tirto.id - Sejak menikah hingga usia perkawinannya hampir setahun, Alvina merasa kesulitan berhubungan seks dengan suaminya.
Perempuan asal Surabaya ini kemudian mencoba mencari-cari informasi sendiri di internet.
"Dengan mengamati gejala yang saya alami, semuanya mengerucut ke vaginismus. Saya terus terang mendiagnosis diri sendiri menderita ini," aku Alvina.
Menurut penjelasan dr. Ni Komang Yeni Dhana Sari, SpOG, MM, MARS dari Klinik360 Indonesia, vaginismus adalah kondisi kaku yang terjadi pada sepertiga bagian depan otot vagina.
“Hal ini menyebabkan seseorang tidak bisa penetrasi, memasukkan jari, memakai tampon, dan memasukkan obat melalui vagina,” terang dr. Yeni.
Apabila dipaksakan, hasilnya akan menimbulkan rasa sakit.
“Nyeri mereka nyata,” kata dr. Yeni.
Tidak diketahui pasti apa yang menyebabkan vaginismus, akan tetapi terdapat beberapa faktor risiko baik yang bersifat fisik, sosial, sampai emosional.
Faktor fisik disebabkan oleh jumlah syaraf di vagina penderita vaginismus yang tingkat kerapatannya bisa 10 hingga 12 kali lipat lebih rapat dari perempuan normal.
Faktor sosial dapat dikaitkan dengan norma dan ajaran sedari kecil bahwa seks adalah tabu, zina, dosa, yang terpatri di pikiran sampai usia dewasa.
Sementara faktor emosional biasanya berhubungan dengan trauma masa lalu, seperti pelecehan seks atau perselingkuhan.
Terlebih dari itu semua, respons tak sadar otot-otot vagina pada kondisi vaginismus utamanya berkaitan erat dengan rasa cemas atau kegelisahan yang dialami penderitanya.
Masalah penderita vaginismus kerap tidak dimengerti oleh masyarakat luas karena disfungsi seksual ini cenderung jarak ditemui.
Dikutip dari artikel di Balkan Medical Journal (2024), prevalensinya di masyarakat cenderung rendah. Meski begitu, tingkat prevalensi klinis yang dilaporkan bisa berkisar pada 5-7 persen.
"Saya yakin angkanya lebih banyak lagi, karena ini seperti fenomena gunung es. Yang muncul untuk speak up hanya sedikit saja," jelas dr. Yeni.
Usaha penderita vaginismus untuk mengerti lebih jauh tentang kondisinya pun kerap diwarnai dengan berbagai tantangan, tak terkecuali dari tenaga kesehatan sendiri.
Pasalnya, tidak semua pakar kesehatan reproduksi perempuan atau spesialis Obstetri dan Ginekologi memahami kondisi vaginismus.
Seperti yang dialami Alvina, "Saat periksa ke dokter kandungan karena merasakan nyeri di bagian perut bawah. Kebetulan saat itu saya masa subur. Dokternya malah menyarankan untuk program hamil saja, tidak mengobati vaginismus dulu. Saya lalu cari alternatif dokter lain."
Felia (nama samaran), penyintas vaginismus asal Jambi, bahkan pernah diremehkan oleh tenaga kesehatan.
Akhirnya Felia memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter secara daring, "Membayangkan periksa [USG] transvaginal saja sudah takut, maka saya memilih konsultasi online."
Sementara itu, dukungan dari pasangan tidak selalu didapatkan oleh penderita vaginismus, sebagaimana dialami oleh Ulil (nama samaran).
Ketidaktahuan Ulil dan suaminya tentang kondisi vaginismus bahkan berujung pada perceraian.
"Mantan suami nggak paham dan nggak support sama kegalauan saya. Apalagi dia pengen segera punya keturunan," ungkap Ulil, sedih.
"Saya dulu malu, bingung, sampai pengen bunuh diri. Saya sering bertanya-tanya kenapa saya nggak bisa seperti perempuan lain yang lancar berhubungan seks dengan suami," kenang perempuan asal Ponorogo ini.
Tak berapa lama kemudian, Ulil menjalin relasi baru dengan teman kuliahnya. Mereka memutuskan untuk naik ke jenjang serius.
"Sebelum menikah, saya sudah cerita semua permasalahan saya karena tidak mau dia kecewa. Suami menerima dan menyakinkan saya, jika sama dia pasti bisa," ungkapnya.
Ternyata, setelah Ulil menikah lagi, proses penetrasi tetap tidak bisa dilakukan. Saat itulah Ulil mencoba mencari-cari informasi dan akhirnya menemukan komunitas penyintas vaginismus di media sosial Instagram, Vaginismus Squad.
"Awal 2023, saya join grup dan menyimak sharing sesama anggota. Kok sama persis dengan yang saya rasakan. Saya merasa tidak sendirian. Selama ini saya pendam sendiri, malu dan nggak berani cerita," ungkap Ulil.
Penderita vaginismus berpeluang untuk sembuh sehingga dapat menjalani hubungan seks sebagaimana pasangan pada umumnya.
Kesembuhan vaginismus, menurut dr. Yeni, bisa diraih dengan beberapa langkah.
Pertama, utamakan posisi tubuh yang benar saat berhubungan seks.
Kedua, teknik pernapasan. Apalagi kita menahan napas saat penetrasi, makan akan terjadi konstraksi yang mempersulit proses penetrasi. “Maka perlu teknik pernapasan diafragma,” jelas dr. Yeni.
Ketiga, apabila kondisi sarafnya dominan, dokter dapat memberikan penanganan berupa anastesi topikal atau bius lokal pada otot-otot vagina.
Keempat, terapi dilatasi menggunakan dilator. Dilator adalah alat berbentuk stik dengan berbagai ukuran. Setelah dijalani selama dua minggu, dr. Yeni menjelaskan, pasien dilatasi akan dievaluasi ulang.
Kekakuan otot itu sendiri dapat ditangani dengan injeksi botulinum toxin atau lebih dikenal dengan istilah suntik Botox.
Umumnya, penderita yang sudah sembuh tidak akan berulang.
"Kecuali yang melahirkan normal dan ada jahitan mungkin akan kesulitan, ini vaginismus sekunder karena trauma jalan lahir. Terapinya berbeda lagi."
Pada pengalaman Alvina, kondisinya ditangani oleh dokter di Bandung yang memiliki kekhususan di kasus-kasus vaginismus.
Saat berobat ke sana, dokter menyarankan Alvina agar melakukan injeksi Botox untuk melemaskan otot-otot vagina. Meskipun suami Alvina sempat menyarankan supaya tidak terburu-buru menjalani prosedur tersebut, Alvina teguh untuk segera menyembuhkan kondisinya.
Sebelum melakukan injeksi, Alvina wajib melakukan cek darah dan EKG, sekaligus tes PCR untuk mendeteksi Covid-19 karena kala itu masih pandemi.
Prosedur diawali dengan pembiusan. Alvina tidak merasa kesakitan selama proses injeksi maupun setelah pengaruh obat biusnya hilang.
"Dua malam di rumah sakit. Setelah prosedur selesai, hari berikutnya diajarkan terapi menggunakan dilator,” jelas Alvina, "Awalnya aneh. Namun lama-kelamaan akhirnya bisa juga.”
Dokternya menyarankan untuk terapi dilatasi mandiri di rumah selama tiga bulan. Dalam kurun waktu tersebut, Alvina dan suaminya tidak diperbolehkan berhubungan seks.
Terapi dilatasi ini Alvina tekuni setiap hari, pagi dan malam.
Sementara itu, Ulil mengetahui tentang terapi dilatasi dari komunitas Vaginismus Squad.
Dari situlah, Ulil memutuskan untuk membeli dilator dan mencobanya sendiri. Namun ia gagal.
"Saya mengirim pesan ke founder komunitas dan beliau memberi saran untuk konsultasi ke dokter di Surabaya karena ada member yang berhasil setelah periksa ke dokter tersebut."
Ulil langsung diantar suaminya ke Surabaya untuk periksa.
Di sana, dokter memberitahu Ulil tentang anatomi vagina dan melakukan pengecekan.
“Setelah dicek, semua normal. Dokternya mengatakan, ini harus berhasil, sudah jauh-jauh dan sudah nikah lagi kasihan kalau nggak berhasil," jelas Ulil, menirukan dokternya.
Selama seminggu, setiap hari, Ulil berlatih dengan alat dilator.
Ulil sempat mengalami kesulitan saat mencoba terapi dilatasi dengan dilator ukuran tiga. Setelah berkonsultasi lagi ke dokter, ia berhasil melanjutkan terapi dilatasi mandiri dan kondisinya berhasil diatasi setelah satu-dua bulan.
Ulil tak menampik dirinya pernah menyesali membuang-buang waktu di pernikahan pertamanya yang gagal, "Karena tidak tahu vaginismus dan mantan suami tidak mendukung saya."
Dalam perjuangannya, penyintas vaginismus mengakui pentingnya bergabung ke dalam komunitas. Melalui komunitaslah, mereka saling mendukung dan memupuk kepercayaan diri untuk memperjuangkan kesembuhan.
Bagi Felia, yang juga bergabung di komunitas Vaginismus Squad seperti Ulil, berbagai pengalaman dan informasi baru dari para anggota lainnya sangat bermanfaat.
"Saya tahu dilator dari sini, coba beli dilator, mengikuti tekniknya, jujur sangat sulit karena takut sakit, gagal. Namun akhirnya saya coba dan berhasil," jelas Felia.
Alvina pun demikian. Bergabung dengan grup Telegram dan komunitas Pejuang Vaginismus sangat membantu usahanya saat terapi dilatasi mandiri di rumah.
"Informasinya bermanfaat. Untuk teman-teman yang sedang menyembuhkan vaginismus, tetap semangat, kondisi ini bisa sembuh," ujar Alvina.
Selain itu, dukungan suami juga penting untuk menunjang kesembuhan.
"Doa, support, dan peran suami sangat penting untuk menyemangati dan tidak menjadikan vaginismus ini sebagai beban, melainkan membantu agar saya sembuh," kata Felia.
Ingat selalu, jalan terang senantiasa terbuka bagi teman-teman yang tengah berjuang dengan kondisi vaginismus.
Sebagaimana disampaikan oleh dr. Yeni, "Terapi untuk penyembuhan vaginismus sangat mudah dan terjangkau semua kalangan. Meski masing-masing dokter punya cara berbeda dalam penyembuhan, semuanya benar. Dan kondisi satu orang dengan yang lain berbeda maka terapi penyembuhannya akan berbeda pula."
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih