Menuju konten utama
Horizon

Ramadhan di Pundak Buruh Gendong Beringharjo

Tak peduli terik matahari, dingin yang menggelayuti, dan puasa di bulan suci, para buruh gendong di Pasar Beringharjo tetap berjibaku mengais rezeki.

Ramadhan di Pundak Buruh Gendong Beringharjo
Sariyem tetap menjalani ibadah puasa meskipun dia berprofesi sebagai buruh gendong yang mampu mengangkut satu kardus minyak goreng, di Pasar Beringharjo pada Sabtu (8/3/2025). tirto.id/Siti Fatimah

tirto.id - Siang telah menjelang ketika saya tiba di Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (8/3/2025). Awan gelap mulai menyergap dari sisi timur, tapi matahari masih menyengat di atas ubun-ubun.

Tanpa pikir panjang, saya memilih untuk memarkirkan kendaraan di lantai tiga Pasar Beringharjo. Memangkas jarak, agar saya tidak perlu naik tangga sehingga hemat tenaga lantaran berpuasa.

Memasuki area dalam pasar, saya melihat beberapa perempuan paruh baya hingga lansia berduyun-duyun menuju sebuah ruangan di tengah pasar. Mereka mengenakan jarik dengan bahu tersampir lurik. Ciri khas yang menandakan bahwa mereka adalah buruh gendong.

Wajah-wajah perempuan perkasa ini semringah saat menenteng kiriman sembako usai menjalani pemeriksaan kesehatan ruangan itu. Sejenak mereka berkumpul, sebelum punggung dan bahunya kembali memanggul beban demi mengais rupiah. Tak apa mengambil jeda, mengingat mereka juga tengah berpuasa.

Kemiyem salah satunya. Ia mencangking sebuah tas berwarna merah berisi sembako.

Lansia 80 tahun tersebut telah menginjakkan kaki di Pasar Beringharjo sejak pukul 09.00 WIB. Bahkan, dari rumah, ia sudah bersiap sejak lepas sahur, agar tak ketinggalan jadwal bus, yang biasanya menjemputnya bersama puluhan buruh gendong lain. Bus yang sama itu pula nanti akan mengantarnya pulang sekitar pukul 16.00 WIB.

Tak heran jika Kemiyem bersiap sejak pagi buta. Rumahnya jauh di seberang kota, tepatnya di Sentolo, Kulon Progo, DIY. Perlu waktu sekitar dua jam naik bus untuk bisa sampai di pusat Jogja.

Bisa dibilang, ia sudah menelan pahit-manisnya jalanan, apalagi kehidupan. Lebih dari separuh usianya ia habiskan untuk menjadi buruh gendong.

“Menjadi buruh gendong sudah 55 tahun. Wiwit sek isih (sejak saat masih) muda,” ungkap ibu dari enam anak tersebut, saat diwawancarai di Pasar Beringharjo, Sabtu (8/3/2025).

Simbah dari 24 cucu dan dua cicit tersebut mengaku sudah disuruh istirahat oleh anak-anaknya. Berkali-kali ia diminta berhenti jadi buruh gendong. Namun, ia tetap ingin menjalani profesi tersebut sebagai bentuk karya.

“Anak [sudah] suruh diam [di rumah], tapi simbah belum mau. Ini [badan] kalau enggak gerak, nanti capek di rumah,” protesnya, yang kemudian diiringi dengan gelak tawa.

Meski berpuasa, Kemiyem mengaku tidak merasa berat menjalani aktivitas sebagai buruh gendong. “Nggih [puasa penuh], [tapi] memang kerjaannya gitu [sebagai buruh gendong],” ujar perempuan yang biasa mangkal di sekitar area batik Pasar Beringharjo tersebut.

Buruh Gendong Pasar Beringharjo

Kamiyem diwawancarai di Pasar Beringharjo, Sabtu (8/3/2025). tirto.id/Siti Fatimah

Kemiyem tersenyum ragu saat saya bertanya terkait penghasilan. Ia mengatakan, penghasilannya tidak pasti. Saat saya wawancarai, ia bahkan belum mendapat pelanggan. Menurutnya, pasar sepi karena masih awal puasa. Perkiraannya, kunjungan di pasar Beringharjo baru akan ramai pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Namun, hal itu tidak mematahkan semangatnya. Ia tetap berangkat, meski harus mengeluarkan modal awal Rp20 ribu untuk pulang-pergi naik bus langganan. Tapi, kalau sudah ketinggalan bus, ia terpaksa harus merogoh kocek lebih dalam, Rp35 ribu.

“Pokoknya tetap berangkat, terus mencari rezeki untuk buka [puasa],” tandasnya, mengakhiri obrolan kami. Ia tak bisa berlama-lama. Siang sudah menjelang, ia perlu segera mencari pelanggan.

Saya pun mencegat buruh gendong lainnya, Sariyem. Perempuan 82 tahun itu baru saja rampung mengangkut sekardus minyak goreng di punggungnya.

Sariyem adalah teman seperjuangan Kemiyem, yang juga berasal dari Sentolo dan pergi-pulang menggunakan bus. Namun, jam berangkatnya lebih pagi. Pukul 07.00, ketika riuh kota baru mulai terdengar, ia sudah sampai di Beringharjo.

Sariyem mengaku kuat menjalani profesi sebagai buruh gendong di bulan puasa berkat asupan yang terjaga. Ia menyantap sahur dengan baik, dan tidak asal makan hidangan saat berbuka.

“Jadi enggak papa [tetap puasa meski mengangkut barang berat],” ujarnya.

Lain halnya dengan Kemiyem dan Sariyem yang melaju Jogja-Kulonprogo, Paijem memilih untuk pulang seminggu sekali. Ibu dari dua anak ini mengaku berat jika harus pulang-pergi setiap hari. Ongkos sebesar Rp20 ribu cukup mahal, dan ia memilih untuk menyimpannya sebagai tabungan.

“[Pendapatan per hari] enggak cukup [menutupi ongkos] pulang pergi Rp20 ribu. Habis [penghasilan yang diperoleh dalam sehari]. Mending ditabung,” keluhnya.

Paijem turut mengungkapkan, penghasilannya per hari hanya sekitar Rp30 ribu sampai Rp40 ribu. Itu pun, baru bisa didapatnya setelah mengangkut dua kali muatan. “Sekarang lagi sepi sekali. Dong-dong (kadang) Rp30 ribu, kadang dapat Rp40 ribu. Tidak pasti."

Paijem merasa maklum kalau tidak mendapat upah banyak. Sebab, maksimal beban yang mampu diangkutnya terbilang sedikit, 20-25 kilogram saja. Berbeda jauh dengan waktu muda, ketika tubuhnya masih bugar, ia mampu mengangkat sampai 70 kilogram.

“Saya cuma sedikit-sedikit, jadi diupah Rp10 ribu sampai Rp15 ribu sekali angkut. Kalau yang bobot setengah kuintal, [saya] enggak kuat,” beber perempuan yang telah menjalani profesi buruh gendong sejak 35 tahun lalu itu.

Paijem bersyukur, dalam menjalani ibadah puasa, ia terbantukan oleh hadirnya dermawan. Dengan begitu, ia tidak perlu menambah pengeluaran untuk sajian sahur dan berbuka puasa.

Ramadhan, biasa [banyak yang memberi makanan]. Sahur onten sing njagani, sok-sok dikirim sekeng pundi, mangke nek buko nggeh onten sing maringi (Sahur ada yang menyediakan makanan, kadang tidak tahu diantar dari mana. Nanti saat buka puasa, ya, ada yang memberi takjil),” kata dia.

Penghasilan yang minim, bahkan kadang tak mendapat pelanggan, membuat Paijem menjajal profesi lain. Tak jarang, ia turut membantu pedagang sayuran. Hal itu dilakukannya tak lain demi tetap bisa mendapat uang.

“Saya tidak pernah libur. Nek mboten kesel, mboten prei. Kalehmbantu sayuran. Palingnek mboten wonten gendongan, mbantu sayuran ngge maem (Kalau tidak capai, saya tidak libur. Selain itu, saya juga membantu pedagang sayur. Kalau tidak ada gendongan, saya membantu pedagang sayuran agar tetap bisa membeli makanan),” bebernya.

Paijem mengaku mengonsumsi jamu jika merasa tidak enak badan. Ia pun tahu bahwa tekanan darahnya kerap meninggi. Bahkan, dalam pemeriksaan kesehatan yang dijalaninya sebelum saya wawancarai, angkanya bisa sampai 170.

“Saya ada BPJS, sering periksa ke puskesmas juga pakai BPJS. Jadi kalau malam minum obat tensi, tensine duwur [tensi tekanan darahnya tinggi],” ucapnya malu-malu, sambil menutup mulut.

Dengan kondisi begitu, Paijem tetap memilih untuk menginap di emperan toko daripada pulang ke rumah. Setiap malam, ia tidur di teras bank sebelah timur Pasar Beringharjo. Rutinitas itu ia lakoni bersama sekitar 50 buruh gendong lainnya.

Buruh Gendong Pasar Beringharjo

Paijem menggendong bantuan sembako yang diterimanya, Sabtu (8/3/2025). tirto.id/Siti Fatimah

Anak pengene kula teng nggriya, nanging kula mboten purun. Ket cilik teng riki, dadose seneng teng riki (anak-anak ingin saya di rumah, tapi saya tidak mau. Sejak kecil, saya kerja di sini, jadi senang di sini),” terang Paijem, yang mulai menjadi buruh gendong sejak 1955.

“Masih ingin berkarya. Nek njaluk anak kurang penak (kalau meminta anak kurang nyaman),” tandas Paijem.

Asih, pendamping para buruh gendong perempuan, yang juga tergabung dalam Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), membeberkan bahwa ada sekitar 210 orang buruh gendong di Pasar Beringharjo. Namun, yang saat ini masih aktif ada 197 orang.

“Yang sepuh-sepuh di rumah (tidak lagi jadi buruh gendong),” ungkapnya, ketika dihubungi pada Minggu (9/3/2025).

Asih membeberkan beberapa masalah yang dihadapi oleh buruh gendong. Pertama adalah toilet. Pra buruh gendong harus mengeluarkan dana sekitar Rp2.000 sampai Rp3.000 untuk sekali buang air kecil. “Padahal, [mereka] sehari bisa 4-6 kali [ke toilet]."

Selain itu, Asih berharap, ada jalur Trans Jogja Wates-Jogja-Wates untuk memudahkan aksesibilitas para buruh gendong, yang kebanyakan memang berasal dari Kulon Progo.

Mengingat karcis Trans Jogja hanya Rp3.500 sekali jalan, para buruh gendong tentu akan sangat terbantu jika ada jalur baru yang menghubungkan Wates dan Jogja kota. Sebab, sampai saat ini, mereka masih harus membayar Rp20 ribu untuk pulang-pergi.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadli Nasrudin