Menuju konten utama

Merangsang Hasrat Manusia dengan Kecanggihan Robot Seks

Robot seks makin canggih. Tak hanya bergerak otomatis, ia juga bisa memahami perwujudan emosi penggunanya. Akankah ia bakal mengusik keintiman antarmanusia?

Merangsang Hasrat Manusia dengan Kecanggihan Robot Seks
Robot seks Emma yang diproduksi dengan tinggi badan antara 150cm hingga 168cm dan sudah berteknologi kecerdasan buatan. (ANTARA/AI Tech UK)

tirto.id - Revolusi digital dan perkembangan teknologi yang menyertainya tak hanya mengubah wajah kehidupan, tapi juga membentuk seksualitas manusia. Munculnya gawai, media sosial, aplikasi kencan, robot seks, mainan seks, dan Akal Imitasi (AI), menandai perubahan perilaku manusia dalam membangun relasi dan menikmati hubungan seksualnya.

Dua dekade silam, kita hanya bisa membaca kolom biro jodoh pada surat kabar. Di sana tertera biodata pengirim dan ciri-ciri pasangan yang diidamkannya. Pembaca yang berminat dipersilahkan mengirim surat dan biodata ke alamat tercantum. Jika berbalas, mereka biasanya akan membuat janjian untuk bertemu dengan memberikan alamat lengkap dan nomor telepon. Sangat ribet, bukan?

Lalu, datanglah era digital yang memudahkan dan mengubah segalanya. Hadirnya aplikasi kencan membuat pencarian jodoh lebih praktis, cepat, mudah, dan simpel. Cukup dengan membuka aplikasi, algoritma akan menyediakan puluhan, ratusan, bahkan ribuan pilihan calon pasangan. Kita tinggal menggulir layar ke kanan jika tertarik dan ke kiri jika tidak. Bertukar pesan singkat pun bisa dilakukan dengan simpel dan cepat.

Kemudahan itu juga dimanfaatkan oleh prostitusi untuk pindah ke media daring, atau istilah bekennya "open BO". Hal itu memungkinkan privasi lebih terjaga daripada datang ke lokalisasi atau tempat hiburan malam. Ada pula platform yang mewadahi layanan serupa tapi tanpa bertemu secara langsung, cukup dengan VCS (video call sex).

Hal-hal mutakhir itu mungkin akan sangat aneh jika kita pikirkan dalam dua dekade lampau. Namun, sebenarnya itu belum terlalu membuat kontroversial jika dibandingkan hadirnya robot seks. Kemunculannya menimbulkan pro dan kontra sekaligus diskusi lebih lanjut tentang cara kita menyikapi seksualitas yang terus berubah.

Perkembangan Seksualitas Robot Seks

Robot seks merupakan perkembangan mutakhir dari patung seks dan boneka seks. Berbeda dengan dua pendahulunya yang pasif dan dingin, robot seks dilengkapi dengan teknologi kecerdasan yang memungkinkannya merespons stimulus fisik layaknya manusia.

Boneka seks dan robot seks dirancang menyerupai manusia dan secara eksplisit berfungsi dalam aktivitas seksual. Bedanya, boneka seks relatif “tidak bernyawa”, sedangkan robot seks memiliki satu atau lebih kemampuan otomatis.

Menurut pantauan Russel Belk yang diabadikan dalam Journal of Service Research (2022), perkembangan robot seks makin pesat setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Walaupun belum bisa menyamai keintiman emosional layaknya hubungan antar-manusia, robot seks cukup peka terhadap emosi manusia. Ia bisa mendesah, berbicara, dan mengekspresikan rasa cemburu. Dalam skala tertentu, robot seks bahkan bisa bergerak dan berganti posisi secara otomatis.

Dengan permukaan kulit dan wajah yang makin menyerupai manusia, robot seks diproyeksikan bisa menjadi bintang porno masa depan.

Robot seks yang berhasil untuk pertama kalinya bernama Roxxxy. TrueCompanion, perusahaan produsen robot seks yang dipimpin oleh Douglas Hines, mengklaim bahwa Roxxxy merupakan robot seks pertama yang dibuat di dunia. Pada awal peluncurannya tahun 2010, Roxxxy sudah bisa mengetahui nama pemiliknya, mengetahui hal yang disuka dan tidak disukai pasangannya, dan, yang paling spektakuler, ia bisa orgasme.

Tak lama setelah kemunculan Roxxxy, Eropa turut memberi kontribusi terhadap pengembangan robot seks. Melalui Insinyur mesin dari Barcelona, Sergio Santos, hadirlah robot seks bernama Samantha. Bersama istrinya, Maritsa Kissamitaki, doktor nanoteknologi lulusan Universitas Leeds itu mengembangkan versi awal Samantha yang lebih peka merespons rangsangan, baik vokal maupun fisik.

Dalam purwarupanya, Santos menanamkan sebelas sensor pada bagian tubuh Samantha, termasuk di payudara, pinggang, tangan, wajah, bibir, dan vagina, untuk menambah kepekaan dalam menanggapi rangsangan. Pada pengembangan selanjutnya robot seks tersebut juga sudah memunyai kapasitas memori sederhana.

Tidak sampai satu dasawarsa setelahnya, Harmony diciptakan. Matt McMullen, bos perusahaan RealDoll, merilis boneka seks yang telah dibekali kecerdasan artifisial pada 2018. Hal itu terwujud hanya dalam waktu tiga tahun sejak pertama kali ia membahas tentang kemungkinan kecerdasan buatan ditanamkan dalam boneka seks. Perusahaan itu juga membuat robot versi laki-lakinya bernama Henry.

Tampilan fisik Harmony sudah tentu lebih nyata dibanding generasi robot seks sebelumnya. Tak hanya itu, kemampuannya dalam berinteraksi dengan manusia juga jauh lebih baik daripada pendahulunya, Roxxxy.

Namun, ketiga robot tersebut belum bisa membuat gerakan atau perpindahan posisi secara luwes dan otomatis. Kemampuan itu baru bisa dicapai oleh Android Love Doll (ALD). Robot yang dirancang oleh ahli teknik mesin asal Kuba yang tinggal di Las Vegas, Roberto Cardenas, tersebut dapat melakukan setidaknya 20 gerakan seksual layaknya manusia.

Boneka Seks

Pabrik boneka seks, AS. FOTO/Youtube

Eksistensi robot seks menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Hal itu dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa pasti ada dampak buruk jika robot seks diterima dalam norma sosial masyarakat. Lara Kaaraian dalam artikel jurnal bertajuk "Plastic fantastic: Sex robots and/as sexual fantasy" (2024) menceritakan, seorang ahli etika Inggris dari kelompok feminis radikal, Kathleen Richardson, sampai repot-repot mendirikan CAPR (campaign against porn robot). Hal itu dilakukan karena ia khawatir robot seks menjadi pembenaran atas objektifikasi seks kepada perempuan dan anak-anak.

Lewat laporan berjudul "Should we campaign against sex robot?" (2017), John Danaher dan kolega menambahkan, hubungan antara robot seks dan manusia dimodelkan berdasarkan hubungan pekerja seks komersial-klien. Oleh karenanya, sifat hubungannya juga serupa.

Di sisi lain ada yang membela keberadaan robot seks. Argumennya didasarkan pada anggapan bahwa tidak semua orang dapat mendapatkan relasi atau kepuasan seksual dengan sesama manusia.

Dalam artikel jurnal bertajuk "What Would Happen If Sex Robots Could Replace Human Partners?" (2024), Peiqiao Li mencoba memberikan pandangan lebih objektif berdasarkan analisis buku akademik, artikel, esai, dan wacana media digital, tentang hubungan robot seks dan manusia.

Walaupun mengandung resiko seperti pemerkosaan, pedofilia, ketidaksetaraan gender, dan pengaburan batas subjektivitas antarmanusia, robot seks bermanfaat bagi penyandang disabilitas dan lansia. Dengan segala keterbatasannya dalam menjalani kehidupan dan menjalin relasi, menurut Peiqiao Li, robot seks bisa menjadi pilihan yang paling aman, nyaman dan mudah.

Menurut Eli Coleman dan kolega dalam catatan yang terbit di International Journal of Sexual Health(2021), kenikmatan seksual adalah hak asasi manusia yang fundamental dan penting bagi peningkatan kesehatan seksual dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Sex Toys, Mainan Orang Dewasa

Walaupun tidak mengundang kontroversi sebesar robot seks, kemunculan sex toys juga menjadi pusat diskusi tentang bergesernya seksualitas di era perkembangan teknologi digital. Keberadaannya sangat dibutuhkan oleh beberapa kalangan. Tak hanya individu yang tidak berpasangan, sex toys sangat bermanfaat bagi pasangan yang sedang berjauhan untuk tetap bisa melakukan aktivitas seksualnya.

Namun, keberadaan sex toys menjadi problematis terutama di negara-negara yang masih konservatif dalam hal seks. Di Indonesia, status sex toys pernah dianggap ilegal dan dilarang penjualannya. Hal itu terjadi karena barang itu dianggap bagian dari pornografi karena menyerupai alat kelamin manusia. Oleh sebab itu, untuk menghindari jeratan hukum, perdagangan sex toys dilakukan di "bawah tanah".

Seiring berjalannya waktu, aturan itu makin longgar dan banyak celah untuk melewatinya. Jika alasannya adalah bentuk, kini sudah banyak varian sex toys yang tidak menyerupai kelamin manusia, bahkan justru terkesan lucu dan unik.

Penggunaan sex toys juga makin meningkat seiring peningkatan interaksi daring, terutama ketika kebijakan jaga jarak diberlakukan pada masa Pandemi Covid-19. Di periode itu, penjualan sex toys meningkat. Hal yang terjadi pada sex toys pasca-pandemi pun tak lagi senegatif seperti era-era sebelumnya. Lapak penjualannya pun mulai menjamur, walaupun masih didominasi oleh gerai dan transaksi daring.

Selain sebagai pemutar roda ekonomi, bagi beberapa kelompok masyarakat, toko sex toys melambangkan perjuangan kesetaraan gender. Menurut studi April Huff bertajuk "Liberation and Pleasure: Feminist Sex Shops and the Politics of Consumption" (2018), pesan bahwa kenikmatan seksual adalah sarana pembebasan dan pemberdayaan pribadi dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan feminis radikal gelombang kedua. Karena itu, biasanya pemilik toko bertindak sebagai “pengguna ahli” dan mengemas retorika feminis tentang pemberdayaan diri.

Gerakan pembebasan yang berasal dari Barat itu pun merebak, tak terkecuali di negara-negara Asia. Salah satunya di Tiongkok. Sebagaimana ditulis dalam laporan penelitian Luoxiangyu Zhang yang terbit di Asian Journal of Women's Studies (2025), etika gender Tiongkok yang dipengaruhi oleh Konfusianisme perlahan berubah seiring laris manisnya sex toys yang dijual bebas di sana.

Tak hanya strategi ekonomi, fenomena tersebut juga dipengaruhi kuat oleh strategi retorika. Dalam studinya, Zhang memetakan enam strategi retorika, yaitu menekankan desain bebas rasa malu, mendemistifikasi orgasme wanita, membingkai sex toys sebagai mainan yang menyenangkan, menekankan fitur non-penetratif, membedakan sex toys dari mainan seks tradisional, serta menekankan agensi wanita.

Pada dasarnya, seksualitas manusia dibentuk tidak hanya dari aspek biologisnya, tapi juga dari kondisi psikologis dan sosiologis yang menyertainya. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat pada lingkungan sekitar pasti akan membawa perubahan pada seksualitas manusia, termasuk dalam konteks perkembangan teknologi, baik yang kemudian berwujud mainan seks ataupun robot seks.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Byte
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Fadli Nasrudin