Menuju konten utama

Tabir Surya Setelah 100+ Tahun

Proses panjang kehadiran tabir surya dari 1891 hingga kini.

Tabir Surya Setelah 100+ Tahun
Ilustrasi Sunscreen. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tabir surya, menjadi salah satu produk kecantikan yang terus berinovasi. Menurut Ibisworld.com, industri tabir surya di Amerika Serikat pada tahun 2022 diramalkan akan mengalami peningkatan sebanyak 3.6%. Angka ini diyakini akan terus tumbuh, menilik dari angka pertumbuhan yang stabil sebesar 1,1% setiap tahunnya, sejak tahun 2017-2022. Munculnya beragam kebutuhan varian produknya, menjadi bukti perjalanan panjang tabir surya yang masih akan terus berevolusi.

Kulit Putih Sebagai Standar Kecantikan

Nenek moyang manusia, Homo sapiens, yang berasal dari Afrika, beruntung memiliki kulit gelap yang mengandung melanin tinggi. Kandungan melanin ini berfungsi sebagai perlindungan alami dari sinar matahari selama mereka hidup di alam terbuka. Kehidupan nomaden dan proses migrasi pada 60.000 SM membuat manusia purba ini pindah ke Utara, ke area dengan iklim yang lebih dingin. Di tempat barunya ini, mereka diuntungkan dengan paparan sinar matahari yang minim. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru, mereka mulai melindungi diri dengan mengenakan kulit hewan. Kondisi alam yang dingin sayangnya juga membuat mereka mulai kehilangan warna pigmentasi kulit.

Seiring perkembangan peradaban, mulai ada standar kecantikan yang saat itu diukur dari warna kulit pucat yang dianggap elegan dan melambangkan kemakmuran. Upaya perlindungan kulit kala itu, masih terbatas kebutuhan standar kecantikan, yaitu agar kulit tetap terlihat putih. Menurut penjelasan di artikel Sunscreen: A Brief Walk through History, perempuan-perempuan Mesir kuno menggunakan minyak dedak padi, bunga melati, dan tanaman lupin untuk mencegah kulit mereka terbakar sinar matahari dan bertambah gelap. Begitu pula dengan masyarakat Yunani kuno yang mengoleskan minyak zaitun untuk merawat kulit yang terbakar matahari, sedangkan beberapa suku penduduk asli Amerika menggunakan Tsuga canadensi, sejenis tanaman pinus, untuk perawatan yang sama. Lain lagi dengan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di Jepang, yang menjaga kulit mereka tetap putih dengan memakai timah dan merkuri. Sampai tahun 1600-an, perempuan kelas atas di Eropa masih menggunakan visard, semacam penutup wajah dari beludru untuk menghindari paparan sinar matahari selama perjalanan.

Dengan percepatan industrisialisasi, standar kecantikan berubah. Di era ini, standar hidup yang lebih baik kini diukur dengan berapa banyak waktu luang yang dimiliki, dengan norma berpakaian yang tidak lagi dibatasi, serta munculnya anjuran kesehatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan. Latar belakang sosial budaya yang terjadi pada masyarakat di era ini kemudian memicu kebiasaan untuk berjemur di paparan sinar matahari, yang menjadi cikal bakal kebutuhan awal perlindungan kulit.

Proses Panjang Penelitian Tabir Surya

Dr. Friedrich Hammer, adalah orang pertama yang menganjurkan penggunaan tabir surya untuk menghindari eritama, bercak kemerahan pada kulit. Pada tahun 1891, ia membuat tabir surya pertama yang digunakan manusia yang terbuat dari asam sulfat kina yang dicampurkan ke dalam losion dan balsam. Penelitian-penelitian tabir surya selanjutnya, dilakukan tidak terbatas pada upaya memberi perlindungan efektif, namun juga sampai menemukan tekstur produk yang terasa nyaman di kulit.

International Journal of Cosmetic Science pada artikel “Photoprotection in Changing Times – UV Filter Efficacy and Safety, Sensitization Processes and Regulatory Aspects” menyebutkan, pada awal abad ke-20, panas matahari masih diyakini sebagai penyebab kulit terbakar. Baru pada tahun 1922, Karl Eilham Hausser dan Wilhelm Valhe menemukan bahwa bukan panas, melainkan radiasi ultraviolet antara 280 dan 315 nanometer yang menyebabkan kulit terbakar.

Menanggapi tren gaya hidup kulit gelap yang berlanjut – karena kulit gelap adalah bukti adanya waktu luang dan uang untuk bersantai dan berjemur - pada tahun 1930, Eugene Schueler, pendiri perusahaan L’Oréal mengembangkan produk body oil, yang diberi nama Ambre Solaire. Produk ini masih merupakan bentuk tabir surya awal yang hanya berfokus pada perlindungan ultraviolet (UVB).

Menurut Federico Svarc di artikel A Brief Illustrated History on Sunscreens and Sun Protection, tabir surya baru benar-benar hadir pada tahun 1944 saat seorang ahli kimia bernama Benjamin Green, mencoba menciptakan yang disebut “red vet pet” (red veterinary petrolatum). Produk ini digunakan untuk melindungi kulit para tentara Amerika Serikat yang berperang di Pasifik selama Perang Dunia II. Walau kurang efektif, tapi tabir surya ini cukup memberikan perlindungan di medan perang. Selanjutnya ia mengembangkan temuannya dengan campuran minyak kelapa dan krim cokelat. Hak paten dari produk tabir surya ini kemudian dibeli oleh perusahaan Coppertone, dan mulai dipasarkan secara komersil.

Produk tabir surya yang dinilai efektif melindungi kulit dan nyaman bagi kulit diciptakan dua tahun kemudian dengan nama Gletscher Créme oleh ahli kimia Franz Greiter. Ia juga merupakan sosok yang mengenalkan konsep SPF (Sun protection factor) sebagai filter sinar UVB pada 1956. SPF menjadi penanda untuk mengukur level efektivitas tabir surya yaitu sebanyak 2mg/cm², yang merupakan standar aplikasi tabir surya di kulit.

Perlindungan kulit, yang pada masa sebelumnya dilakukan hanya sebagai upaya mencapai satu standar kecantikan tertentu, terus diperbaharui dengan upaya-upaya penelitian untuk memahami kesehatan kulit yang lebih dalam.

Tantangan Tabir Surya Sebagai Produk Masyarakat Modern

Walau tabir surya dengan filter SPF untuk perlindungan terhadap sinar UVB telah diperkenalkan, namun kesadaran masyarakat mengenai SPF sampai pada dekade 1960-an, masih minim. Gaya hidup berjemur dan tren memiliki kulit gelap, membuat masyarakat kala itu tidak bisa lepas dari hobi berjemur tanpa menggunakan tabir surya dengan kandungan SPF.

Namun pada tahun 1980-an, kampanye mengenai penggunaan tabir surya makin meluas. Laporan penelitian yang mengungkap tentang risiko paparan sinar matahari yang berlebihan juga semakin banyak. Fenomena ini berhasil mengubah cara pandang masyarakat mengenai tabir surya. Sejalan dengan kondisi masyarakat tersebut, formula tabir surya pun mengalami pengembangan. Produk tabir surya tidak lagi hanya dibuat untuk melindungi dari sinar UVB yang melindungi dari kulit terbakar, tapi juga mengandung formula untuk melindungi kulit dari paparan sinar UVA, yang dapat memicu terjadinya hiperpigmentasi dan penuaan dini di kulit.

Infografik Sunscreen

Infografik sunscreen. tirto/Quita

Booming tabir surya terjadi pada dekade 1970-an sampai 1980-an di Amerika Serikat dan merambat ke belahan dunia lain. Pada akhir 1970-an, ukuran SPF yang tercapai melalui penelitian baru mencapai SPF 20. Namun produk tabir surya yang ditawarkan di pasar semakin beragam. Saat itu, produk tabir surya paling popular adalah varian tabir surya tahan air. Dengan beragamnya varian tabir surya yang muncul, FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat, mulai membuat aturan ketat mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai filter sinar UV. Aturan ini masih terus diperbarui dan berlaku sampai sekarang.

Di Indonesia, BPOM juga menerbitkan aturan khusus tentang produk tabir surya. Aturan terbaru bisa dilihat di “Pedoman Persyaratan Teknis Penandaan Kosmetika Sediaan Tabir Surya” yang menjadi bagian dari Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun 2020, tentang “Persyaratan Teknis Penandaan Kosmetika”. Di Indonesia, kadar perlindungan terhadap sinar UVB ditandai dengan level SPF, sedangkan perlindungan terhadap sinar UVA ditandai dengan level PA.

Tantangan industri tabir surya dalam melakukan inovasi produk baru masih terus bergulir sampai saat ini. Produk tabir surya di era modern ini bahkan tidak bisa hanya sebatas menawarkan produk dengan kandungan mineral, prebiotik, atau probiotik saja, namun meluas ke kebutuhan lain. Perilaku konsumsi sebagian masyarakat modern saat ini juga mulai mempertimbangkan produk dari sisi etika bisnis. Dalam produk tabir surya, misalnya, konsumen akan melihat kontribsusi produk tersebut pada lingkungan. Selain etika bisnis, nilai tambah pada satu produk juga yang dicari konsumen. Seperti fenonema meningkatkan ketertarikan konsumen pada produk tabir surya yang tidak menganggu absorbsi vitamin D ke tubuh. Inovasi produk tabir surya juga meliputi upayanya untuk selalu mengembangkan bentuk-bentuk produk dalam bentuk semprotan, busa, produk multifungsi, genderless, sampai efek kulit berkilau.

Karakter masyarakat modern yang terbiasa dimudahkan dengan perkembangan dan percepatan zaman, di sisi lain juga memudahkan mereka untuk terus merasa kekurangan dan membutuhkan lebih banyak pilihan. Namun sepertinya, justru hal ini menjadi peluang bagi bisnis tabir surya untuk terus mencari dan menciptakan kebutuhan, agar tetap eksis bahkan untuk 100 tahun lagi.

Baca juga artikel terkait SUNSCREEN atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Lilin Rosa Santi