Menuju konten utama

Kala Sabun Jadi Penanda Peradaban

Saat ini, sabun hanya dipandang sebagai benda untuk membersihkan. Namun dahulu, sabun adalah indikator masyarakat beradab.

Kala Sabun Jadi Penanda Peradaban
Ilustrasi Cuci Tangan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Orang-orang Babilonia Kuno pada 2800 SM adalah orang pertama memproduksi materi semacam sabun. Para arkeolog menemukan resep membuat sabun terukir pada wadah silinder dari tanah liat. Menurut temuan tersebut, mereka membuat sabun dengan cara merebus lemak dengan abu.

Sementara, dalam dokumen medis Mesir Kuno – papirus Ebers — dari 1500 SM, dijabarkan cara pembuatan sabun dengan mencampurkan minyak hewani (misalnya minyak lemak sapi) dan minyak nabati (misalnya minyak kelapa atau zaitun) dengan garam alkali/basa. Materi semacam sabun yang dihasilkan dari proses ini digunakan untuk mengobati penyakit kulit, juga untuk mencuci.

Konon, nama sabun (“soap”) berasal dari legenda Romawi tentang Gunung Sapo. Hujan yang turun di gunung mengalir ke bawah, bercampur dengan lemak hewani dan abu akan menghasilkan campuran lempung yang berfungsi untuk membersihkan dengan lebih mudah. Selanjutnya, istilah “saponifikasi” digunakan untuk menyebut proses pembuatan sabun yang menggunakan lemak/minyak, alkali dan air.

Pada abad ketujuh, Italia, Spanyol, dan Prancis menjadi pusat pembuatan sabun karena ketiganya memiliki sumber bahan baku seperti minyak dari pohon zaitun. Sementara Inggris mulai membuat sabun pada abad ke-12. Produksi sabun secara komersial baru dimulai di Koloni Amerika pada 1600.

Selanjutnya, pada 1791, seorang ahli kimia Prancis – Nicholas Leblanc — mempatenkan proses pembuatan soda abu dari garam. Hadirnya soda abu memungkinkan produksi sabun dalam jumlah besar. Soda abu bisa dicampur dengan lemak untuk membuat sabun. Penemuan ini mendorong pertumbuhan industri sabun di Amerika pada 1850, berbarengan dengan perkembangan pabrik di negara itu.

Pada masa Perang Dunia I dan II, beberapa negara di Eropa – antara lain Jerman, Prancis, dan Inggris — membatasi konsumsi dan produksi sabun karena bahan baku yang sulit didapat. Pada awal 1900-an, Jerman menciptakan produk pembersih alternatif, yakni zat sintetis yang dinamai deterjen. Deterjen tidak mengandung sabun, melainkan enzim yang bisa mengangkat kotoran dari pakaian dan kulit.

Perusahaan Amerika mengadopsi dan kemudian ‘memolesnya’ serta mencampurkan bahan-bahan untuk membuat surfaktan (senyawa untuk menghilangkan kotoran). Deterjen dianggap membersihkan lebih kuat dari sabun sehingga produsen segera beralih pada deterjen. Bahkan, beberapa produk masa kini yang kita anggap sabun pun bisa jadi adalah deterjen sintetis.

Penanda Peradaban

Zaman sekarang, berbicara tentang sabun, tidak lepas dari aktivitas mandi atau kegiatan membersihkan. Namun dahulu, sabun tidak identik dengan mandi. Di Indonesia, kebiasaan mandi sudah berlangsung lama sekali, tetapi sabun baru mulai dikenal luas pada masa kolonialisme Belanda.

Dalam jurnal harian Thomas Best – komandan armada kecil dari Inggris — disebutkan, ketika ia datang ke Aceh pada 1613, raja (sultan) yang ditemuinya, mengundangnya mandi di sebuah mata air bersama para bangsawan lain. Sehabis mandi, mereka dijamu dengan hidangan nikmat. Ini menunjukkan bahwa aktivitas mandi di Nusantara juga punya fungsi sosial dan seremonial.

Selain di Aceh, kita juga bisa melihat pemandian di daerah-daerah lain yang awalnya dibangun untuk keluarga kerajaan. Misalnya Taman Sari di Yogya yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I pada 1758—1765 dan Taman Air Gua Sunyaragi yang dibangun oleh tiga sultan Cirebon sepanjang 1596 —1786.

Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa pada 1813—1816, ia mencatat bahwa penduduk Jawa sangat menjaga kebersihan diri. Orang Jawa mandi sekali dalam sehari atau dua-tiga hari, dan mereka lebih bersih dari orang Cina atau Eropa. Penduduk Jawa mandi di tempat-tempat terbuka, di sungai atau kali.

Namun pendapat Raffles ini rupanya tidak senada dengan orang Eropa lainnya kala itu. Dalam buku “Cleanliness and Culture – Indonesian Histories” oleh Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor, tertulis bahwa orang Eropa memang memperhatikan bahwa orang Jawa, Melayu, dan orang Asia Tenggara lainnya rutin mandi, bahkan lebih sering daripada orang Barat. Namun kenyataan ini tidak penting dan tidak ‘masuk hitungan’. Sampai akhir abad ke-19, orang Eropa masih percaya kalau penduduk asli dan pelayan pribumi itu kotor. Pembedanya adalah sabun.

Infografik Sabun

Infografik Sabun. tirto.id/Ecun

Sebelum mengenal sabun, masyarakat Nusantara sering memakai lempeng batu halus untuk menggosok kotoran tubuh. Sementara, putri-putri raja dan kaum ningrat punya tradisi mandi kembang untuk mengharumkan dan menghaluskan kulit. Namun tetap saja, itu bukan sabun.

Pada abad ke-19, sabun dipandang sebagai salah satu penanda peradaban tinggi. Setidaknya, itulah yang digaungkan oleh iklan sabun di koran dan majalah sejak 1880. Thomas J. Barrat – yang kemudian dijuluki “Bapak Periklanan” — adalah suami dari cicit pendiri Perusahaan Sabun Pears di Inggris. Barrat-lah yang bertanggung jawab membuat iklan yang menggambarkan sabun dan kebersihan sebagai perwujudan peradaban.

“Orang bodoh mana pun bisa membuat sabun. Namun dibutuhkan orang cerdas untuk menjualnya,” kata Barratt. Terbukti, ia adalah orang cerdas yang menjadikan sabun Pears sebagai merek paling terkenal pada abad ke-19.

Sebuah iklan pada 1890 menggambarkan satu peti sabun Pears terdampar di pantai Afrika. Sesosok pria kulit hitam, berambut keriting, dan bertelanjang dada menemukan peti itu. Di bagian atas iklan tertulis “Lahirnya peradaban”. Sementara di bagian bawah tertera kalimat “Konsumsi sabun adalah ukuran kekayaan, peradaban, kesehatan, dan kemurnian masyarakat”.

Sabun Masuk ke Indonesia

Pada 1914, koran De Locomotief melaporkan perjalanan sekelompok polisi pribumi Nugini Jerman ke Hollandia (Jayapura). Mereka pergi dengan mengenakan cawat – seragam harian mereka — tapi di tempat tujuan, mereka diminta ‘berbusana rapi’ dengan jas tutup, celana panjang, topi planter, dan salah satu bahkan memakai sepatu bot.

Setelah itu, mereka pergi ke rumah asisten residen untuk mengubah penampilan istrinya – yang menurut orang Eropa ‘nyaris telanjang’. Rupanya, istri asisten residen disuruh mandi bersih dengan sebatang sabun, lalu berganti baju dengan sarung dan kebaya. Koran De Locomotief menuliskan kesimpulannya: “Peristiwa yang terjadi ini adalah salah satu contoh cara kerja peradaban.”

Jelas terlihat bagi orang Eropa saat itu, sabun adalah penanda peradaban dan kebersihan personal. Sabun menjamin fisik seseorang bersih dan memenuhi salah satu kriteria orang beradab.

Di Indonesia, salah satu perusahaan sabun tertua adalah Unilever. Unilever Indonesia pertama kali didirikan pada Desember 1933 dengan nama Lever’s Zeepfabrieken N.V di Bacherachtsgracht, Batavia yang kini dikenal dengan kawasan Angke, Jakarta Utara. Kota Batavia sendiri dipilih karena pajaknya lebih rendah dari Surabaya.

Adalah Charles Tatlows – Direktur Unilever Limited and NV antara 1930 dan 1941— yang mengupayakan pasar Hindia Belanda bagi Unilever. Ia bertandang dua kali ke Hindia Belanda, pada 1928 dan 1932, untuk menjajaki prospek ini.

Pada November 1933, perwakilan Unilever datang ke Istana Bogor menemui Gubernur Jenderal untuk menyampaikan rencana membangun pabrik sabun di Batavia. Pabrik Unilever mulai beroperasi di Batavia pada 1934. Selanjutnya, pada 1936 mereka memperkenalkan sabun Lux.

Iklan sabun batangan Sunlight pernah terpampang di koran Bintang Soerabaja. Iklan ini menggambarkan seorang wanita Belanda – ikon kebersihan masa itu — naik tangga, membawa keranjang cucian berisi baju bersih. Iklan ini bermaksud merayu pembacanya – orang Indonesia, Indo Belanda, dan Cina peranakan untuk membeli sabun yang –seperti kata iklannya — meringankan pekerjaan mereka.

Iklan ini sebenarnya tidak realistis karena nyonya Belanda di Hindia tentu tidak mencuci baju sendiri. Dia punya pelayan pribumi untuk mengerjakannya. Namun iklan ini dianggap mengandung pesan tersembunyi: Memakai sabun akan membuat perempuan Indonesia lebih ‘putih’ – secara metafor — dan lebih ‘mirip’ nyonya Belanda. Sudah menjadi pengetahuan umum saat itu bahwa jika perempuan Jawa berpenampilan ala orang Eropa – misalnya memakai gaun dan bukannya berkebaya — mereka akan diperlukan lebih ramah oleh kalangan orang Eropa.

Sabun cuci Sunlight dulu dikenal dengan sabun Tjap Tangan, mungkin karena ada gambar dua tangan di kemasannya. Namun ada masanya ketika Sunlight sulit dicari dan harganya di pasar gelap sangat tinggi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh pelaku sabun lain. Pada 1940-an, muncul pesaing baru, yakni sabun cuci B-29. Selanjutnya, pada 1948, sabun Lifebuoy mulai diperkenalkan oleh Unilever.

Walaupun sudah ada beberapa pilihan sabun, tapi rupanya belum semua orang memakainya. Jurnalis dan sejarawan Alwi Shahab mencatat di blognya, pada 1950-an, sehari menjelang bulan Ramadan, kaum perempuan biasa membersihkan diri di sungai Ciliwung Jakarta yang kala itu masih bersih. Dengan berkemben, mereka melakukan siraman (mandi keramas) untuk membersihkan seluruh tubuh.

Namun mereka tidak memakai sabun, melainkan merang yaitu batang padi yang dibakar. Merang direndam lalu dioleskan dari rambut sampai kaki. Alwi menyebutkan bahwa orang pada masa itu biasa mandi dengan sabun cuci Tjap Tangan. Sedangkan sabun mandi – kecuali Lifebuoy — seperti Lux dan Camay rupanya masih sulit didapat dan harus dibeli dari inang-inang yang berbelanja ke Singapura atau di pasar gelap seperti Pasar Ular, Tanjung Priok.

Kini, besarnya pasar global sabun pada 2021 adalah USD 36,61 miliar dan diproyeksikan akan mencapai USD 55,26 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun selama rentang waktu tersebut – menurut Emergen Research.

Dan Indonesia adalah negara pengekspor sabun terbesar ketiga di dunia. Ekspor produk sabun dan turunannya pada periode Januari-April 2020 mencapai USD 343,7 juta.

Melihat angka pertumbuhannya, industri sabun sepertinya masih akan terus berkembang, walau kini sudah mulai timbul gerakan untuk beralih dari sabun buatan pabrik yang berbahan kimiawi, pada sabun produksi rumahan berbahan herbal dan lebih ramah lingkungan.

Baca juga artikel terkait SABUN atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi