Menuju konten utama

Dari Film, Oleh Film, Untuk Film

Adrian Jonathan Pasaribu bukan hanya mendirikan, mengelola dan menulis kritik film di website Cinema Poetica. Ia bepergian ke banyak kota, berdiskusi sampai mengajar, untuk menghidupkan komunitas pecinta film. Mentornya memberikan pelajaran pentingnya berbagi pengetahuan, termasuk dalam soal film.

Dari Film, Oleh Film, Untuk Film
Adrian Jonathan Pasaribu [Gambar/Sabit]

tirto.id - Adrian Jonathan Pasaribu menyingkirkan laptop yang sejak tadi disuntukinya. Saat tim tirto.id datang, ia masih bergelut dengan beberapa pekerjaan. “Sebentar, ya,” ujarnya sambil menyapa. Kami duduk di depannya sembari menunggu. Ia kembali bekerja.

Adrian—panggilan akrabnya--ditemui sebuah kafe di bilangan Prawirotaman, Yogyakarta. Hari itu kebetulan ia tengah berada di Yogyakarta untuk mengisi serangkaian kelas film di Institut Seni Indonesia (ISI). Begitulah keseharian Adrian: tak bisa lepas dari film.

Adrian Jonathan Pasaribu adalah salah satu pendiri dan pemimpin redaksi laman Cinema Poetica (CP). Ia aktif menulis ulasan-ulasan serta kritik film di berbagai media, seperti filmindonesia.id, Indoprogress, dan Fovea Magazine. Adrian juga terpilih untuk mengikuti Berlinale Talent Campus pada 2013.

Kegiatan-kegiatan Adrian sebagian besar berkisar di ranah komunitas film, khususnya di akar rumput. Ia sempat menjadi kurator dalam ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 dan kurator Festival Film Solo pada 2012 hingga 2014. Aktivitasnya di Cinema Poetica membawa Adrian menyambangi berbagai komunitas-komunitas film hingga ke polosok Indonesia, mulai dari Aceh sampai ke Palu.

Semua itu dilakukannya atas dasar yang sangat sederhana: karena kegiatan mengapresiasi film itu penting.

“Karena buatku itu penting. Mengajarkan anak sekolah paham film itu penting. Atau bikin layar tancep di desa-desa itu penting. Kenapa penting? Sederhana aja, karena tidak ada lagi yang melakukannya,” tandas Adrian.

Bermula dari Kinoki

Adrian bercerita, ketertarikannya pada film muncul sejak dirinya masih kecil. Dibesarkan di Pasuruan, sebuah kota kabupaten di pesisir Jawa Timur, rumah Adrian cukup dekat dengan sebuah bioskop di kota itu. Di sanalah Adrian cilik mulai terpapar oleh beragam jenis film, baik dari Indonesia maupun mancanegara.

“Aku inget banget film pertama yang aku tonton itu Legenda Siluman Ular Putih, cuma aku lupa judul aslinya apa sekarang,” kenangnya. Tak hanya bioskop, Adrian juga sering menonton film lewat televisi atau keping-keping VCD yang biasa disewanya.

Kepindahannya ke Yogyakarta untuk menempuh studi pada 2006 menjadi titik penting dalam kecintaan Adrian terhadap film. Di kota ini, ia dengan leluasa mengakses beragam jenis film di tempat-tempat persewaan VCD. Tempat-tempat itu, kelakarnya, sudah layaknya jadi teman hidup.

“(Waktu awal di Yogya) jangan harapin seriuslah, murni cuma orang yang doyan jalan ke rental jauh-jauh, buat minjem film 10 sampe 15 terus ditonton selama berapa hari. Terus dibalikin, terus dipinjem lagi. Uang gue kebanyakan habis untuk rental film,” tuturnya sembari tertawa.

Yogyakarta juga menjadi tempat persentuhannya dengan Kinoki, sebuah kolektif film yang didirikan mendiang Elida Tamalagi pada 2005. Kinoki merupakan sebuah ruang putar alternatif tempat Adrian dan beberapa kawannya, Windu Jusuf dan Makbul Mubarak (yang kelak ikut mendirikan Cinema Poetica), bertemu sekaligus berdiskusi tentang film. Kinoki pula yang menjadi tempat benih-benih Cinema Poetica mulai disemai.

“Nah pas buka tuh mereka lumayan banyak promosi tuh. Salah satu flyer mereka itu nyampe ke kampusku, ke UGM, sampe kantor jurusan bahkan. Kemudian aku tertarik kan. Yang diputer tuh film-film Italia, tahun berapa lah, tahun ga enak. Lucu sekali ada ruang seperti ini, dan lucu sekali ada kegiatan seperti ini. karena aku pikir dulu film ya nonton aja, ternyata ada hal seperti ini,” paparnya.

Lewat bimbingan mendiang Elida Tamalagi selaku pendiri Kinoki, Adrian diminta untuk menjadi juru program pemutaran. Adrian diserahi tugas untuk merancang tema pemutaran, memilih film, serta merumuskan diskusinya. Menjadi juru progam berarti Adrian diminta untuk menggali sisi-sisi lain dari sebuah film. Sisi-sisi yang seharusnya diketahui publik secara lebih luas.

Aktivitas sebagai juru program membawa Adrian berinteraksi dengan komunitas film Yogyakarta secara lebih luas. Ia bertemu dengan sutradara-sutradara terkenal Indonesia seperti Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, dan Ismail Basbeth. Menariknya, para sineas tersebut saat itu pun masih dalam tahap merintis kariernya lewat produksi film-film pendek. Beberapa sineas tersebut bahkan harus menjalani pekerjaan lain untuk menyambung hidup, seperti menjadi tukang syuting video pernikahan. Namun, hal inilah justru yang menjadi keunikan komunitas film di Indonesia.

“Komunitas kita itu hadir secara sederhana karena perfilman kita gak ideal, infrastruktur tidak tersedia, regulasi juga tidak terlalu komplit dalam menerjemahkan apa itu perfilman. Jadi sebenarnya komunitas itu hadir sebagai sebuah tanggapan, atas ketiadaan atau ketidakberesan. Sederhananya begini, banyak sekali kawan-kawan yang pengen bikin film tapi ga punya duit dan tenaga dan ga punya nama untuk menarik orang-orang. Untuk tenaga kerja yang dibutuhkan. Jadilah mereka bikin komunitas,“ ujar Adrian.

Infografik Adrian Jonathan Pasaribu

Sirkulasi Karya, Sirkulasi Pengetahuan

Aktivitas di Kinoki membantu Adrian untuk memahami pentingnya kesadaran audiovisual, yaitu memandang film tidak hanya sebagai produk hiburan semata, namun ada sisi-sisi lain seperti ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan. Kesadaran tersebut hanya bisa muncul dengan adanya penyadaran lewat literasi audiovisual.

Pesan itu terlontar dari ucapan sang mentor, Elida Tamalagi, dalam sebuah diskusi yang biasa mereka sebut “sesi peminuman” di Kinoki.

"Lo boleh aja udah banyak nonton film, baca banyak buku, tapi itu nggak ada gunanya kecuali lo bagi ke teman lo, ke orang banyak. Jangan pelit-pelit deh sama ilmu. Kita di sini muterin film buat orang banyak, ngobrolin film tiap malam, itu buat apa sih kalau bukan buat cari teman?" tandas Elida.

Kata-kata Elida dapat dikatakan sebagai salah satu pemicu Adrian mendirikan Cinema Poetica pada Agustus 2010, segera setelah ia memutuskan keluar dari Kinoki. Kinoki sendiri terus beroperasi hingga akhirnya tutup pada 2011. Kabar ini masih disusul peristiwa yang jauh lebih menyedihkan: Elida Tamalagi, sang mentor bagi seluruh awak perintis Cinema Poetica, meninggal akibat sakit pada 13 September 2011, hanya dua hari sebelum menjalani ujian tesisnya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Adrian masih ingat reaksi Elida saat ia mengabari pembentukan Cinema Poetica. Saat itu, mereka berdua sudah agak jarang bertemu. Elida sendiri masih bergelut dengan kekecewaannya pascapenutupan Kinoki. Namun, ia selalu mendukung langkah Adrian dan “alumnus” Kinoki lainnya.

“Karena pas aku mendarat di Jakarta, pas pindah (dari Yogyakarta), dia sms: I know you all can make it,” kenang Adrian. Pesan itu makin membulatkan tekadnya untuk menapaki langkah di Cinema Poetica.

Adrian kemudian mengajak Makbul Mubarak dan Windu Jusuf, dua sekondannya di Kinoki dahulu. Awalnya, Adrian meniatkan Cinema Poetica beredar dalam format kartu pos. Di satu sisi kartu, ia menempelkan poster film, sedangkan di sisi lainnya, ia menyertakan ulasan film tersebut.

“Terus itu ane edar-edarin ke beberapa kafe gitu. Itu pas masih sendiri iseng-iseng. Terus Makbul, pas liat ane lagi motong-motong kartu posnya, ngusulin buat bikin website. Daripada capek, hahaha. Jadilah sejak itu websitenya jalan, sampai sekarang,“ papar Adrian.

Cinema Poetica kemudian berkembang menjadi laman yang menyediakan beragam kajian, kritik, ulasan, dan belakangan pelatihan, tentang film dan dunia di sekitarnya. CP berkomitmen untuk menyediakan literasi terkait film, sehingga publik dapat mencerna sekaligus mengapresiasi film dalam arti yang lebih luas.

“Ternyata setelah kita teliti lagi lebih dekat lagi, apresiasi itu juga sebuah pemahaman, kemampuan mencerna proses audiovisual, kalo kamu sudah punya kemampuan itu, sebenarnya kamu sudah mengapresiasi. Nah buatku apa jembatannya, ya kesadaran akan itu dulu,” ujar Adrian.

“Tapi kalo kita bicara lebih konkret lagi, jembatan berikutnya ya literasi audiovisual. Selama seseorang punya pengetahuan, akan bagaimana logika audiovisual itu bekerja, buatku dia sudah bisa menjadi apresiator. Dan dalam detik ini mungkin kita semua,” imbuhnya.

Aktivitas di CP membawa Adrian bersentuhan dengan banyak sekali penggiat film di berbagai daerah. Di luar dugaannya sendiri, film ternyata mampu menembus sekat-sekat sosial dan menyapa orang-orang dengan beragam latar belakang unik.

Di Purbalingga, misalnya, ia menemui komunitas film CLC (Cinema Lovers Community) yang memutar film secara blusukan. Penonton mereka sendiri banyak yang terdiri dari petani-petani dan pegawai negeri sipil. Mereka menggelar layar tancap di halaman balai desa, atau bahkan di tengah sawah. Saat bertandang ke Palu, ia bertemu dengan komunitas film yang menggelar festival film di tengah tempat kursus komputer.

“Pernah juga diminta buat ngisi di festival film, yang minta itu sekolah kesekretariatan. Maksudnya baru tau juga ada sekolah sekretaris yang nonton film. Dan itu diadakan secara rutin,” selorohnya sembari tergelak.

Pertemuan dengan beragam komunitas film di Indonesia membuat Adrian optimis atas munculnya inisiatif-inisiatif dari akar rumput. Di sisi lain, inisiatif-inisiatif ini masih temporal sekaligus sporadis, layaknya letupan-letupan kecil yang berpotensi cepat padam. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mempertahankan inisiatif-inisiatif tersebut.

Komunitas-komunitas film yang ditemuinya cenderung berfokus pada pembuatan film. Padahal, ada dua sisi lain yang juga harus diperhatikan: distribusi dan apresiasi karya. Sebuah film tidak hanya harus dibuat, tapi juga didistribusikan serta dikaji lebih dalam. Hal ini membuat komunitas film tidak hanya memiliki peran sebagai pembuat film semata, tetapi juga berperan dalam sirkulasi karya sekaligus sirkulasi pengetahuan. CP selanjutnya diarahkan untuk mengisi peran yang disebutkan terakhir.

“Nah, sekarang mulai beragam tuh selain produksi juga pengetahuan pemutaran film. Pelatihan komunitas juga sekarang mulai ngadain pitching, atau cara presentasi rencana produksi di forum pendanaan, cara bikin proposal. Itu terdengar remeh tapi itu pengetahuan yang kita ga tau loh. Secara formal itu ga diajarkan loh, dan entah kenapa hanya komunitas film yang menyebarkan itu. Ya workshop penulisan udah mulai jalan di beberapa tempat,” papar Adrian.

Adrian menyadari bahwa komunitas film di Indonesia masih harus menapaki jalan yang panjang. Masih banyak kekurangan yang harus diterabas. Masih banyak kendala yang harus disingkirkan. Untuk itu, ia melontarkan harapan yang sangat sederhana.

“Semoga komunitas film makin dewasa,” pungkasnya sambil tertawa.

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Film
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Zen RS