Menuju konten utama

Fenomena Melepas Kondom dan Pentingnya Consent Sex

Kesepakatan dalam berhubungan badan menjadi syarat utama untuk mencapai kenyamanan dan keamanan kedua belah pihak yang terlibat. Belakangan, muncul fenomena stealthing alias tindakan melepas kondom tanpa sepengetahuan partner yang dianggap sebagai suatu penyerangan seksual.

Fenomena Melepas Kondom dan Pentingnya Consent Sex
Ilustrasi laki-laki memegang kondom. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Suatu malam pada akhir pekan, seorang gadis, panggil saja Anyelir, berkencan dengan pasangannya. Semuanya berjalan bak jalan-jalan di Jakarta saat musim mudik. Satu film romantis, hidangan makan malam berlatar pemandangan kota, dua jam perbincangan sembari bersisian dengan tangan saling menggenggam yang berakhir pada percumbuan membuat Anyelir berpikir dialah perempuan paling beruntung malam itu. Di matanya, pangeran-pangeran versi Disney pun kalah bersaing dengan pasangannya. Malam itu tidak akan mau dia lupakan. Anyelir pikir, suka citanya paripurna saat itu, dan di pelukan sang Pasangan, dia bisa rebah dengan aman dan nyaman.

Dia pikir.

Waktu bergulir dan percumbuan berlanjut setahap lebih jauh. Mereka bersepakat menghabiskan sisa malam di ranjang berdua. Anyelir meminta sang Pasangan mengenakan pengaman lantaran tidak mau hal-hal tak diharapkan terjadi kepadanya, dan sang Pasangan pun mengiyakan tanpa keberatan barang secuil pun. Menit demi menit berikutnya kian membuat Anyelir merasa malam itu adalah malam terbaiknya bersama sang Pasangan, sampai di pengujung bercinta, dia merasakan ada sesuatu yang tak semestinya terjadi. Sang Pasangan tanpa sepengetahuannya melepaskan pengaman tepat sebelum laki-laki itu mencapai klimaks dan berikutnya, Anyelir tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya. Seolah tidak ada yang salah, sang Pasangan masih memperlakukannya begitu manis, sementara Anyelir bergumul dengan rasa sesal dan kesal, berjejal dengan gumpalan rasa sayang dan pasrah di dadanya karena yang melakukan hal di luar kesepakatan di awal adalah pasangannya sendiri.

Kisah ini hanyalah ilustrasi dari fenomena anyar dalam hubungan seksual: stealthing. Mudahnya, stealthing dipahami sebagai tindakan melepaskan alat kontrasepsi oleh laki-laki secara diam-diam tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak. Bukan satu dua kali saja hal ini terjadi. Situs News.com bahkan menyebut fenomena stealthing sebagai tren baru yang sangat mungkin mengundang risiko bagi perempuan.

Penularan penyakit seksual atau kehamilan menjadi konsekuensi yang membayangi perempuan saat stealthing ini terjadi. Sebuah studi yang dipublikasikan di Columbia Journal of Gender and Law juga menganggapnya sebagai sesuatu yang mencederai martabat dan otonomi seseorang.

Tindakan stealthing ini rupanya bukan hal yang dilakukan sejumlah orang yang bersifat sporadis. Temuan studi itu juga menunjukkan "kengerian" lain dari fenomena ini berupa komunitas online khusus laki-laki yang mendorong anggotanya untuk mempraktikkan stealthing.

“Pihak yang mempromosikan stealthing di forum internet tersebut menyediakan saran-saran berserta deskripsi eksplisit tentang bagaimana mengelabui pasangan dan melepaskan kondom di tengah hubungan seks,” demikian dinyatakan dalam studi tersebut.

Dalam wawancara dengan Huffingtonpost, Alexandra Brodsky yang terlibat dalam studi itu mengungkapkan bahwa stealthing sering kali tidak dianggap sebagai kekerasan berbasis gender. Padahal dari kacamatanya, hal ini berakar pada misogini dan ketiadaan respek terhadap pasangan yang "dikelabui" seseorang. Lebih jauh lagi, stealthing bisa dianggap sebagai bentuk perkosaan karena terjadi tanpa kesepakatan atau consent satu pihak.

Stealthing bisa terjadi dalam berbagai konteks, baik antarpihak yang tidak memiliki komitmen maupun pasangan yang berpacaran atau sudah menikah sekalipun. Seperti diwartakan Men's Health, sebagian laki-laki menganggap berhubungan seks tanpa kondom lebih nikmat dan intim. Sensasi sentuhan kulit dengan kulitlah yang tidak bisa didapatkan saat berhubungan dengan pengaman. Alasan kenikmatan seksual ini sering kali mengesampingkan pemikiran tentang risiko fisik yang bisa ditimbulkan akibat ketiadaan kondom dalam berhubungan seks serta tak jarang melupakan faktor kesepakatan yang begitu krusial melandasi aktivitas seksual dua pihak.

Consent sebagai Keutamaan dalam Hubungan Seks

Membahas aktivitas seksual, syarat pertama yang mesti dipenuhi dalam relasi yang sehat adalah adanya consent. Hal ini dipahami sebagai persetujuan orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas seksual tersebut tanpa adanya paksaan sama sekali. Persetujuan ini tentu saja tidak bisa diasumsikan, tetapi harus jelas dinyatakan melalui kata-kata dan tindakan yang tidak ambigu menurut definisi dari Sexual Assault Prevention and Awareness Center University of Michigan. Tidak peduli telah berapa lama atau sejauh apa seseorang berelasi dengan orang lain, consent tetap menjadi hal pertama dan utama yang harus diingat sebelum melakukan hubungan seks. Jadi, tak ada lagi anggapan, "Ah, dia ini pasangan saya. Pasti dia mau melakukan apa pun yang saya pilih selama berlandaskan cinta" atau "Dia pernah melakukannya dengan saya, jadi tidak ada masalah bila di tengah jalan, saya melakukan hal sedikit di luar kesepakatan".

Lebih lanjut mengenai consent sex, Legal Service Commission of South Australia merilis Consent Fact Sheet yang di dalamnya dicantumkan bahwa syarat consent sex adalah ketiadaan manipulasi, ancaman dan paksaan untuk berhubungan badan, atau upaya menghilangkan kesadaran satu pihak. Hanya karena seseorang mau diajak bercumbu, bukan merupakan kepastian ia mau melangkah lebih jauh. Atau jika seseorang pernah melakukan hubungan dengan orang lain, belum tentu ia setuju untuk melakukannya kembali. Demikian pula bila seseorang dianggap menggoda secara seksual, bukan berarti dia mudah diajak tidur tanpa tedeng aling-aling, tanpa butuh pertanyaan kesepakatan sebelumnya.

Sehubungan dengan aktivitas seksual yang dilakukan saat seseorang kehilangan kesadaran, muncul perdebatan apakah consent sex dimungkinkan ketika mabuk. Belum lama ini, dilansir BBC, pengadilan di Kanada membuat keputusan kontroversial dengan menyatakan tidak bersalah kepada supir taksi yang memerkosa seorang perempuan mabuk. Hakim Gregory Lenehan menyatakan bahwa hanya karena seseorang mabuk, bukan berarti dia tidak bisa membuat consent. Hal ini kontan mendatangkan reaksi masyarakat dan para pakar lantaran hukum di Kanada mengatakan individu tidak bisa bersepakat dalam hubungan seks saat tidak sadar. Walau demikian, tidak ada patokan seberapa mabuk seseorang dikatakan "terlalu mabuk" sehingga tidak bisa melakukan consent sex.

Sementara di belahan bumi lain seperti Irlandia, isu consent sex begitu diperhatikan sehingga pada Januari silam, sebagaimana dikutip dari Independent definisi kesepakatan seksual diperbarui dan berupaya melindungi orang-orang tak sadar atau mabuk dari risiko hubungan seks di luar consent. Frances Fitzgerald, wakil perdana menteri Irlandia, menyatakan perubahan definisi kesepakatan seksual meliputi penggolongan orang yang tertidur atau tidak sadarkan diri karena intoksikasi ke dalam pihak-pihak yang tidak mampu memberikan consent sehingga hubungan seks yang dilakukan dengan orang tersebut dikatakan sebagai perkosaan.

Consent sex tidak hanya penuh perdebatan untuk konteks individu yang mabuk. Berbagai konteks lain seperti aktivitas seks yang dilakukan pedofilia dengan anak-anak atau seseorang dengan orang disabel juga mempermasalahkan kemampuan pihak-pihak yang terlibat untuk dapat membuat kesepakatan.

INFOGRAFIK HUBUNGAN SEKS KONSENSUAL

Korban Memilih Diam dan Berisiko Alami Gangguan Psikologis

Dari penelitian Brodsky, acap kali korban-korban stealthing atau hubungan seks tanpa kesepakatan—yang bisa dikategorikan perkosaan—memilih tak mengadukan pengalaman tidak diharapkannya tersebut ke jalur hukum. Keengganan melaporkan kasus kekerasan seksual semacam ini juga dikarenakan sulitnya penegak hukum untuk memandang serius masalah stealthing, terlebih bila korbannya memiliki relasi personal dengan pelaku. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus di banyak negara termasuk di Indonesia, di mana korban-korban perkosaan cenderung malu, menganggap wajar, atau enggan mengadukan kejadian pahit yang dialaminya. Terlebih jika hubungan seks tanpa kesepakatan, termasuk stealthing, terjadi di bawah payung pernikahan, korban cenderung tidak ingin menceritakan pengalaman buruknya karena takut terkena penghakiman yang justru membuatnya kian terpuruk semacam, "Kalian kan sudah menikah. Apa salahnya kalau suami kamu diam-diam melepas kondom?". Hanya karena terikat status legal, bukan berarti consent sex atau mengomunikasikan hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam berhubungan badan patut dilupakan oleh pasangan.

Di Indonesia, isu consent sex di ranah pernikahan sayangnya tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Undang-undang yang mengatur tentang perkosaan hanya menjerat laki-laki yang memaksakan hubungan seks dengan perempuan di luar pernikahan. Apa kabar dengan istri-istri yang diancam atau dipaksa untuk berhubungan badan dengan suaminya ketika sedang tidak bergairah? Bagaimana nasib istri-istri yang tidak senang dengan preferensi seks suaminya tetapi tetap diharuskan melakukan pemenuhan kebutuhan biologis tersebut? Tampaknya masih panjang perjalanan untuk memprioritaskan consent sex di ranah pernikahan di negeri ini lantaran banyaknya stigmatisasi peran istri yang submisif secara seksual dan pelumrahan ejakulasi di dalam kelamin perempuan meski tanpa kemauan sang istri.

Masih dipandang sebelah matanya consent sex ini berpotensi membawa dampak signifikan bagi seseorang menurut Brian Pinero, wakil presiden divisi pelayanan korban dari Rape, Abuse, and Incest National Network. Para korban dapat mengalami gangguan psikologis dan fisik setelah hal seperti stealthing terjadi, demikian dinyatakan Pinero kepada CNN. Ia juga mengimbuhkan bahwa gangguan psikologis akan semakin parah bagi seseorang yang sebelumnya pernah mengalami penyerangan atau kekerasan seksual.

Fenomena stealthing dan sejumlah catatan tentang aktivitas seksual yang menimbulkan konsekuensi fisik dan psikologis bagi salah satu pihak mengingatkan betapa pentingnya consent dalam berhubungan badan atau bahkan melakukan kontak fisik sekali pun. Mengira-ngira seseorang akan mau melakukan tindakan sebagaimana dipikirkan orang lain tidak pernah cukup menjadi justifikasi dalam hubungan seks. Pernyataan jelas dan kesadaran penuh adalah keharusan ketika dua pihak hendak melakukan aktivitas seksual karena consent dalam seks tidak pernah merupakan hal yang remeh.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti