tirto.id - “(Kuldesak) terbukti bisa memberi warna baru dan segar pada perfilman nasional,” tulis JB Kristanto, penulis buku Katalog Film Indonesia dan mantan jurnalis Kompas, di ujung ulasannya pada 5 Desember 1998.
“Kita masih belum tahu, apakah hasil dari bioskop bisa memberi modal untuk meneruskan kerja mereka, seperti yang direncanakan,” tambahnya. Om Kris, yang dikenal sebagai jurnalis film dan kelak sebagai penerima Satyalencana Kebudayaan karena kontribusinya merekam perjalanan film Indonesia, tampak masih ragu apakah film tersebut benar-benar akan disambut baik penonton lokal.
Mereka yang dibicarakan Om Kris adalah empat sutradara muda: Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani. Sementara film yang dimaksudnya adalah Kuldesak, sebuah omnibus yang dibikin gerilya oleh empat sutradara itu "secara ilegal," kata Mira, di bawah rezim Orde Baru Soeharto.
Kuldesak jadi film Indonesia pertama yang kembali tayang di bioskop, setelah industri film Nusantara mengalami penurunan produksi selama lebih dari satu dekade. Masa yang sering disebut sebagai mati surinya perfilman Indonesia.
Om Kris menggambarkan empat orang sutradara muda itu sebagai “suatu generasi baru perfilman Indonesia yang seolah putus dari sejarahnya”. Itu karena kemasan Kuldesak yang tak sama dengan film-film Indonesia terdahulu, dan konteks kemunculannya.
“Bentuk (omnimbus) yang disodorkan saja sudah menunjukkan hal itu,” tulis Om Kris. Film ini dibikin secara independen, dan sembunyi-sembunyi dari pantauan Departemen Penerangan (Deppen). Pembiayaannya dilakukan mandiri, semua kru dan pemain tak dibayar. Jelas berbeda dari cara umum sineas Indonesia memproduksi film.
Keraguan Om Kris terjawab tak lama kemudian.
Kuldesak yang pada 27 November 1998 diputar pertama kali di tiga bioskop Jakarta, mulai membuka jadwal tayang di tiga kota lain: Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Ia berhasil meraup 100 ribu penonton, angka yang termasuk box office pada masanya.
Dua puluh tahun kemudian, Kuldesak bahkan dirayakan sebagai film pembuka kebangkitannya industri film Indonesia. Pada 2018 ini, tahun peringatan usia Kuldesak yang ke-20, penonton film-film Indonesia bahkan sudah mencapai 50 juta—tertinggi sepanjang sejarah. Prestasi itu tak terlepas dari keberanian Mira, Riri, Nan, dan Rizal yang dirayakan media sebagai tokoh pelopor bangkitnya perfilman Indonesia.
Semangat Orang Muda, Semangat Pemberontakan
“Saya punya mimpi jadi sutradara muda. Dan dengan aturan yang dibikin KFT waktu itu, mimpi saya bakal susah terwujud,” cerita Riri Riza, salah satu sutradara Kuldesak.
Waktu itu, ia baru tamat dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan ingin sekali bikin film perdana di usia 25. “Saya lulus umur 23, sementara syarat KFT untuk jadi sutradara kita mesti pernah empat kali jadi astrada, dan tiga kali jadi penulis naskah. Saya hitung-hitung sendiri, wah, enggak bisa gini. Mimpi saya pasti enggak bakal kejadian,” tambah Riri.
KFT adalah singkatan Ikatan Karyawan Film dan Televisi, asosiasi sineas yang tempo itu diketuai Slamet Raharjo. Aturan tersebut dipakai industri, yang kini dianggap jadi salah satu penghambat regenerasi pegiat perfilman.
“Kami juga jengah dengan rezim. (Tentang) Bikin film yang harus disetujui Deppen,” kata Mira. “Kami kan dulu masih muda ya, jadi berontak. Kan yang muda, yang boleh berontak,” sambungnya sambil tertawa.
Ia kemudian menggagas pembuatan Kuldesak dengan mengajak tiga rekannya yang lain. Mereka bergerilya membuat film ini sejak 1995 hingga 1998. Awalnya, Mira dkk masih takut terpantau KFT. “Zaman itu bener-bener mencekam. Kalau ketahuan, risikonya enggak main-main,” kata Mira. Namun, semangat mereka terus tumbuh ketika mulai mendengar ada gerakan pemberontakan serupa yang muncul dengan nama PRD—Partai Rakyat Demokrat—bentukan Budiman Sudjatmiko. “Tempo juga dibredel waktu itu. Jadi, semakin gerah, tapi semakin semangat,” ungkap Mira.
Semangat itu makin berkobar ketika Leila Chudori, yang saat itu eks wartawan Tempo, menulis pernyataan mendukung dari Slamet Raharjo. “Aku nanya ke Mas Slamet: Mas, ada anak-anak muda tuh bikin film. Didukung dong. Terus dia bilang: Ya, enggak apa-apa, dibiarkan saja. Kalau perlu nanti kita undang jadi anggota kehormatan, untuk diskusi,” cerita Leila.
Mendengar itu, Mira dkk makin berani. Mereka vokal menyuarakan keengganannya mengikuti sistem yang ada. Perjuangan itu tak sia-sia. Kuldesak menggapai suksesnya. Tak cuma tembus box office, nama keempat sutradara muda itu kini harum sebagai pelopor kebangkitan film Indonesia pasca-runtuhnya Orde Baru. Kuldesak dicatat sebagai film independen pertama Indonesia, yang menyebarkan semangat pembuatan film-film indie.
Frasa Kuldesak sendiri tercipta dari istilah cul-de-sac yang berarti jalan buntu—definisi yang mereka anggap pas menggambarkan situasi industri film Indonesia saat itu. “Yang pertama kali cetusin si Rizal,” kata Riri. “Terus kita suka.”
“Awalnya juga pada banyak yang enggak ngerti artinya. Kru aja pada enggak tahu, tapi karena semua waktu itu dilakukan secara cuma-cuma dan enggak dibayar, akhirnya di kita (kru) Kuldesak itu dianggap akronim, yang artinya: kulakukan dengan terdesak,” timpal Mira, sambil tertawa.
Cerita Anak Muda Era MTV
Omnibus itu fokus pada empat karakter utama: Aksan (Wong Aksan), Dina (Oppie Andaresta), Lina (Bianca Adinegoro), dan Andre (Ryan Hidayat). Masing-masing cerita ditulis dan diarahkan keempat sutradara.
Cerita mereka sama sekali tak bersinggungan. Masing-masing tokoh utama sama sekali tak pernah berpapasan, atau saling bertukar bincang.
Dina adalah penjaga karcis bioskop, yang terobsesi Max Mollo (Dik Doank), seorang pembawa acara populer di teve. Tetangga kosnya adalah pasangan homoseksual Budi (Harry Dagoe) dan Yanto (Gala Rostamaji) yang kelak bersahabat dengannya. Dalam Kuldesak, Dina dan sahabatnya akan jadi satu-satunya representasi kaum pekerja kelas bawah di Jakarta.
Lalu ada Aksan yang cuma punya mimpi untuk bisa bikin film, tapi terkendala dana dan restu ayahnya. Ia anak orang berada yang punya Lasermania, sebuah toko laserdisc populer di Jakarta. Singkat cerita, dengan dorongan kuat dari sahabatnya Aladdin (Tio Pakusadewo), ia merencanakan pembobolan brankas sang ayah. Berakhir tragis karena “diisengin” Sophia Latjuba dkk.
Anak orang kaya lainnya yang juga berakhir tragis adalah Andre. Ia penggemar berat Kurt Cobain, vokalis Nirvana. Bahkan mengidentifikasikan diri dengan sang idola. Di hari ulang tahunnya ia bertemu Hariolus (Iwa K), seorang gelandangan yang juga peramal. Nasib Andre, kata Hariolus akan berubah setelah ia menemukan sebuah benda keesokan harinya.
Dan yang terakhir ada cerita Lina, seorang karyawati yang jadi korban perkosaan bosnya, Jakob Gamarhada (Toro Margens). Lewat mata Lina, Kuldesak merekam perjalanan penyintas kekerasan seksual yang masih jadi momok hingga hari ini. Dan membingkainya dengan kemenangan Lina di ujung cerita.
Meski terkesan amat acak, Om Kris menangkap benang merah yang ingin disampaikan para sutradara muda itu.
“Keempatnya melukiskan dunia dalam anak muda dari kacamata mereka sendiri. Bukan dari kacamata orangtua atau para “ahli” seperti yang sering membuat analisa-analisa sosial atau psikologis, tetapi yak pernah kena penjelasannya,” tulis Om Kris.
“Dan dengan gaya ‘videoklip MTV’, ada kesan bermain-main dalam cara penuturan mereka.”
Kemasan Kuldesak memang tidak biasa: terbata-bata, terburu-buru, dan penuh kiasan, jika dibandingkan film-film Indonesia pada umumnya. Om Kris bahkan menilai “Para pembuat film ini sungguh tidak bersikap serius dalam membuat film”. Namun, ia tak menampik bahwa ada problema-problema serius yang mereka sodorkan.
Intan Paramaditha, penulis cum peneliti gender dan kultur bahkan lebih dalam mengamati pesan yang diselipkan dalam Kuldesak.
Dalam "Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity on Cinema" (Asian Cinema, 2007), Intan menyebut Kuldesak menampilkan sosok protagonis laki-laki yang dianggap ‘tidak produktif’ di bawah norma maskulin Orde Baru. “Tak punya kerja tetap dan uang, yang mereka lakukan adalah bermimpi jadi artis, sebagai musisi dan pembuat film,” tulis Paramaditha mendeskripsikan Aksan dan Andre.
Karakter ini, menurutnya, berlawanan dengan karakter Bapak, dan ideologi Bapakisme yang dipromosikan Orde Baru: laki-laki diasosiasikan dengan kekuasaan, jabaran, dan birokrasi. Menurut Intan, ada pesan penolakan (kalau tak mau dibilang pemberontakan) yang tegas di sana, terhadap budaya Bapakisme dalam industri film Indonesia.
“Di mana hanya sutradara (pria) yang berpengalaman yang dapat membuat film dan berguru pada sutradara-sutradara besar sebagai satu-satunya cara untuk membuat film,” ungkap Paramaditha.
Semangat itu memang ada dan jadi motivasi besar mereka waktu itu, kata Riri dan Nan T. Achnas. “Kita emang mau memberontak dari KFT, yang kita pikir enggak banget pada waktu itu,” tegas Nan.
Rabu kemarin, 19 Desember, para sutradara itu kembali berkumpul dalam peluncuran Buku 20Kuldesak: Berjejaring, Bergerak, Bersiasat, Berontak. Buku ini jadi penanda 2 dekade Kuldesak, sebuah bukti sejarah bahwa film Indonesia pernah loyo ditekan aturan sensor sebuah rezim.
Kata Mira, satu dekade lalu, Phillip Cheah, seorang kritikus dan konsultan program film dari Singapura sempat mengingatkannya untuk merayakan satu dekade Kuldesak. Ia enggan, karena tak mau jemawa. Ah, enggak ah. Kenapa harus kami? Harusnya yang begitu datang dari orang lain, pikir Mira. Ia sungkan. Awal tahun ini, Phillip kembali mengingatkan Mira. Bagi Phillip, Kuldesak adalah momentum buat perfilman Indonesia yang harus terus diingat. Mira akhirnya setuju, karena merasa generasi sekarang juga perlu kembali mengenal Kuldesak.
Mereka juga mengundang Slamet Rahardjo, ketua KFT ketika Kuldesak lahir.
Suasananya haru, waktu Slamet Raharjo memberikan pidato. Ia menceritakan kembali konteks ketika Kuldesak dibuat. Makin biru ketika di pengujung, ia bilang ke arah 4 sutradara Kuldesak: “Kita harus berterima kasih pada mereka. Memang mereka yang membangkitkan film Indonesia.”
Mira Lesmana dan Riri Riza tampak kesusahan menahan tangis karena kata-kata itu.
Editor: Nuran Wibisono