Menuju konten utama

Kisah Para Buruh Gendong Perempuan Di Solo

Buruh gendong perempuan memiliki beban ganda, baik beban ekonomi dan psikologi secara bersamaan.

Kisah Para Buruh Gendong Perempuan Di Solo
Aprilia Sari (24 tahun), sudah menjadi buruh gendong sejak 2017 di Pasar Legi, Solo. foto/Daria Rani Gumulya

tirto.id - Panas terik siang itu tidak menghalangi Aprilia Sari (24 tahun) untuk bergegas menjemput barang gendongan dari truk yang baru saja parkir di Pasar Legi, Solo. Dengan bermodalkan selembar selendang lurik berwarna biru lusuh, ia sigap dan menahan beban, ia menerima barang-barang yang diletakkan sopir di punggungnya.

Siang itu Lia, nama panggilannya, menggendong kerupuk mentah dengan berat mencapai 40 kg. Pelan dan hati-hati ia menaiki tangga pasar menuju kios kerupuk di lantai 1. Tak sampai 10 menit, dia kembali ke parkiran untuk mulai menggendong 10 bungkus kerupuk lagi.

Lia ini adalah salah satu buruh gendong perempuan yang banyak dijumpai di Pasar Legi, Solo. Lia mengaku bekerja sebagai buruh gendong sejak tahun 2017. “Dari lulus SMA, hingga sekarang.” ungkapnya.

Sebelumnya, Lia sempat bekerja di pabrik pembuatan mantel hanya sekitar 5 bulan saja karena ia merasa tidak betah. “Tidak kuat duduk saja di pabrik, setiap hari dikejar target, jam kerjanya dari pagi sampai sore, dan tidak bisa libur sewaktu-waktu,” ujarnya.

Perempuan yang berasal dari desa Kaliyoso, Karanganyar ini berangkat ke pasar pukul 7.30 pagi dengan mengendarai sepeda motor, hanya memakan waktu setengah jam untuk sampai di pasar. Lia meninggalkan bayinya yang berumur 6 bulan untuk dirawat oleh kakaknya di rumah. “Karena kakak sedang sakit, saya titipkan anak saya ke adik,” ungkapnya. Lia akan pulang pukul 3 atau 4 sore ketika situsasi pasar mulai sepi.

Suami Lia sehari-hari bekerja sebagai montir di bengkel. Demi membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga, ia bekerja sebagai buruh gendong. Ongkos untuk sekali mengendong barang dengan berat sekitar 30-65 kg dibayar Rp 5000, jaraknya sekitar 100-200 meter dan naik turun tangga pasar.

“Penghasilan saya tidak menentu, kadang sehari dapat 25 ribu, 50 ribu, kalau ramai ya sampai 80 ribu tapi ini jarang banget, cukup gak cukup dicukup-cukupin,” ungkap perempuan yang mengenakan lipstik warna pink ini.

Menurutnya, penghasilannya sebagai buruh gendong sama saja dengan gajinya ketika bekerja di pabrik. Namun, ia merasa lebih nyaman bekerja sebagai buruh gendong.

Awalnya, Lia terjun sebagai buruh gendong karena melihat ibunya dan banyak tetangga perempuan yang berprofesi sama. Saat ini ibunya yang berusia 58 tahun juga masih aktif bekerja sebagai buruh gendong. “Cuma hari ini tidak masuk,” ungkap Lia.

Lia termasuk generasi Z dan lulusan SMA, namun ia sama sekali tidak malu bekerja sebagai buruh gendong. “Mboten (tidak) malu, namanya pekerjaan yang penting dapat uang halal,” ujarnya.

Saat ini ia merasa belum terpikirkan untuk mencari pekerjaan lainnya, seperti bekerja sebagai penjaga toko atau pegawai administrasi di kantor.

Walaupun tiap hari menggendong barang yang berat, namun Lia bersyukur sampai hari ini masih sehat.

“Kalau pas lagi capek, biasanya dikerok dan pijat saja. Besoknya sudah bugar kembali.” Lia dan beberapa buruh gendong yang ada di Pasar Legi mengaku belum mempunyai kartu BPJS Kesehatan untuk berobat di fasilitas kesehatan pemerintah.

Penghiburan dari Teman Seprofesi

Bukan hanya Lia yang masih bersyukur dengan adanya peluang rejeki sebagai buruh gendong. Puluhan buruh gendong lainnya, malah lebih lama mengais rezeki di Pasar Legi.

Seperti Lia, Tini (66 tahun), menceritakan kepada Tirto, bahwa ia telah bekerja sebagai buruh gendong selama 25 tahun, dan merasa bersyukur masih dapat bertemu teman-temannya sembari bekerja sebagai buruh gendong.

“Saya tidak pernah bosan, meski pekerjaan ini berat dan capek, tetapi batin tentram, bertemu teman-teman saya merasa terhibur,” ungkapnya, sambil tersenyum.

Tini berasal dari desa Gondangrejo, Karanganyar ini setiap hari berangkat dari rumahnya pukul 7 pagi. Ia pergi menggunakan angkutan umum bersama rombongan sesama buruh gendong yang lain. Tarif sekali jalan Rp. 5000, jadi setiap hari dia harus punya modal Rp10.000 untuk ongkos jalan.

Sesampainya di pasar, Tini langsung mencari bakul sayuran langganannya. Biasanya jam 7.30-9.00 pagi dia akan sibuk mengangkut sayur-mayur dari truk menuju kios penjual.

“Pekerjaan buruh gendong di sini sudah terbagi-bagi, ada yang khusus membawa sayuran, ikan, sembako dan lain sebagainya, semua sudah punya langganan dan punya grup masing-masing,” ungkap perempuan yang memilki 4 orang anak dan 7 cucu ini.

Dahulu, Tini bekerja di pabrik rokok di dekat desanya. Suaminya bekerja sebagai buruh serabutan, kadang menjadi buruh tani di sawah, kadang jadi tukang bangunan.

Infografik Buruh Gendong

Infografik Buruh Gendong. tirto.id/Fuad

Setelah melahirkan anak pertamanya, Tini berhenti bekerja di pabrik dan ingin merawat anaknya. Karena terdesak kebutuhan hidup, ia memutuskan bekerja, kali ini sebagai buruh gendong.

Ia melihat banyak perempuan di kampungnya yang menjadi buruh gendong di pasar Legi dan menghasilkan cukup uang, kemudian ia mengikuti jejak mereka. Setiap pagi, ia menitipkan anaknya ke ibunya dan berangkat ke pasar.

Tini mengaku menjadi buruh gendong karena tidak ada pilihan pekerjaan yang bisa ia lakukan. “Saya hanya lulus SD, dari kecil kondisi ekonomi orang tua susah, begitu lulus SD langsung kerja untuk membantu orang tua,” ujarnya.

Siang itu Tini dan beberapa buruh gendong lainnya sedang istirahat. Sambil bersenda gurau, mereka menikmati nasi bungkus pemberian dari warga sekitar dalam rangkat Jumat Berkah. Situasi seperti inilah, yang menurut pengakuan Tini sangat disyukurinya - bahwa ia masih dapat tertawa dan menikmati kesederhanaan bersama sesama buruh gendong - hal yang ia tidak dapat rasakan saat ia bekerja sebagai buruh pabrik.

Selama 25 tahun menjalani pekerjaannya, Tini pernah sebulan tidak berkerja karena cidera lutut. “Lutut saya keseleo karena jatuh terpeleset karung bagor plastik saat membawa barang, untung barangnya tidak rusak,” ungkapnya.

Ia mengaku hanya merawat sakitnya dengan memanggil seorang tukang pijat urut di kampungnya. “Tidak berobat ke rumah sakit, karena tidak ada biaya. Alhamdulilah, sebulan sembuh dan sehat sampai sekarang,” ucapnya, bersyukur.

Meskipun usianya bisa dibilang lansia, namun tak menyurutkan semangatnya untuk terus mencari nafkah.

Anak-anaknya juga sudah menikah dan berumah tangga, namun baginya kebutuhan selalu ada, apalagi saat ini Tini adalah tulang punggung keluarga karena suaminya sudah tidak dapat bekerja. “Uang hasil sehari, sampai rumah habis untuk beli beras, minyak goreng, dan kebutuhan lain.”

Bukan Sekadar Pelanggan

Pekerjaan buruh gendong ini seringkali diremehkan, namun nyatanya jasa mereka masih dibutuhkan. Pengguna jasa buruh gendong ini adalah para distributor barang dan pedagang sembako yang menurunkan dagangan ke kios-kios, pengusaha kecil menengah, atau pembeli yang membeli barang dalam jumlah besar untuk dijual kembali di warungnya.

Nurjanah(45 tahun), pemilik usaha bermacam-macam kerupuk asal Salatiga ini sudah lebih dari 20 tahun menyetor produknya ke Pasar Legi. Seminggu dua kali dia datang bersama sopirnya. “Saya sudah punya buruh gendong langganan, jadi mereka sudah menunggu saya datang, untuk sekali angkut tarifnya Rp 5.000, kalau bisa jangan naik, karena harga jual ke pedagang juga akan naik,” jelasnya.

Saking sudah kenal lama dengan beberapa buruh gendong itu, mereka akhirnya berteman. Tak jarang jika ada buruh gendong yang punya hajat - menikahkan anak — pasti Nurjanah juga diberi undangan.

Selain Nurjanah, juga ada pengguna jasa buruh gendong, yaitu Sukini(63 tahun), pembeli grosiran sayur-mayur ini akan menjual kembali barang belajaannya di warung miliknya. Sukini sudah puluhan tahun memanfaatkan jasa buruh gendong.

“Saya tidak pilih perempuan atau laki-laki, upahnya sama saja, hanya saja saya sudah punya langganan, Marni, orangnya rajin dan gesit,” ujarnya.

Sama seperti pekerja kantoran, buruh gendong perempuan, menurut Meike Lusye Karolus, dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, keluar dari ranah domestik atau rumah untuk bekerja membantu perekonomia keluarga. Hanya saja, para perempuan yang bekerja di kantor memiliki akses lebih banyak daripada buruh gendong perempuan.

“Dari segi upah dan fasilitas-fasilitas yang diperoleh jelas berbeda, pekerja kantoran mampu membayar daycare untuk menitipkan anaknya, sementara buruh gendong mengandalkan keluarga di rumah untuk menjaga anak mereka,” jelas dosen yang fokus meriset media, gender dan budaya.

Buruh gendong perempuan setiap hari mempertaruhkan fisiknya untuk ditukar dengan penghasilan yang cukup untuk makan sehari-hari. Mereka kurang memiliki keterampilan lain sehingga hanya mengandalkan fisiknya. Jika sakit, maka tidak memiliki penghasilan.

“Mereka memiliki beban ganda, baik beban ekonomi dan psikologi secara bersamaan.”

Beban psikologis misalnya perasaan bersalah saat meninggalkan anak untuk bekerja di luar rumah. Atau, jika anak menjadi nakal karena kurang perhatian, maka yang pertama kali disalahkan adalah ibunya.

Namun di balik beban yang ditanggungnya sebagai seorang ibu dan juga pekerja, Lia dan Tini membuktikan, masih ada kebahagiaan yang dapat mereka cicipi di sela-sela kesibukan harian mereka, yang tidak bisa dikatakan ringan tersebut.

Baca juga artikel terkait ISU PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Mild report
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi