tirto.id - Pandemi panjang telah banyak mengubah cara berperilaku manusia. Kita tak lagi bebas bertatap muka dan mengobrol tanpa jarak dan masker. Kita juga tak bisa seenaknya bepergian tanpa menerapkan protokol kesehatan. Bahkan untuk urusan seks, masturbasi jadi pilihan paling rasional.
“Anda adalah pasangan seks teraman bagi diri sendiri.”
Begitu kira-kira pengandaiannya. Virus penyebab COVID-19 memang tidak menular melalui cairan sperma maupun vagina, tapi droplet. Hubungan seksual membuat risiko terkena droplet meningkat karena tentu mustahil bukan Anda berjarak 2 meter dari pasangan.
Sudah banyak contoh penyebaran virus yang berkutat pada suami-istri atau pasangan terdekat. Tak ada yang bisa menjamin pasangan kita terbebas dari virus. Kondisi ini disadari oleh otoritas kesehatan di beberapa negara sehingga mereka menyarankan pembatasan aktivitas seksual.
Kontak seksual dari lingkaran berbeda sudah dilarang di New York, Los Angeles, dan kota-kota di Amerika lain. Di Inggris, pasangan yang tinggal terpisah diharuskan memilih untuk tetap terpisah dalam jangka waktu yang lama, atau segera pindah permanen.
Setali tiga uang, otoritas kesehatan di Oregon, Amerika Serikat, membuat sebuah poster yang berisi larangan berciuman sembarang. Mereka justru menyarankan warganya untuk berkirim pesan bernada seksual (sexting) untuk memaksimalkan seks jarak jauh.
“Hindari mencium siapa pun yang bukan bagian dari lingkaran kecil Anda,” begitu kalimat yang tercantum dalam poster.
Berbeda dengan Belanda. Negara ini mempersilakan warganya memiliki partner seks di luar lingkaran dekat. Namun Dutch National Institute for Public Health and the Environment (RIVM) memberi dua syarat: harus terbebas virus dan membuat pembatasan kontak dengan orang lain guna meminimalisir risiko penularan.
Tapi entah dari lingkaran kecil atau besar, tak ada yang bisa menjamin pasangan kita benar-benar sehat. Soal ini para peneliti dan pejabat sepakat, masturbasi dianggap sebagai pilihan paling aman untuk memenuhi kebutuhan biologis sekarang.
Anjuran pembatasan partner seks dari berbagai negara ini kemudian berdampak pada kenaikan permintaan mainan seks (sex toys) selama pandemi--meski sebelumnya bisnis ini memang sudah moncer dan punya pangsa pasar sendiri.
Kecenderungan pasar mainan seks selama pandemi tercermin dalam survei anonim produsen mainan seks, Tracy's Dog. Ada sebanyak 877 orang berpartisipasi dalam survei ini, 47 persen berasal dari Amerika, 32 persen Eropa, 13 persen Asia, dan 8 persen Australia.
“Sebanyak 62 persen responden sudah punya mainan seks dan akan lebih sering memakainya. Mereka yang belum punya, 57 persen berencana membeli selama masa karantina,” demikian ringkasan hasil survei seperti dilansir dari Forbes.
Naik Drastis
Sudah sejak lama geliat bisnis mainan seks terlihat menggairahkan. Tirto pernah menulis laporannya beberapa waktu lampau. Penjualan mereka jaya lewat gerilya platform jual-beli daring--salah satu alasannya karena identitas konsumen terjamin.
Pasar bisnis mainan seks diperkirakan mencapai 23 persen dari total orang dewasa di dunia. Belakangan, ketika seks mandiri dianggap paling aman di tengah pandemi, kepopuleran mainan seks kian melejit. New YorkTimes melaporkan penjualan online Adam and Eve, produsen mainan seks di Amerika Utara, naik 30 persen di bulan Maret dan April 2020, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Perusahaan besar lain, Wow Tech Group, mencatat penjualan kedua jenama andalan mereka: We-Vibe and Womanizer naik 200 persen di bulan April 2020 dibanding tahun sebelumnya. Produk-produk mainan seks dari Cotr Inc juga meningkat tiga kali lipat pada Maret 2020 dibanding periode sebelumnya.
“Kenaikan penjualan di Bulan April 2020 dibanding Maret 2020 mencapai 80 persen, dan angkanya terus meningkat,” ungkap Alicia Sinclair, direktur eksekutif perusahaan tersebut, seperti dikutip Vice.
Cerita serupa terjadi di Selandia Baru. Saat awal pandemi (April 2020) dan kuncitara diumumkan, permintaan mainan seks Adult Toy Megastore naik tiga kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Fakta tersebut dilaporkan jurnalis Charlotte Graham-McLay untuk The Guardian.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Ida Swasti, 26 tahun, pemilik Gthingsst, distributor ragam “instrumen cinta” di Indonesia mengungkap penjualan selama pandemi berada di grafik stabil, bahkan cenderung naik. Mayoritas konsumennya memang pasangan dalam hubungan jarak jauh yang memanfaatkan “love instrument” sebagai media dalam beraktivitas seksual.
“Naik sekitar 50 persen,” kata Ida pada 8 Januari lalu ketika dihubungi Tirto. Ia lebih nyaman menyebut produknya “love instrument” alih-alih mainan seks.
Gthingsst sudah berdiri sejak tahun 2019. Hingga kini mereka memilih promosi lewat media sosial seperti Instagram dan Tokopedia sebagai media transaksi. Namun akses kedua platform tersebut sengaja dibatasi hanya untuk usia di atas 21 tahun.
Kebanyakan produk Gthingsst ditawarkan untuk perempuan ketimbang laki-laki. Sebabnya menurut Ida, area eksplorasi seksual lebih banyak berada pada perempuan. Namun jika melihat demonstrasi produk yang ada pada akun mereka, kebanyakan produk bisa dipakai secara berpasangan, tergantung eksplorasi pemakai.
“Kisaran harganya mulai dari Rp250 ribu hingga Rp3 juta. Kita nggak buat sendiri, tapi ambil dari merek ternama di luar,” kata Ida. Harga tersebut sebanding dengan jaminan mutu produk GThingsst yang terlisensi badan pengawas kesehatan seperti Food and Drug Administration (FDA), misalnya.
Tabu Mainan Seks
Di Indonesia ada banyak orang pantang secara terbuka membicarakan seksualitas atau aktivitas yang berkaitan, pun soal mainan seks. Meski jika dilihat dari data-data di atas, kenyataannya justru kontradiktif.
Padahal wajar saja menggunakan “love instrument” dalam aktivitas seksual. Ibarat sambal dalam santapan, bukan komposisi pokok tapi menambah selera makan. Selain untuk rekreasi, alat ini juga berfungsi membantu aktivitas seksual bagi kelompok difabel, dan menjadi terapi dalam kondisi medis tertentu.
“Itulah kenapa masyarakat kita belum dewasa dan masih setengah-setengah memahami seksualitas. Love instrument itu bukan hal negatif, ada banyak manfaatnya,” ungkap seksolog kenamaan, Haekal Anshari kepada Tirto,Selasa (8/12/2020).
“Instrumen cinta” membantu terapi pada gejala disfungsi ereksi, gangguan gairah, gangguan seksual hipoaktif, dan gangguan orgasme. Pada beberapa orang, mainan seks juga mengatasi efek samping seksual dari obat-obatan tertentu atau kondisi biologis seperti menopause.
Apalagi, lanjut Haekal, sebagian perempuan sulit mencapai orgasme, sehingga butuh rangsangan lebih saat berhubungan seksual. "Love instrument" dapat digunakan pada kondisi ini, baru dilanjutkan dengan penetrasi penis.
“Terlebih di saat pandemi seperti sekarang, (mainan seks) membantu masturbasi sebagai perilaku seks teraman. Jadi alternatif,” ungkapnya.
Sadar atas persepsi tabu-tak tabu bisnis mainan seks, Ida sebagai penggagas GThingsst memilih melakukan promosi berbeda terhadap produknya. Ia selalu menyelipkan konten-konten edukasi seksual di setiap akun media sosial GThingsst.
Bahkan Ida tak segan menggandeng pakar seperti Zoya Amirin untuk membahas ragam masalah seksualitas, sekaligus mengikis ketabuan masyarakat terhadap “Love Instrument”. Pendekatan bisnis Ida juga berfokus pada penggunaan produk oleh pasangan. Tak heran, 60 persen konsumennya sudah memiliki pasangan.
“Explore and accept our body. Itu ide yang mau kusebarkan ke orang-orang. Tak perlu merasa tabu membicarakan hal semacam ini ke orang lain,” kata Ida.
Editor: Windu Jusuf