Menuju konten utama

Menyoal Glorifikasi Ritme Pagi Hari yang Katanya Lebih Baik

Gagasan mengenai bangun lebih pagi sudah ada sejak Aristoteles menuliskan Oeconomica atau Economics.

Menyoal Glorifikasi Ritme Pagi Hari yang Katanya Lebih Baik
Ilustrasi tidur. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Selama ini masyarakat kita setuju bahwa bangun pagi identik dengan hal-hal yang baik bagi kehidupan. Hal ini juga didukung oleh standar kegiatan sehari-hari yang mayoritas dimulai sejak pagi hari, mulai dari berangkat sekolah, pertemuan di rapat kantor, aktivitas jual beli di pasar. Di Indonesia, bahkan ada ungkapan populer, “Jangan bangun kesiangan, agar rejeki tidak dipatok ayam.”

Gagasan mengenai bangun lebih pagi sudah ada sejak zaman dahulu, saat Aristoteles menyebutnya dalam Oeconomica atau Economics, ”Bangun sebelum siang hari adalah hal yang bagus, sebuah kebiasaan yang sehat.”

Begitu juga Benjamin Franklin, yang mengatakan pendapat serupa, “Tidur lebih awal, bangun lebih pagi, membuat seseorang lebih sehat, makmur, dan bijaksana.”

Sunita Sah, seorang ilmuwan perilaku di Georgetown University, yang seorang night person, penasaran dengan glorifikasi ritme pagi hari yang selama ini diamini masyarakat ini.

Ia terutama ingin menelusuri penelitian Maryam Kouchaki dan Isaac Smith, yang lebih mengagetkan lagi mengatakan bahwa orang dengan kebiasaan pagi hari dikatakan lebih bermoral.

Hasilnya? Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan Sah dalam mengukur moralitas ini menunjukkan bahwa, orang yang memulai kegiatan di pagi hari memang cenderung tidak berbuat curang. Namun, ia juga menemukan bahwa orang yang berkegiatan di malam hari, juga tidak berbuat curang.

Artinya, antara morning person dan night person, keduanya sama-sama memiliki standar moral yang sama. Dan tipe seseorang tidak menentukan apakah ia lebih baik dari yang lain.

Stigma sebagai manusia malam layaknya warna hitam yang identik dengan hal buruk, dan warna putih dengan kesucian. Atau orang jahat bersuara keras, orang baik berperilaku halus.

Seperti stereotip di atas, stigma negatif juga banyak melekat pada manusia malam. Manusia malam misalnya, identik dengan orang yang malas. Padahal, ia sebenarnya hanya memiliki jadwal tidur yang berbeda dengan manusia pagi. Sehingga waktu ia beraktivitas di malam hari, cenderung tidak terlihat oleh manusia pagi.

Manusia malam juga identik dengan kesehatan yang buruk. Padahal, ia memiliki kesehatan yang buruk, bisa saja karena ia terpaksa harus bekerja (dengan jadwal manusia pagi) di waktu biologis yang sebenarnya ia harus tidur.

Tidak Ada yang Lebih Ideal

Pola tidur diatur oleh ritme sirkadian, yakni respons tubuh kita terhadap perubahan terang dan gelap pada hari-hari biasa. Ritmenya sedikit berbeda untuk setiap orang, itulah sebabnya tingkat energi kita naik turun dengan cara yang unik. Jam internal ini menentukan apa yang disebut kronotipe kita, yang menentukan apakah kita orang pagi, orang malam, atau di antara keduanya.

Kronotipe relatif stabil, meskipun telah diketahui bergeser seiring bertambahnya usia. Pada usia anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua umumnya lebih menyukai pagi hari. Sementara remaja dan dewasa muda lebih suka malam hari. Sebagian orang yang lebih produktif bekerja di malam hari.

Yohana F. Anisa salah satunya, “Saya biasa bekerja pada malam hari. Apa yang tidak bisa saya lakukan di kantor saat siang hari, misalnya membuat program, laporan atau presentasi sangat mudah saya lakukan ketika malam hari di rumah, saat semua orang sudah tidur.”

“Saya merasa ide-ide keluar saat malam hari. Memang jam biologis jadi kacau dan selalu mengantuk ketika harus bangun pagi karena tidur kurang dari 6 jam sehari,” tambahnya.

Jika ia bekerja sampai tengah malam, pagi harinya, Anisa seringkali merasa mengantuk. Namun ia sudah bisa menangani hal ini. Salah satunya, dengan naik transportasi umum saat berangkat kerja. “Karena di bus bisa tidur sebentar, dan sampai kantor badan lebih segar.” ujarnya.

Berbeda dengan Anisa, Vita Simangunsong justru setiap hari selalu bangun pukul 4.30 bahkan saat akhir pekan dan hari libur. “Pengen mencoba bangun lebih siang tapi tetap nggak bisa, seperti ada alarm yang otomatis membangunkan saya,” ungkap Vita.

Vita merasa tak pernah kesulitan mengatur jam kerjanya. Sebagai morning person dan ibu rumah tangga, ia merasa lebih berenergi dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumah di pagi hari.

“Beres-beres, memasak dan lain-lain saya usahakan semua selesai di pagi hari supaya nggak ketumpuk di siang hari,” ungkapnya.

Ia juga memilih berolahraga di pagi hari saat anak-anak sudah berangkat sekolah karena lebih fokus. Di malam hari, ia terbiasa tidur pukul 9 malam dan tidak kesulitan tidur karena ia merasa lelah seharian beraktivitas.

Vishal Dasani, Sleep Educator dan Penulis buku Sleep Healing mengatakan, “Dalam dunia pekerjaan, morning person lebih diuntungkan karena porsi pekerjaan dari pagi hingga siang bahkan sore, lebih banyak daripada lapangan pekerjaan yang 24 jam atau untuk mereka yang night person.” Stigma di masyarakat pun mereka yang bangun pagi dianggap lebih ideal.

Padahal, keduanya baik night person maupun morning person sama-sama normal dan tidak ada yang lebih ideal.

Alasannya, karena setiap orang memiliki jadwal tidur yang berbeda-beda. Penyebabnya ada beberapa faktor, yakni profil genetik, jenis kelamin, usia, gaya hidup dan lingkungan. Faktor-faktor inilah yang membuat orang ada yang memilih tidurnya lebih awal atau lebih terlambat.

Dari sisi psikologis, asalkan tidur mereka cukup, maka dari segi fisik, psikologis, dan juga emosional akan sangat baik. Karena tidur fungsinya holistik.

“Selama seseorang mempunyai jadwal bangun dan tidur yang konsisten, mendapat durasi tidur yang cukup, saat bangun dia merasa fresh, mood-nya baik, night person pun, tidak akan jadi masalah.”

Secara teori, seiring bertambah usia, seorang remaja cenderung menjadi night person dan kemudian saat dewasa kembali menjadi morning person. Namun pada kenyataannya, ada orang yang night person dan tetap menjadi manusia malam.

Hal ini karena ada faktor lain yang memengaruhi seseorang untuk tidur. Beberapa faktor tersebut adalah kondisi biologis. Jadwal bangun dan tidur tiap orang dipengaruhi ritme sirkadian, yang memberitahu tubuh kapan istirahat dan aktivitas. Lalu ada juga rasa lelah yang diproduksi tubuh itu sendiri.

Faktor lainnya adalah lingkungan. Bisa dari kamar tidur bisa berupa sirkulasi udara, bantal, suasana rumah, keamanan lingkungan sekitar.

Faktor psikologis menjadi faktor lainnya. Saat akan tidur, kerja pikir seseorang akan melambat, atau bahkan tidak fokus. Walau manusia dikarunia kecerdasan, namun berpikir di malam hari kadang membuat sulit untuk rileks. Sedangkan tidur memerlukan suasana rileks untuk mendapat manfaat maksimal dari proses tidur itu sendiri.

Infografik Morning and night Person

Infografik Morning and night Person. tirto.id/Ecun

Kebiasaan Dapat Berubah, Asal...

Anisa mengaku kebiasaan tidur larut sudah lama ia lakukan dan ia merasa baik-baik saja. Namun, belakangan ia merasa terganggu karena setelah punya anak, ia mau tidak mau harus bangun pagi untuk menyiapkan makanan untuk anaknya dan pekerjaan rumah lainnya.

“Paling terlihat jika tidur kurang akan mengganggu aktivitas olahraga saya. Latihan jadi tidak maksimal, ” ungkap wanita yang berprofesi sebagai personal trainer ini.

Anisa mengaku, meski ia seorang night person, tapi ia sangat ingin menjadi morning person agar jam biologisnya tidak mengganggu pekerjaannya sehari-hari.

Menurut Vishal, mengubah jam tidur seseorang itu bisa saja dilakukan, namun perlu waktu dan teknik sesuai. Seseorang bisa menggunakan terapi bright light, yakni diberi paparan cahaya terang di pagi hari, sehingga tubuh mempercepat proses tidur secara natural di malam hari. Namun, terapi ini tidak bisa langsung mengubah dalam sehari.

“Jika ingin mengubah jam tidur, paling tidak butuh 1 mingguan dan perlu dilakukan pelan-pelan secara progresif, tidak drastis, karena badan juga perlu adaptasi,” ungkap Vishal.

Ia mencontohkan, jika seseorang terbiasa tidur jam 1 pagi maka hari pertama ia majukan jam tidurnya setengah jam, seterusnya setiap hari maju setengah jam, sampai mencapai jam tidur yang cukup, agar saat bangun badan berenergi.

Salah satu fungsi ritme sirkadian adalah mengatur jadwal tidur.

“Kapan seseorang harus tidur dan bangun. Ini juga mengatur hormon dan suhu tubuh seseorang. Pada saat kita siap-siap mau tidur, suhu tubuh pelan diturunkan, melatonin dinaikkan, supaya kita ngantuk, hormon kortisol diturunkan. Sebaliknya, saat pagi hari, suhu tubuh naik karena mempersiapkan kita untuk aktivitas, hormon kortisol untuk memberi kita energi beraktivitas, melatonin diturunkan agar tidak mengantuk,” jelas Vishal.

“Sebenarnya, tubuh manusia bekerja dengan cara menakjubkan karena semua semua sudah ada yang mengatur. Hanya saja, seringkali kita tidak mau mendengarkan tubuh kita,” tambahnya.

Namun, kembali lagi akan glorifikasi di awal. Manusia malam sebenarnya tidak perlu bersusah payah mengubah ritme hanya karena norma masyarakat yang ada. Karena pada kenyataannya, menjadi manusia malam tidak lebih buruk dari manusia pagi.

Hanya saja, bila telah menyangkut tuntutan tanggung jawab, mau tidak mau seseorang harus mau beradaptasi. Dan perubahan tersebut, dapat terjadi baik dari night person menjadi morning person, atau malah sebaliknya. Seperti saat seorang manusia malam harus bekerja di pagi hari, atau saat manusia pagi ternyata harus bekerja di giliran malam hari.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi