Menuju konten utama

Menyelami Psikologi Laki-Laki Dewasa si "Anak Mama"

Kasih sayang ibu memang sepanjang masa. Laki-laki yang mencintai ibunya juga sarat dengan pesona. Namun, perlukah pernikahannya kelak sampai dipertaruhkan?

Menyelami Psikologi Laki-Laki Dewasa si
Header diajeng Mama's boy si anak mama. tirto.id/Quita

tirto.id - "Ibu, Nenek, Ae-sun datang untuk tinggal bersamaku, bukan untuk menjadi menantu ibu. Kalian tidak akan pernah melihat Ae-sun lagi, tidak akan kubiarkan dia tinggal di sini."

Itulah kata-kata Gwan-sik saat membela istrinya, Ae-sun, seusai dimarahi habis-habisan oleh sang ibu.

Adegan itu sontak menjadi salah satu momen paling diingat penonton dalam serial drama Korea terbaru Netflix When Life Gives You Tangerines (2025).

Ae-sun dimarahi ibu mertua lantaran menolak anak perempuannya, Geum-Myeong untuk dijadikan sebagai haenyeo—perempuan penyelam tradisional—ketika dewasa nanti sebagaimana leluhur mereka di Pulau Jeju.

Beruntung, Gwan-sik selalu berada di pihak Ae-sun ketika istrinya tersebut berkonflik dengan ibunya.

Sikap Gwan-sik yang menomorsatukan Ae-sun, alih-alih menuruti ibunya, bahkan membuatnya dijuluki suami paling “green flag” oleh warganet.

Sayangnya, tak semua perempuan seberuntung Ae-sun.

Di belahan dunia ini, masih ada perempuan yang memiliki pasangan tipe “anak mama—mama's boy”.

Mengutip Verywell Mind, mama's boy” adalah istilah untuk menyebut seorang laki-laki yang kurang percaya diri sehingga menjadi terlalu bergantung pada ibunya.

Sebermula, istilah ini digunakan sebagai ejekan atau hinaan. Namun kini penggunaannya berubah—merujuk pada laki-laki yang memiliki rasa hormat dan penghargaan, dalam batas yang menyehatkan, terhadap ibu mereka.

Sebenarnya, riset menunjukkan, laki-laki yang menjalin relasi kuat dengan ibunya memang memiliki kondisi mental lebih baik, lebih mampu berempati, dan cenderung dapat membangun hubungan baik dengan perempuan.

Yang jadi masalah adalah ketika kedekatan dan ketergantungan si anak laki-laki terhadap ibunya mencapai ambang batas “tidak sehat”.

Dalam konteks ini, seorang laki-laki tumbuh jadi sosok yang mustahil meneruskan kehidupannya tanpa campur tangan sang ibu, bahkan mungkin kelak jadi bertindak tidak adil terhadap istrinya.

Melansir Neuro Launch, sindrom “anak mama” berkaitan erat dengan masa kecil si anak laki-laki dan teori keterikatan (world of attachment).

Teori yang dipelopori oleh John Bowlby dan Mary Ainsworths ini menyatakan bahwa ikatan yang kita jalin dengan pengasuh utama kita semasa bayi akan membentuk seluruh hubungan-hubungan kita seumur hidup.

Artinya, ikatan yang aman dapat membantu mengarahkan kita pada kemandirian yang sehat.

Di satu sisi, ikatan yang tidak aman dapat menimbulkan kejanggalan atau keanehan dalam relasi-relasi kita pada kemudian hari.

Ikatan tersebut dipupuk sedari kecil.

Bagaimana jika si anak laki-laki dibesarkan oleh ibu yang terlalu protektif dan terus-terusan mencarikan solusi untuk untuk masalahnya?

Apa jadinya apabila si anak kehilangan figur ayah—baik secara fisik maupun emosional—sehingga ibunya harus mengambil peran sebagai kedua orang tua?

Bukan tidak mungkin, pengalaman-pengalaman tersebut menjadi fondasi awal untuk sebuah relasi ketergantungan.

Selain itu, pengalaman masa kecil anak yang terlalu sering dipuji dan dimanja oleh sang ibu juga berpotensi membuatnya tumbuh menjadi orang yang angkuh dan paling benar.

Pada waktu sama, si anak kemungkinan tidak akan mampu menjalani hidupnya dengan tenang sebelum mendapatkan validasi atau persetujuan sang ibu terhadap segala pilihan dan tindakannya.

Maka, ketika si anak laki-laki menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama perempuan pilihannya, bukan tidak mungkin dia kemudian mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan sendiri. Sikap tersebut tentu akan menyusahkan sang istri.

Menurut Rininda Mutia, M.Psi., Psikolog, sebelum menikah, laki-laki perlu memastikan kesiapan untuk mengarungi kehidupan bersama pasangan.

Kesiapan ini, kata co-founder layanan konseling psikologi Amanasa di Setiabudi, Jakarta Selatan tersebut, termasuk menyadari bahwa suami dan istri memiliki nilai-nilai kehidupan yang berbeda-beda bersama keluarga masing-masing terdahulu.

Rininda menuturkan, suami tidak bisa memaksakan istri mengikuti seluruh nilai dan kebiasaan dari keluarga asalnya. Begitu pun sebaliknya. Suami-istri harus menyepakati nilai-nilai yang baik dan cocok untuk diterapkan berdua.

"Jadi, kalian akan membuat suatu nilai yang baru yang mungkin berbeda dari nilai keluarga asal masing-masing," terang Rininda.

Rininda menambahkan, saat suami-istri sudah sepakat soal nilai keluarga yang dijalani dalam rumah tangga, keduanya akan lebih tangguh menghadapi masalah dari luar, termasuk sikap ibu yang terlalu ikut campur.

"Kalau sudah punya nilai dan kesepakatan, maka boundaries (batasan) akan lebih mudah dibangun," tegasnya.

Bagaimana dengan upaya untuk mengurangi potensi terjadinya aksi bullying dan diskriminasi oleh sang ibu terhadap istri?

Terkait ini, Rininda menuturkan bahwa suami harus selalu jadi garda terdepan saat berkomunikasi dengan ibunya.

Ia mencontohkan, saat ada kondisi yang membuat istri tidak nyaman karena perilaku ibunya, maka suamilah yang harus mengomunikasikannya.

"Akan lebih mudah didengar ketika anak ke orang tuanya yang bicara. Jangan sampai istrinya membela diri sendiri tetapi suaminya diam aja. Ini akhirnya bisa menimbulkan perasaan istri, ‘Saya seperti berjuang sendiri, tidak dibela, tidak dianggap, tidak diinginkan,’" kata Rininda.

Selain fenomena “mama's boy” atau “anak mama”, sebagian dari kita mungkin juga cukup sering mendengar tentang “boy's mom—ibu dari anak laki-laki”.

Seorang konten kreator TikTok, Anna Saccone Joly (@annasaccone) adalah salah satu contoh ibu yang terang-terangan mengakui dirinya sebagai “boy’s mom” yang toksik alias beracun.

Ibu empat anak ini mengaku mengistimewakan anak bungsunya yang laki-laki.

"Ketika aku membayangkan pernikahan putriku, aku jadi gembira…Tapi ketika aku memikirkan pernikahan putraku, aku mau menangis," kata Joly dalam videonya tahun 2022 lalu.

Begitu pula saat anak laki-lakinya memukul saudara perempuannya, tidak ada konsekuensi.

Alih-alih membela anak perempuannya yang jadi korban, Joly selalu berdalih bahwa anak laki-lakinya sedang dalam suasana hati buruk.

Rininda mengatakan, bukan masalah jika seorang ibu mencurahkan kasih sayang kepada anak laki-laki mereka.

Namun, ini akan berujung masalah tatkala kedekatan keduanya berlebihan dan tidak sesuai dengan usia anak.

"Seiring berjalannya waktu, ibu perlu sedikit demi sedikit melepaskan dan memercayai anak laki-lakinya bisa ‘berjalan’ sendiri, apalagi ketika sudah masuk kehidupan pernikahan," ujar Rininda.

Menurut dia, ibu sudah mulai harus ‘melepas’ anak sejak usianya remaja. Ibu tidak perlu lagi mengatur anaknya saat beranjak dewasa dan menikah.

Selain itu, kata Rininda, fenomena ini bisa terjadi lantaran ibu sangat mendedikasikan hidupnya untuk anak mereka.

Maka, ketika anaknya menikah dan memulai kehidupan sendiri, ibu mengalami empty nest syndrome.

Pada waktu itulah sang ibu menjadi sedih, kesepian, dan seolah-olah merasa ditinggalkan.

"Dalam rangka mengatasi kekosongannya itu, ibu ingin tetap terlibat di kehidupan anak dengan keluarga barunya," tutur Rininda.

"Akhirnya, ibu mungkin mulai ikut mengatur-atur karena merasa dirinyalah yang sudah membesarkan si anak, sehinga dia yang paling tahu yang terbaik untuk si anak, " imbuhnya.

Agar tidak sampai menyakiti hati menantu perempuannya, Rininda mengatakan, seorang ibu perlu membangun kesadaran bahwa saat anak mereka menikah, maka anak punya kehidupan baru yang berbeda.

Dengan begitu, ibu juga bisa lebih mindful dengan perilakunya.

Ketika ibu memiliki kesadaran soal situasi anak yang telah berbeda saat menikah, kata Rininda, ia tak akan sampai hati mengeluarkan komentar, memberi nasihat tidak diinginkan (unsolicited advice), atau bahkan melakukan tindak-tanduk berlebihan yang bisa merusak dinamika keharmonisan rumah tangga anak dan menantunya.

"Bukan berarti mertua tidak boleh menasihati anak atau menantunya, akan tetapi pastikan untuk melakukannya dengan cara yang baik. Keputusan juga tetap pada anak dan menantunya yang menjalani kehidupan rumah tangganya."

Rininda juga menyarankan ibu untuk mengisi hari-harinya dengan kegiatan positif dan tidak berdiam diri di rumah saja.

"Supaya tidak overthinking, seperti, 'Aduh, anak saya menikah, diurusin nggak ya sama menantu, nanti gimana ya dia di sana,'" jelasnya.

Kasih sayang ibu memang sepanjang masa. Laki-laki yang mencintai ibunya juga sarat dengan pesona. Meski begitu, limpahan kasih sayang ibu tak harus sampai mengganggu keharmonisan rumah tangga si anak, bukan?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih