tirto.id - Seorang laki-laki kaya duduk di sebuah kursi, di sekelilingnya berdiri sekelompok orang yang berusaha menagih uang kepadanya. Satu per satu, harta benda si Laki-laki dirusak, tetapi ia tetap bergeming. Lantas, Joe—salah satu penagih perempuan—menghampirinya, mencoba metode lain untuk membuatnya menyerah dan mau memberikan uang kepada mereka: menceritakan kisah seks menyimpang hingga membuat si Laki-laki terangsang, kemudian memerasnya dengan fakta yang didapatkannya.
“Ikat dia di kursi. Jangan sakiti dia,” ujar Joe kepada rekan-rekannya, kemudian ia beralih kepada si Laki-laki, “Saya tidak bisa menemukan cacat celamu, tetapi pengalaman saya mengajarkan bahwa tidak satu manusia pun bersih.”
Tanpa diduga si Laki-laki, Joe memeloroti celananya dan berkata, ia akan melontarkan sejumlah kisah kepadanya dan si Laki-laki cuma harus mendengarkan. Satu per satu, adegan seks yang pada kehidupan nyata yang menyimpang diutarakan Joe sembari matanya memperhatikan, apakah si Laki-laki terangsang. Sado-masokisme, fetisisme, homoseksualitas, dan aneka adegan seks “aneh” coba Joe gambarkan, tetapi tidak satu pun membuat si Laki-laki ereksi. Ia nyaris menyerah ketika tebersit di kepalanya ide sebuah adegan.
“Dalam perjalanan pulangmu, kamu melintasi sebuah taman dan sesuatu menghentikanmu. Kamu mendengar sesuatu. Ya, benar. Kamu bisa mendengar anak-anak bermain di taman itu. Kamu duduk di bangku di dekat mereka dan memperhatikannya. Ada seorang bocah laki-laki bercelana pendek yang tengah bermain pasir. Dia menatapmu dengan mata birunya…”
Selagi Joe meneruskan ceritanya, air muka si Laki-laki berubah seolah tengah menahan sesuatu, seperti memelas. Baru perlahan, genitalia ereksi, tetapi Joe tak menyudahi kisahnya.
“…Dia tersenyum menatapmu, berjalan mendekatimu, lalu duduk di pangkuanmu dan memandangi wajahmu. Dia bilang, dia ingin pulang ke rumah bersamamu. Di rumah, kamu tak tahan untuk telanjang bersama dengan anak itu. Dia menggerayangi tubuhmu…”
“Saya mohon, hentikan ini!” pinta si Laki-laki, tetapi Joe tak mengindahkan permintaannya. Baru kemudian Joe mengiyakan si Laki-laki begitu mendengar ia berucap seraya menangis, “Saya akan bayar!”
Kisah ini dipetik dari film Nymphomaniac Vol. II (2013) karya Lars von Trier. Paedofil memang jamak dikecam dan dicemooh di banyak negara. Mereka acap kali disamakan dengan child molester atau pelaku kekerasan seks terhadap anak, padahal tak serta merta paedofil mewujudkan fantasi dan hasratnya di kehidupan nyata.
Beragam cara dilakukan untuk merepresi hasrat paedofil, mulai dari sanksi sosial berupa eksklusi dari masyarakat hingga hukuman berat bagi paedofil yang terbukti menyetubuhi atau melecehkan anak. Di lain sisi, ada pihak-pihak yang peduli terhadap kebutuhan seks para paedofil. Mereka sadar, pelampiasan parafilia macam ini tidak diterima masyarakat.
Shin Takagi, pemilik perusahaan Trottla di Jepang, memproduksi boneka seks anak-anak untuk para paedofil. Keputusan Takagi ini tentu saja mengundang kontroversi. Kendati demikian, ia bukan asal menciptakan boneka-boneka tersebut. Peneliti dari Universitas Toronto, Kanada, Michael Seto, mengatakan bahwa pornografi anak atau penggunaan boneka seks bisa jadi terapi paling aman untuk mengontrol hasrat seks para paedofil. Justru menurutnya, hal ini bisa mengerem kriminalitas seksual terhadap anak.
Baca juga
Trottla bukan satu-satunya produsen alat pemenuhan kebutuhan seks yang dianggap menyimpang. Pada 19 Juli silam, Independent memberitakan, True Companion—produsen boneka seks berbasis di New Jersey, AS—merilis ‘Roxxy’, sebuah robot perempuan yang memiliki personalitas beragam. Satu di antaranya adalah persona Frigid Farah yang mengakomodasi fantasi perkosaan orang-orang. Selain Frigid Farah, ada pula Wild Wendy dan S&M Susan. Dalam keterangan di situs perusahaan tersebut, saat pemilik menekan Frigid Farah di bagian privatnya, ia akan bereaksi menolak. Lain lagi dengan persona Young Yoko yang digambarkan berusia sangat muda (di bawah 18 tahun) dan menunggu pemiliknya untuk ‘mengajari’ dia.Sama seperti wacana boneka seks untuk paedofil, peluncuran Roxxxy menimbulkan pro dan kontra. Pakar artifical intelligence, Dr. Noel Sharkey, menyatakan bahwa kehadiran robot membawa dampak-dampak etis dalam kehidupan seks pada masa depan. “Sebagian orang mengatakan lebih baik memerkosa robot daripada orang sungguhan. Sementara yang lainnya berpendapat, hal ini hanya mendorong tindak kriminal perkosaan,” ujar Sharkey yang telah melakukan survei di Inggris terkait bagaimana robot memengaruhi kriminalitas seksual.
Penggagas Everyday Sexism Project, Laura Bates, berkomentar keras tentang produk Frigid Farah. Ia menulis di New York Times, “Ya, alat bantu seks memang sudah lama ada, tetapi robot seks memosisikan perempuan sebagai mainan, perempuan sebagai objek untuk laki-laki. Dengan membuat robot-robot ini serealistis mungkin—mulai dari robot yang bisa menciptakan rasa hangat sampai yang bisa berbicara dan mengisap, dari yang memiliki detak jantung sampai yang bisa menggoda pemiliknya—pencipta mereka tengah menjual lebih dari sekadar alat bantu seks. Mereka memproduksi perempuan sungguhan, lengkap dengan segala yang perempuan miliki, kecuali otonomi.”
Lebih lanjut Bates beropini, isu besar dari pengadaan robot seks bukan apakah benda ini berguna atau berbahaya, melainkan konteks pembuatannya. Saat ini, di masyarakat jamak ditemukan budaya dan praktik ‘penaklukan’, diskriminasi, dan kekerasan fisik serta seksual terhadap perempuan. Pada intinya, Bates menganggap pengadaan robot dengan personalitas macam Roxxxy melanggengkan pengabaian seks berbasis kesepakatan perempuan.
Fantasi Seks dan Moralitas
Perbincangan tentang fantasi seks tak melulu terpaku pada variasi kontennya. Sudut pandang menarik dipaparkan Aaron Ben-Ze’ev dalam buku Love Online (2004) ketika sedang membahas cybersex, imajinasi, perselingkuhan, dan moralitas. “Bagaimanakah status moral imajinasi? Apakah kita bisa mengkritisi imajinasi sebagaimana kita mengkritisi aksi? Banyak orang setuju bahwa terkait isu moralitas, aksi berbicara lebih keras dibanding imajinasi (atau pikiran). Oleh karenanya, pertanyaan sentral soal moral bukanlah ‘Apa yang semestinya saya bayangkan?’, melainkan ‘Apa yang semestinya saya lakukan?’,” demikian cuplikan pendapat Ben-Ze’ev. Ia juga mengatakan, banyak orang menganggap imajinasi punya relevansi terhadap moralitas. Kendati demikian, tidak ada patokan aturan moral yang ajeg untuk meregulasi fantasi.
Memang benar, imajinasi tak bisa ditangkap oleh polisi-polisi moral dari luar. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa masyarakat hidup dalam kerangkeng norma dan moralitas yang kerap membuatnya membatasi imajinasi. “Saya tidak boleh berfantasi dengan tetangga perempuan saya”, “Tidak pantas jika saya membayangkan menyetubuhi mayat”, atau “Berimajinasi mempenetrasi sesama jenis adalah hal yang benar-benar salah” adalah contoh-contoh cara seseorang merantai fantasinya. Ia sendirilah yang merepresi fantasi dan hasratnya, yang menurut penelitian dari University of Vermont, dapat membuat seseorang tidak bahagia dalam kehidupan seksnya.
Salah satu acuan moralitas utama adalah norma-norma agama. Praktisi psikologi pembelajaran dan pengamat psikologi evolusi, Handriatno Waseso mengungkapkan bahwa agama berupaya mengendalikan hasrat manusia demi keteraturan sosial. Maka tak heran, mereka yang memegang teguh nilai agama, bahkan bisa dikatakan religius, merasa benar-benar bersalah saat mengakses pornografi atau berfantasi seks, terlebih jika fantasinya “tidak normal”.
- Baca juga Orang Religius Pun Gemar Nonton Bokep
Mengapa Orang Punya Fantasi 'Tidak Normal'?
Ada serangkaian penjelasan mengapa orang punya fantasi seks yang dihujat habis-habisan bila dilakukan di kehidupan nyata. Ambil contoh, perkosaan. Studi menemukan, sekitar 13-54 persen laki-laki menyatakan memiliki fantasi memerkosa perempuan, demikian ditulis Justin J. Lehmiller, penulis The Psychology of Human Sexuality dalam situs personalnya.
Hasrat memerkosa bisa mengisyaratkan keinginan mereka untuk mendominasi si perempuan yang bersumber dari peran gender normatif di masyarakat. Pandangan lain menyatakan, laki-laki yang berfantasi seperti ini bisa jadi bersumber dari konten-konten media yang menggambarkan pada saat perkosaan terjadi, perempuan lama kelamaan akan terangsang dan menyerahkan diri.
Di samping itu, ada orang-orang yang mendapat kesenangan bukan dari penetrasi ketika melakukan seks penuh kekerasan yang berbasis kesepakatan dua pihak. Bagi mereka, kegiatan ‘menghukum’ si pasangan memberikan kenikmatan tersendiri yang melebihi kenikmatan badaniah.
Pemuasan kebutuhan yang bersifat psikologis juga ditemukan bukan hanya pada laki-laki. Perempuan pun ada yang berfantasi melakukan seks di bawah paksaan. Menurut Lehmiller, sekitar 31-57 persen perempuan mengaku memiliki fantasi ini. Sekitar 9-17 persen dari mereka mengatakan fantasi perkosaan adalah favorit mereka. Tentunya, level paksaan yang diimajinasikan setiap perempuan beragam. Dan satu yang pasti, fantasi ini tidak bisa dijadikan justifikasi mereka menginginkannya terjadi di kehidupan nyata.
Apa yang mendasari munculnya fantasi perkosaan dalam benak perempuan?
Lehmiller menjelaskan, mereka yang berfantasi seperti ini bukanlah orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa lalu. Maka, hal ini bukanlah refleksi dari pengalaman yang sempat mereka kecap dulu. Alasan lainnya, perempuan mungkin memiliki fantasi perkosaan sebagai strategi menghadapi aturan peran gender yang berlaku di masyarakat—yang sering kali merepresi seksualitas mereka. Saat berfantasi berhubungan badan dengan konsensus, para perempuan ini akan merasa bersalah karena berpikir telah menggratifikasi hasratnya. Sebaliknya, dengan berimajinasi dipaksa berhubungan seks dengan orang lain, ia merasa bebas dari tanggung jawab karena hal itu diemban si pelaku perkosaan.
Kendati demikian, alasan terakhir ini masih menjadi spekulasi. Ada pihak lain yang berpendapat, perempuan yang berpandangan positif terhadap seks alias tidak merasa seksualitasnya mesti dikekang juga bisa memiliki fantasi perkosaan. Semakin positif ia terhadap seks, makin kaya fantasinya dan perkosaan merupakan satu dari sekian banyak fantasi perempuan-perempuan ini.
“Fantasi perkosaan tidak terbatas pada orang-orang heteroseksual saja. Hal ini pun jamak ditemukan dalam diri orang-orang gay dan lesbian,” tutup Lehmiller dalam artikelnya yang bertajuk “Sex Question Friday: Is It Normal to Fantasize About Forced Sex?”.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra