tirto.id - Salah satu ujian terberat dalam menjalani perintah maupun anjuran agama adalah pengelolaan hasrat. Termasuk seks. Upaya untuk menahan kenikmatan daging ini muncul nyaris di setiap agama, baik Kristen, Islam, juga Hindu dan Buddha. Tunduk pada nafsu seksual merupakan salah satu dosa terbesar, terutama jika di antara para pelakunya tak punya ikatan (pernikahan).
Ada anggapan semakin saleh seseorang maka ia makin kuat menahan nafsu birahi. Nafsu seks dianggap sebagai keinginan yang mesti ditahan dan tak boleh ditunjukkan sembarangan. Juga kegemaran menonton film porno. Dalam sebuah artikel yang dimuat di Catholic Education Resource Center, pornografi disebut membuat lelaki jadi lemah, merendahkan perempuan, menghancurkan perkawinan dan menghina ajaran tuhan.
“Pornografi secara perlahan membuat laki-laki kehilangan kemampuan untuk mencintai. Memang mustahil mencintai fantasi, tapi hidup dalam dunia fantasi membuat laki-laki kabur dari kenyataan dan menghindari keinginan akan cinta sejati,” tulis Jason Evert.
Menonton film porno adalah hal yang salah dan dosa, tapi banyak penggunanya merasa konten porno adalah hal yang wajar ditemukan di internet. Ia dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari. Maka, sekali-dua masuk atau kebetulan melihat konten porno adalah hal yang masih bisa dimaafkan.
Mengapa agama memandang buruk pornografi dan kenikmatan pornografi?
Handriatno Waseso, praktisi psikologi pembelajaran dan pengamat psikologi evolusi, menyebut bahwa agama—jika dipahami sebagai produk peradaban—merefleksikan upaya mengendalikan hasrat manusia untuk keteraturan masyarakat. Menurutnya, agama tidak hanya mengatur tentang seks tapi segala keinginan manusia, seperti kekuasaan dan harta.
Dalam kajian psikologi yang ia pelajari, kemunculan agama adalah upaya memberikan masyarakat panduan dan keteraturan sosial.
“Jadi, sepertinya obsesi terhadap seks atau perang awalnya memang naluriah. Agama mati-matian membuatkan sistem supaya kanalisasi hasrat itu enggak salah-salah banget. Seks adalah insting yang dikendalikan secara lebih intuitif oleh agama,” katanya.
Handriatno menyebut tafsir agama tentang seks sangat metaforis dan hanya sedikit yang praktis. Misalnya perzinahan akan diganjar dengan rajam, sedangkan yang bersabar diberi ganjaran di surga. Ia menduga sedikit sekali usaha melakukan tafsir kritis terhadap seks dalam ajaran agama. Inilah yang kemudian melahirkan fantasi sensual. Menurutnya, perlu ada pemahaman mana tafsir yang filosofis dan mana tafsir yang tekstual.
“Bangunan sistem agama dalam menyikapi seks cenderung minim aspek rasional. Berbeda dengan teologi atau hukum Islam, misalnya hukum waris yang sangat rasional dan komprehensif,” katanya.
Pendapat serupa juga diperkuat oleh Nadirsyah Hosen, dosen senior di Monash Law School Australia yang menggeluti bidang Hukum Islam (Syariah) dan Hukum Umum. Melalui akun Twitter-nya, Nadir melontarkan pendapat agar memahami surga tidak hanya dalam konteks zahir belaka. Ia menyebut bahwa kenikmatan surga yang ada seperti bidadari, sungai, dan kebun mesti dipahami dengan konteks sosialnya.
“Iming-iming kenikmatan ketiganya adalah strategi dakwah Islam sesuai konteks sosio-historis masyarakat Arab jahiliyah saat itu,” katanya.
Menurut Nadirsyah Hosen, sebelum Islam datang, orang Arab bisa memiliki istri dengan jumlah nyaris tak terbatas. Saat Islam datang, muncullah aturan bahwa yang dibolehkan "hanyalah" empat orang istri dengan syarat adil. “Jadi ini jawaban Qur'an pada konteks masyarakat yang masih jahiliyah, gila wanita dan merasa rugi kalau masuk Islam,” katanya.
Namun, ada temuan menarik terkait urusan nafsu badaniah ini. Riset yang dilakukan oleh departemen sosiologi dari Universitas Oklahoma menunjukkan kegemaran menonton film porno, pada tingkat yang ekstrem, berkorelasi positif dengan religiusitas seseorang.
Riset ini menghasilkan beberapa temuan bagaimana persepsi orang yang mengaku religius terhadap konten pornografi, film porno, dan citra diri usai menonton konten tersebut. Meski kemudian beberapa orang mengambil kesimpulan gegabah dengan menyebut, menonton film porno membuat orang semakin taat beragama, riset ini menarik untuk dipahami secara kritis.
Riset yang dilakukan oleh Samuel L. Perry melibatkan 1.314 orang dari 2006 dan 2012 dan dimuat dalam The Journal of Sex Researchpada 2016. Perry menemukan orang-orang yang masuk kategori religius di Amerika Serikat—seperti rutin beribadah pada hari minggu dan menjauhi larangan agama—ternyata masih menonton konten porno. Namun, beberapa dari menolak dianggap kecanduan, meski menonton film porno secara rutin.
Temuan lain dalam riset ini menyebut orang religius yang menonton film porno ini mengaku merasa bersalah setelah menonton. Mereka merasa dirinya perlu bertobat, merasa bersalah, dan harus berbuat baik untuk menebus perasaan bersalah ini.
Menariknya di negara-negara bagian Amerika Serikat yang dianggap konservatif dan sangat beragama, ada data menarik soal akses situs porno. Negara bagian yang dianggap wilayah redneck atau fanatik agama memiliki tingkat langganan dan penonton tayangan porno tinggi, berdasarkan statistik yang diberikan oleh situs streaming konten porno.
Namun, orang-orang religius yang menonton film porno menganggap dirinya tidak kecanduan, dan menonton untuk meningkatkan keimanan. Ini dibuktikan bahwa setiap selesai menonton film porno mereka merasa bersalah, dan rasa bersalah ini dianggap sebagai bukti keimanan.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani