidak bertele-tele. Itu bikin semangat buat ke depannya.

Apa saja program barunya? Sudah ada yang jalan?

Program-programnya sebagian udah ada yang jalan, misalnya kita ke daerah untuk nonton bareng dan diskusi film. Tahun ini baru bisa dua kota, Yogya dan Manado. Untuk tahun depan kita usahakan lebih banyak lagi, sekitar 10 kota, seperti target kita sebelumnya.

Di daerah kita juga bukan mau hura-hura atau jalan-jalan, tapi lebih ke literasi film. Kita bawa film, kita diskusi, baik ke kampus, ke sekolah-sekolah. Salah satu misi kita adalah pemahaman soal film untuk para guru. Para guru ini perlu pemahaman soal film yang bagus, sehingga saat mau mengajar dengan nonton film bareng, mereka tahu film apa yang diputar.

Program lain yang sifatnya lebih extravagant, nanti akan ada Indonesian Movie Week. Seperti Jakarta Fashion Week, tapi khusus untuk film. Tempatnya di ruang publik, seperti mall. Maunya sih tahunan. Selama satu minggu isinya soal film semua.

Mau pemutaran, meet and greet dengan para pemenang Piala Citra, ngobrol bareng, workshop bareng sineas. Fungsinya untuk mendekatkan publik dan industri film. Jadi masyarakat tidak diposisikan sebagai penonton saja, tapi minimal tahu bagaimana industri film bekerja.

Ada yang menilai pemutaran film nominasi FFI pada beberapa hari sebelum acara puncak terlalu singkat?

Itu kan berkaitan dengan jaringan bioskop besar yang kita ajak kerja sama. Mereka juga udah ada antrian film yang harus diputar. Mereka sudah mendukung, meski cuma beberapa hari. Kalau menuntut pemutaran lebih lama, sebulan misalnya, kasihan dong film-film Indonesia baru yang ngantri.

Nah makanya tadi ada rencana Indonesia Movie Week. Bisa juga diadakan pemutaran khusus film nominasi selama satu bulan sebelum penganugerahan. Tujuannya supaya masyarakat juga kenal dengan film-film pilihan di luar kategori populer. Film-film dokumenter, misalnya.

Selama ini masyarakat masih kesulitan mengakses film Indonesia yang berkualitas?

Ya. FFI sekarang bekerja untuk mengarah ke sana. Untuk komersil ada areanya sendiri. Tapi bukan berarti kita menghindari komersil. Film yang masuk nominasi FFI juga banyak yang sifatnya komersil. Kita memang fokus ke kualitas film.

Apa indikator keberhasilan dari program-program baru FFI?

Masyarakat bisa menilai film yang bagus itu yang seperti apa. Jadi perbincangannya bukan soal jumlah penonton lagi. Sineas dan produser kan jadi berlomba juga untuk bikin film yang lebih baik.

Film itu punya pengaruh ke orang. Indonesia narasinya kaya sekali, dari Sabang sampai Merauke. Tapi ini belum dieksplorasi. Bukan berarti kita mesti bikin sesuatu yang tradisional. Cerita folklore, misalnya, tidak dipunyai oleh orang luar, dan bisa jadi premis satu cerita film. Itu goal-nya: kita jadi punya banyak tema cerita yang menarik.

Genre percintaan, misalnya, akan selalu ada. Tapi premisnya apa? Ide, gagasan yang menarik apa? Selain soal estetika, tentu saja. Harapannya ya agar masyarakat melihat kalau film kita itu berwarna.

Berarti masyarakat kita juga belum terpenuhi kebutuhan akan tontonan yang beragam?

Iya. Namanya manusia kan pasti ingin sesuatu yang baru. Meski ada tren, tapi bagaimana agar bisa diimbangi dengan yang bukan tren. Tren film aksi, misalnya, hanya memperhatikan penyuka film aksi. Penyuka genre lain pada akhirnya tidak datang ke bioskop.

Keragamannya juga bukan cuma genre, tapi juga ide. Coba lihat The Others (2001) yang dibintangi Nicole Kidman. Film horor, tapi membawa gagasan baru, premis yang baru, soal siapa hantu yang sebenarnya. Orang menganggapnya menarik. Ini yang terus perlu kita pacu, baik dengan FFI maupun Piala Citra.

Keragaman, yang jadi tema FFI 2018, apakah jadi salah satu standar penilaian ekstra selain tiga kriteria penilaian utama (gagasan dan tema, kualitas estetika, dan profesionalisme)?

Enggak sih. Ketiga kriteria itu tetap jadi standar penilaian utama. Voters juga melihatnya ke situ. Bukan hanya melihat, “Oh, harus beragam nih, harus ada ini ada itu”.

Misalnya, kebetulan saja tahun ini menghadirkan banyak sutradara perempuan yang mengangkat cerita soal sisi personal tokoh, termasuk soal kekerasan terhadap perempuan. Sekala Niskala, contohnya, mengandung ide yang baru, dan diproduksi dengan menarik, dan sangat Indonesia.

Kita lihat Oscar (Academy Awards). Ada masa di mana isu yang naik soal orang kulit hitam, dan para pemenangnya orang kulit hitam juga. Tapi bukan berarti itu salah, karena film tetap jadi bagian dalam masyarakat. Isu memengaruhi pola pikir voters, tapi tidak lari dari kualitas itu sendiri.

Apakah kebaruan dalam FFI juga ditujukan untuk menghindari polemik yang terdahulu? Misalnya kritik soal independensinya?

FFI memang juga tak lepas dari masalah. Seperti dulu film Ekskul yang menang nominasi film, sutradara, dan penata suara di Piala Citra 2006, diprotes karena masalah hak cipta. Saya lupa tahun berapa, tapi juga ada kabar kalau panitia FFI tiba-tiba bisa punya mobil baru.

Ini jadi jejak yang dikhawatirkan orang-orang saat perhelatan FFI digelar. Tidak bisa disalahkan juga, karena memang masalah itu benar-benar terjadi. Ada juga oknum yang ingin terlibat dalam FFI karena dianggap berpotensi menghasilkan keuntungan besar.

Ditambah lagi, beberapa kali FFI dijalankan oleh orang yang beda tiap tahunnya. Padahal untuk kualitas program kan perlu kesinambungan. Tidak bisa terputus-putus. Ya kalau penerusnya punya visi yang sejalan dengan pendahulu. Kalau beda?

Lalu muncul rencana agar FFI dibentuk jadi satu komite seperti Oscar, supaya ada kejelasan, dan ada kesinambungan. Nanti, pelan-pelan, penyelenggaraannya bukan lagi di pemerintah. Pemerintah jadi pihak yang mendukung, sebagai sponsor. Dengan begitu FFI bisa lepas dari monopoli kepentingan, dan tidak diragukan independensinya.

Susahnya lagi, kalau sama pemerintah, kan ada tutup buku di akhir tahun. Muncul masalah lini waktu, karena FFI akan susah jika ingin mengadakan malam puncak Piala Citra di bulan Desember. Harus kejar-kejaran sama laporan keuangan. Kalau independen, waktunya bebas.

Satu masalah lagi, jika penyelenggara utamanya dari satu departemen pemerintah, FFI akan kesusahan cari sponsor. Anggarannya semuanya sudah tersedia. Sponsor akan bertanya, jika sudah ada dananya kenapa mengajak kerja sama. Bahkan departemen pemerintahan lain bisa susah diajak kerja sama.

Kalau seperti sekarang kan kolaborasinya bisa dengan Kemendikbud, Pusbang Film, BEKRAF, dan departemen lain. Swasta juga lebih banyak yang masuk, dan lebih percaya ke FFI karena kepengurusannya sama selama tiga tahun. Meski baru sedikit, mereka komitmen, karena tahu programnya berkesinambungan. Asal bisa satu visi aja.

Pernah ada wartawan yang minta pertanggungjawaban dari panitia. Waktu itu karena penyelenggaranya pemerintah, ya udah. Tapi ke depannya kan enggak begitu karena kita sudah mandiri. Mana pernah media minta pertanggungjawaban ke Oscar. Termasuk soal hasil pemenang, ya itu hak prerogatif panitia.

Setiap festival punya hak prerogatif itu ya?

Tentu saja. Mau Cannes, Sundance, Oscar. Misalnya Festival Film Bandung (FFB), mereka punya penilaian sendiri. Bukan berarti pemenang FFB mesti menang di FFI, atau sebaliknya. Semakin banyak festival, semakin bagus. Referensi masyarakat makin luas.

Festival-festival itu bisa jalan karena industri film Indonesia sedang tumbuh. Itu dari segi kuantitas. Dari segi kualitas bagaimana?

Kuantitas itu penting, karena menunjukkan antusiasme masyarakat Indonesia ke bioskop. Nah di FFI kita dukung di kualitasnya. Keduanya mesti beriringan. Tidak mudah bikin film yang bagus sekaligus menarik banyak penonton. Film-film di Oscar, misalnya, apa selalu yang jadi box office? Jarang.

Ini juga demi membuka pilihan. Terserah, Anda mau nonton film yang komersil atau non-komersil? Yang jelas saya di FFI punya tanggung jawab untuk film yang berkualitas. Bagusnya bisa jalan dua-duanya. Laskar Pelangi (2008) kualitasnya bagus, kuantitasnya juga oke. Berarti bukan sesuatu yang mustahil. Tinggal mencari formulanya.

Problemnya lagi, kita belum punya pendataan khusus secara statistik tentang film yang detail dan jelas. Jadinya pelaku film cuma bisa meraba-raba. Dia tidak punya panduan yang jelas, misal, kalau mau bikin film yang bisa masuk FFI itu yang seperti apa kriterianya.

Catatan untuk sineas, agar tidak kehilangan momentum, tapi juga tidak terjebak pada komersialisasi atau lupa dengan kualitas?

Menurut saya sih tidak ada pembuat film yang ingin bikin film yang jelek. Produksi melibatkan banyak pihak. Kadang produser ambil kontrol terlalu banyak, dan sutradara seharusnya juga jangan kehilangan kekuatan. Kerja ya sesuai porsinya masing-masing. Seharusnya sih sineas juga tidak pernah merasa puas.

Harapannya, bahkan harusnya, FFI bisa jadi benchmark yang jelas. Misalnya, dengan kemenangan Marlina sebagai film panjang terbaik tahun ini, sineas lain terpacu untuk bikin yang lebih baik. Termasuk jadi acuan buat para aktor, penyunting dan pekerja film di kategori lain.

Terkait lokasi penyelenggaraan, apa malam puncak FFI harus digelar di Jakarta? Bagaimana dengan visi soal literasi film di daerah?

Begini, FFI diadakan di Jakarta untuk efektivitas saja, karena hampir semua pelaku industri film ada di Jakarta. Makanya kita terbuka jika ada pemerintah daerah (pemda) mana yang ingin kerja sama. Nanti kita bikin acara di sana.

Ini termasuk sebagai bagian dari pengembangan film lokal. Daripada mereka bikin sendiri, habisin duit, tapi habis itu enggak ada kelanjutannya? Mending kerja sama. Lebih kontinyu. Lebih jelas.

Mau ada diskusi, workshop, kita nanti datangin sutradara dan pihak lainnya. Mau bikin bioskop lokal, mereka punya infrastrukturnya, nah FFI bisa mendukung untuk gimana menjalankan bisnisnya. Kita bahkan bisa bikin nominasi film daerah terbaik di Piala Citra.

Termasuk memutar kembali film-film pemenang Piala Citra?

Iya, betul. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, misalnya, kan menang sebagai film terbaik dan menang di banyak kategori. Lewat kerjasama FFI dan Pemda, pemutaran Marlina di daerah bisa diwujudkan. Biar ke depan tidak ada lagi orang yang bilang, “Oh, kok aku baru tahu ada film Indonesia yang bagus.”

Pemda-pemda sudah tahu soal kesempatan kerja sama dengan FFI?

Seharusnya sudah. Sempat saya sampaikan di satu forum juga. Beberapa pemda juga sudah menyatakan dirinya sebagai sahabat film Indonesia. Artinya mereka membuka kesempatan yang cukup besar untuk pegiat film yang ingin syuting di daerahnya. Mereka mau memfasilitasi. Ini indikasi yang bagus, karena mereka sadar jika industri film bisa mendatangkan devisa yang lumayan.

Film bisa punya efek luar biasa di tingkat lokal. Peter Jackson syuting trilogi The Lord of The Rings di Selandia Baru. Sekarang lokasinya dibanjiri wisatawan. Laskar Pelangi syuting di Belitung yang dulu sepi. Sekarang ramai. Marlina juga bikin orang berkunjung ke Pulau Sumba. Ini menarik.

Kita bisa, misalnya, mendatangkan Peter Jackson untuk berbicara di depan para bupati soal potensi pemasukan daerah melalui industri film (tertawa kecil). Who knows? Indonesia punya banyak lokasi yang bagus.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf