tirto.id - Belakangan peristiwa mahasiswa bunuh diri terjadi di sejumlah kampus. Mulai dari mahasiswa Petra Surabaya, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), hingga mahasiswa Univeritas Tarumanegara, Jakarta Barat. Mereka melakukan aksi bunuh diri dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Polisi mengungkap, mahasiswa Petra Surabaya berinisial RD bunuh diri di area kampus karena depresi ditinggal kakeknya. Sementara mahasiswa Unnes berinisial VIS bunuh diri di kamar kos karena terjerat pinjaman online (pinjol).
Terakhir, mahasiswi Universitas Tarumanegara berinisial E melompat dari lantai 6 kampus pada Jumat (4/10/2024) malam. Kapolsek Grogol Petamburan, Kompol Reza Hafizh Gumilang, menyebut penyidik belum menemukan motif yang mendorong korban melakukan aksi bunuh diri.
"Belum ditemukan adanya indikasi bully dalam kejadian ini," kata Reza saat dikonfirmasi wartawan, Senin (7/10/2024).
Reza mengatakan, pemeriksaan saksi dan CCTV menunjukkan bahwa E di hari itu beraktivitas seperti biasanya. Penyidik dan pihak keluarga juga memeriksa ponsel serta buku catatan E, di mana terdapat sajak dalam bahasa Mandarin, namun belum juga mengarah pada penyebab bunuh diri.
Di sisi lain, pihak Universita Tarumanegara melakukan investigasi internal dan terus berkoordinasi dengan penyidik untuk membuat terang peristiwa ini. Humas Universitas Tarumanegara, Paula T Anggraini, memastikan bahwa perundungan tidak pernah terjadi kepada korban.
"Sejauh ini dari penyelidikan yang dilakukan di internal bahwa informasi terkait bullying itu tidak benar. Almarhum adalah mahasiswa baru atau baru semester 1," tutur Paula.
Saat prosesi orientasi, kata Paula, hanya dilakukan dengan seminar mengenai bela negara, MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), dan pengenalan organisasi kemahasiswaan. Dari kegiatan-kegiatan itu, materinya jauh dari tindakan perundungan.
Menyoal Bunuh Diri di Usia Mahasiswa
Ketua Dewan Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia), Reni Kusworodhani, mengatakan bahwa mahasiswa memang mengalami era perubahan kemandirian hidup setelah menempuh pendidikan di jenjang sekolah. Tak dipungkiri, usia 18-24 memang rentan mengalami persoalan mental.
"Pergaulan di usia mahasiswa juga sangat krusial. Jadi lingkungan sosial itu berperan penting dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa. Jadi ada penelitian story, dari hasil research itu, dukungan keluarga dan lingkungan pendidikan bisa mengurangi rasa isolasi," ucap Reni saat dihubungi Tirto, Senin (7/10/2024).
Tak jauh berbeda dengan pandangan itu, Psikolog Klinis, Ekka Nurcahyaningrum, menyebut di jenjang perkuliahan, mahasiswa sudah pasti mendapatkan tekanan dari materi perkuliahan. Kemudian, tekanan dari faktor-faktor lain semakin mendorong kenekatan bunuh diri.
"Banyak banget faktor pemicunya, tekanan dalam akademis, tekanan dalam faktor keluarga, terus kemudian ada juga mungkin gangguan kepribadian, ada lagi faktor budaya. Stigma di masyarakat ini kerap memberikan batasan kepada mereka agar tidak mencari pertolongan," ungkap Ningrum kepada Tirto, Senin (7/10/2024).
Ditambahkan Psikolog Kassandra Putranto, cara jitu untuk memberikan perlindungan fisik dan mental agar kejadian bunuh diri tidak terulang adalah dengan melakukan deteksi dini pada anak dan remaja di sekeliling kita. Bila perlu, melakukan psychological check up secara berkala sepanjang kehidupan.
Kassandra tak memungkiri, banyak faktor yang memengaruhi keraguan mencari bantuan, selain faktor stigma yang masih sangat kuat, ada juga mengenai finansial dan aksesibilitas. Biaya untuk konsultasi, menurut dia, memang tidak murah.
Menurut data LifePal, pada 2023 biaya konsultasi ke psikolog di Jakarta harus mengeluarkan sekitar Rp200 ribu sampai Rp1.1 juta rupiah per jam. Sedangkan untuk menyembuhkan masalah kesehatan mental akan memerlukan beberapa konsultasi, bahkan ditambah biaya obat dan psikiater jika memang memiliki masalah kesehatan mental yang berat.
"Usaha untuk tetap melanjutkan pengobatan harus datang dari diri sendiri, harus ada kesadaran bahwa kita butuh bantuan ahli," ujar Kassandra.
Peran
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kementerian Koordinator bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan menaruh perhatian lebih mengenai isu kesehatan mental. Bahkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dari 2025-2029 isu-isu terkait dengan kesehatan jiwa dan mental mulai diperhatikan di dalam pengukuran indeks pembangunan pemuda.
"Tekanan yang dihadapi para pemuda itu tadi kan semakin tinggi ya dengan persaingan, tidak hanya di kita saja, persaingan global, dan sebagainya tuntutan-tuntutan itu memengaruhi kesehatan jiwa dari anak-anak muda kita," ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti, saat ditemui Tirto dalam acara Deputy Meet The Press Kemenko PMK, di Jakarta, Senin (7/10/2024).
Menurut Woro, berbagai target yag diberikan orang tua kepada anak kerap dianggap sebagai tekanan. Kecemburuan kepada temannya yang tak diberikan target oleh orang tuanya kemudian menjadi beban semakin dalam bagi anak tersebut.
Pemerintah, kata Woro, terus berupaya menyediakan fasilitas konsultasi, seperti melalui UPTD untuk membantu mereka yang memiliki keluhan mental. Selain itu, terus dilakukan koordinasi dengan NGO-NGO mengampanyekan pencegahan bunuh diri dan mengatasi depresi.
Sementara itu, peneliti BRIN, Yurika Fauzia Wardhani, mengungkapkan bahwa sejak 2020 fenomena bunuh diri sudah semakin banyak. Hal itu mengingatkan bahwa kesehatan mental tidak bisa lagi disepelekan.
"Jadi permasalahan yang sangat serius yang tidak bisa dipotong berdasarkan umur. Sudah harus kita siapkan dari masih di dalam kandungan hingga nanti meninggal dunia. Psikis ibu, gizi yang baik, itu kan berpengaruh ke kondisi anak di dalam kandungan," ucapnya.
Yurika tak memungkiri orang tua harus menjadi teman bagi anaknya agar mereka bisa membuka diri. Sebab, pola asuh yang keras dan diterapkan di era orang tua saat itu tak bisa lagi digunakan.
Demi mengatasi kesehatan mental, Yurika meminta agar semua pihak benar-benar memberikan perhatian, termasuk para influencer. Dengan begitu, kampanye menjadi salah satu cara mencegah upaya bunuh diri.
--------
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Ayu Mumpuni & Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi