Menuju konten utama

Mertua Kok Begitu? Di Balik Rumitnya Relasi Mertua dan Menantu

Orang tua yang hubungannya kurang harmonis bisa saja mengandalkan anak untuk dukungan emosional. Masalah biasanya akan muncul saat anaknya sudah menikah.

Mertua Kok Begitu? Di Balik Rumitnya Relasi Mertua dan Menantu
Header Diajeng Emotional Incest. tirto.id/Quita

tirto.id - Sepulang arisan keluarga, Nita (27) kesal sekali.

Semua bermula dari sikap ibu mertua—yang tiba-tiba merajuk pada suami Nita karena ingin dibelikan tas yang sama dengan miliknya. Sebelum kejadian itu, ibu mertua juga pernah meminta kalung seperti punya Nita.

"Ibu mertua selalu cemburu jika saya dibelikan barang oleh suami," aku Nita.

Lain cerita dengan Karin (31) yang merasa ibu mertuanya ingin selalu dilibatkan dalam urusan rumah tangga, "Ikut menentukan dekorasi rumah, pesta ulang tahun anak, dan bahkan rencana liburan harus sesuai keinginannya."

"Ingin rasanya sekali-kali bilang, ‘Mama nggakperlu ikut campur dulu,’ tapi tetap nggak bisa," tambah Karin.

Di balik romantisasinya, pernikahan bukanlah sekadar prosesi untuk mengikat komitmen dengan pasangan tercinta, melainkan juga suatu langkah berani untuk mempersatukan keluarga-keluarga. Orang tua dari suami akan menjadi orang tua kita, begitu pula sebaliknya.

Seiring pasangan menikah menjalani bahtera rumah tangganya, beragam pengalaman unik dengan mertua akan bermunculan, baik yang sifatnya kooperatif atau malah yang berujung pada konflik.

Menurut riset di Amerika Serikat yang terbit di jurnal Evolutionary Psychological Science (2022), baik laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung memiliki lebih banyak konflik dengan ibu mertua dibandingkan dengan ibu kandung. Ibu-ibu juga melaporkan lebih sering berkonflik dengan menantu perempuan daripada anak perempuan kandungnya sendiri.

Sudah banyak ulasan tentang sumber atau alasan konflik hubungan mertua dan menantu. Madeleine A. Fugère Ph.D menulis di Psychology Today, salah satunya bisa jadi berkaitan dengan perbedaan nilai dalam memilih pasangan.

Anak muda cenderung memilih pasangan atas dasar ketertarikan fisik, kecerdasan, atau selera humor. Sementara itu, orang tua biasanya senang memilihkan pasangan untuk anaknya berdasarkan latar belakang keluarga, prospek finansial, atau kesamaan agama dan etnik. Poin-poin inilah yang mungkin dapat menjelaskan kenapa ada mertua yang tidak suka dengan menantunya.

Selain itu, Fugère menuturkan, ada juga orang tua yang menganggap pasangan yang terlalu cantik atau tampan sebagai ancaman bagi anaknya.

Berdasarkan teori evolusi, perempuan yang lebih atraktif dibandingkan pasangan laki-lakinya berpotensi meninggalkan hubungan mereka dan lebih tertarik pada pasangan alternatif. Begitu pula, laki-laki yang terlalu ganteng dikhawatirkan cenderung tidak mau menginvestasikan waktu dan energinya untuk mengurus anak di masa depan.

Kompetisi juga dapat menyebabkan konflik. Ibu mertua merasa bersaing dengan menantu untuk mendapatkan sumber daya, waktu, dan perhatian dari anak laki-laki mereka.

Selain itu, ketegangan dalam hubungan mertua dan menantu juga dapat dipengaruhi oleh ketergantungan emosional yang terlalu kuat antara mertua (orang tua) dengan anaknya sendiri (pasangan si menantu). Istilah ini disebut emotional incest syndrome—sindrom inses emosional.

Meski mengandung istilah inses, sindrom ini tidak melibatkan pelecehan seksual atau yang sifatnya fisik, melainkan merujuk pada relasi keluarga yang tidak sehat.

Inses emosional, sering disebut juga covert incest, merupakan pelecehan emosional yang terjadi ketika orang tua memperlakukan anaknya seperti pasangan romantisnya dan bergantung secara emosional pada mereka.

Dilansir dari Psych Central, kejadian ini biasanya ditemukan pada keluarga yang orang tuanya bercerai atau meninggal, kurang memiliki intimasi, tidak setia, atau terlibat dalam KDRT.

Header Diajeng Emotional Incest

Header Diajeng Emotional Incest. foto/IStockphoto

Novia Dwi Rahmaningsih, M.Psi, Psikolog, co-founder dan psikolog klinis dari Biro Psikologi Kawan Bicara menjelaskan, semakin anak dewasa, seharusnya semakin besar otonomi yang ibu berikan pada anaknya.

"Anak tambah besar seharusnya orang tua makin mengajarkan anak bisa mandiri, juga merelakan anaknya mandiri. Dari remaja, keluar dari keluarga hingga menjadi pribadi yang independen. Ada beberapa kasus, orang tua gagal melepaskan kemandirian anak—yang jadi salah satu faktor emotional incest syndrome," terang Novia.

"Dalam emotional incest, ada kesulitan untuk melepaskan anak, karena kebutuhan emosional orang tua diproyeksikan dan dipenuhi anaknya."

Novia menjelaskan dua faktor yang ada di dalam inses emosional. Pertama, permasalahan relasi suami-istri. Ada kebutuhan emosional pasangan yang tidak dipenuhi. Akibat pasangan yang abai misalnya, orang tua mencari kebutuhan kasih sayang dari anak—tindakan yang kadang tidak disadari oleh si orang tua sendiri.

Kedua, faktor yang disebabkan oleh pengaruh parenting dari orang tua terdahulu yang belum dapat mengajarkan anak untuk mandiri. Kebiasaan yang diterapkan sejak anak kecil membentuk gaya parenting, misalnya anak yang sering dibentak akan mengganggap membentak adalah hal yang biasa. Begitu pula perhatian yang berlebihan. Dampaknya akan terasa ketika anak tumbuh dewasa dan memiliki pasangan.

Orang tua yang melakukan inses emosional biasanya cemburu karena merasa perhatian dan prioritas anaknya diambil alih. Hal ini tidak wajar. Seharusnya orang tua merasa lega karena anaknya sudah dewasa dan memiliki pasangan.

Ilustrasi anak introvert

Ilustrasi anak introvert. FOTO/iStockphoto

Jika kamu atau pasanganmu penasaran apakah kalian mengalami inses emosional, kalian dapat mengetahuinya melalui skala pengukuran yang disebut Childhood Emotional Incest Scale (CEIS).

Pasangan pengganti dan masa kecil yang tidak memuaskan adalah dua faktor yang disorot dalam CEIS. Anak yang mengalami inses emosional biasanya merasa tertekan untuk mengambil peran dari pasangan si orang tua. Akibatnya, si anak mungkin kehilangan momen-momen penting semasa kecil seperti menjalin persahabatan dengan anak-anak seusianya.

Anak yang menjadi korban inses emosional, menurut Healthline, biasanya dapat bertindak lebih dewasa daripada orang tuanya ketika dihadapkan pada masalah. Mereka dapat memberikan saran saat orang tuanya mengalami isu dalam pernikahannya, selalu berusaha mengambil tanggung jawab untuk keharmonisan keluarga, bahkan tak jarang melewatkan kebahagiaan masa kecil bersama teman-teman seusianya.

Nah, bagaimana jika kamu mendapati pasanganmu terjebak dalam inses emosional? Novia menyarankan untuk membicarakan hal ini secara baik-baik.

"Konsekuensinya apa? Misalnya, dari finansial? Atau dari segi yang lain? Perlu sharing pola asuh masa kecil. Jika pasangan tidak juga berubah, perlu konseling ke psikolog—baik sendiri atau couple conseling," jelasnya. Akan tetapi, apabila berkaitan dengan mertua, sebaiknya pasanganlah yang harus membicarakan hal ini dengan ibunya.

Pada akhirnya, sebagai menantu, kita tentu dapat mengusahakan hubungan yang baik dengan mertua. Apabila mertua “dingin” dan suka mengkritik, Dr. Amy E Keller, PsyD, MFT dilansir dari situs Very Well Mind menyarankan, cobalah pahami cara pandangnya.

"Dulu, si ibu mertua mungkin adalah figur perempuan nomor satu dalam kehidupan putranya. Kemudian, kamu sebagai menantu perempuan hadir dan menggantikan posisi tersebut. Tentu, tidak ada orang yang senang ketika dirinya merasa digantikan, dikucilkan, atau ditinggalkan."

Memberikan pujian karena sudah membesarkan anak laki-laki yang hebat, menurut Keller, dapat menjadi salah satu cara kita untuk menunjukkan hormat dan apresiasi kepada ibu mertua.

Apabila terjadi konflik, gunakan gaya komunikasi yang konstruktif sehingga kedua pihak merasa nyaman. Demikian juga ketika kamu merasa kecewa dengan mertua, sebaiknya komunikasikan terlebih dulu dengan pasanganmu.

"Hubungan yang sehat antara mertua dan menantu itu tetap ada komunikasi. Namun, jangan melanggar batasan masing-masing karena anak juga sudah memiliki keluarga," pungkas Novia.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih