tirto.id - Bagi setiap orang tua di penjuru dunia, perjalanan mengasuh anak tentu menjadi pengalaman luar biasa dan transformatif.
Seiring itu, sebagaimana setiap cerita yang memiliki alur, anak-anak akan bertumbuh dan memasuki usia dewasa.
Ketika waktunya tiba, anak-anak akan pergi meninggalkan rumah, baik untuk melanjutkan pendidikan, bekerja, menikah, atau meneruskan petualangan hidup lain.
Saat momen itu terjadi, sejumlah emosi pun akan bergejolak di hati para orang tua. Perasaan itu bisa saja muncul dalam bentuk kebanggaan, kecemasan, atau mungkin kesedihan.
Emosi campur aduk ini baru-baru ini dialami oleh Brooke Shields, model dan aktris kenamaan asal Amerika Serikat.
Beberapa saat lalu di akun media sosialnya, dengan agak emosional, Shields membagikan cerita tentang kedua anak perempuannya, Rowan (21) dan Grier (18), yang sudah sama-sama berkuliah di luar kota dan meninggalkan rumah.
"Setahun yang lalu aku duduk di teras ini setelah Rowan pergi kuliah. Hal yang sama juga kulakukan sekarang saat Grier pergi kuliah," katanya sambil berurai air mata.
"Tidak mudah dan berat bagi ibu-ibu yang menyadari anak-anaknya tidak ada di rumah lagi. Aku resmi jadi seorang empty nester."
Seperti disebut Shields, situasi yang dia dan orang tua lainnya alami di luar sana dikenal dengan istilah empty nest syndrome—sindrom sarang kosong.
Mengutip Cleveland Clinic, empty nest syndrome merupakan jalinan perasaan rumit pada orang tua saat anak-anaknya pindah dari rumah keluarga dan memulai kehidupan dewasa mereka.
“Empty nest syndrome adalah pengalaman yang sangat umum terjadi pada orang tua,” ungkap psikolog Adam Borland, PsyD.
“Sebagian besar identitas seseorang acap kali ditentukan oleh perannya sebagai orang tua. Dan tiba-tiba ada kesadaran bahwa perubahan signifikan akan terjadi, bahwa waktu telah berlalu sangat cepat."
Di fase ini, seorang individu cenderung akan mengalami beragam perasaan, dari takut, sedih, merasa bersalah, kesepian, kosong, tidak berdaya, bahkan sampai keputusasaan.
Meski gejala-gejalanya terlihat sepertinya berkaitan dengan masalah kesehatan mental, menurut Dr. Marjorie Collins, presiden Institute of Clinical Psychologists di Australia, empty nest syndrome bukanlah kondisi klinis dari kesehatan mental.
Kendati sekarang umum ditemui, istilah empty nest syndrome tidak terlalu dikenal setidaknya hingga abad ke-20.
Di masa lalu, hidup bersama atau tinggal dekat dengan extended family atau keluarga luas lebih lazim. Mengutip Healthline, zaman dulu anak-anak dalam keluarga biasanya akan tinggal terus bersama orang tua mereka hingga tutup usia.
Anggota keluarga yang sudah menikah atau masih melajang akan tetap tinggal di rumah keluarga. Di sisi lain, ada pula orang tua yang memilih untuk tinggal bersama anak-anak yang sudah dewasa di rumah multigenerasi.
Namun seiring menyusutnya ukuran keluarga dan berubahnya nilai-nilai budaya, orang tua mulai tinggal sendiri di rumahnya setelah anak-anaknya tumbuh dewasa dan pindah dari rumah induk.
Gagasan empty nest syndrome mulai dipopulerkan oleh penelitian dari tahun 1970-an yang menyatakan bahwa orang tua, sebagian besar adalah ibu-ibu, cenderung terjatuh ke dalam keputusasaan eksistensial begitu mereka tidak lagi memiliki anak untuk dimanja.
Terkait hal itu, Ardi Primasari, M.Psi., Psikolog dari Prima Consultant setuju bahwa perempuan lebih condong mengalami empty nest syndrome dibandingkan laki-laki.
Menurutnya, ini terjadi lantaran perempuan lebih dominan dalam memerankan pengasuhan dibandingkan laki-laki.
"Ibu telah menginvestasikan lebih banyak waktu untuk mengasuh, sehingga umumnya memiliki relasi emosional yang lebih kuat dibanding dengan ayah," terang Ardi.
Menopause, yang dialami ibu-ibu memasuki usia paruh baya, juga disebut sebagai salah satu faktor pemicu empty nest syndrome.
Saat perempuan mengalami menopause, terjadi perubahan hormonal yang sering kali membuat mereka jadi lebih sensitif, mudah tersinggung, dan mengalami gejala suasana hati lainnya.
"Sementara laki-laki [cenderung] memiliki kesibukan lain yang menjadi fokusnya seperti kegiatan sosial, berorganisasi, melakukan hobi atau memiliki usaha yang sedang ditekuni di masa tua," kata Ardi.
Selain menopause, masih ada beberapa faktor lain yang membuat seseorang lebih rentan mengalami empty nest syndrome.
Misalnya orang tua dari anak tunggal dengan kondisi kesehatan yang terdiagnosis atau kurang memiliki struktur dukungan sosial seperti keluarga, teman, rekan kerja, atau komunitas agama.
Pada beberapa orang tua lain, faktor lainnya bisa dipengaruhi oleh perasaan khawatir akan keselamatan fisik anak, contohnya jika anak mengikuti pendidikan militer atau memiliki kondisi medis kronis, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan pasangan atau tidak mempunyai pasangan dan baru saja melajang.
Tentunya bukan perkara yang mudah untuk melewati empty nest syndrome. Namun Ardi menambahkan, fase tersebut umumnya bersifat sementara, meski durasi waktunya akan berbeda pada masing-masing orang.
Di tahap pertumbuhan diri, perempuan akan memaknai kembali hidupnya. Mereka tidak lagi melihat dirinya berfokus pada peran sebagai orang yang merawat atau mengasuh anak. Mereka dapat beralih ke area lain, seperti spiritualitas yang fokus pada hubungan transenden dengan sang pencipta.
"Jadi tidak bisa serta merta langsung pada tahap menerima, kemungkinan besar ada proses berat yang dilalui hingga stabil kembali," ungkap Ardi.
Lalu, apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mempersiapkan diri menghadapi empty nest syndrome?
Ardi menyarankan untuk mengeksplorasi kemampuan diri seperti hobi, skill, atau aktivitas yang disukai lainnya. Termasuk juga membuat tujuan baru yang membuat ibu kembali punya arah atau tujuan.
Cara lainnya bisa juga dengan meningkatkan relasi dengan orang-orang di sekitar. Tujuannya tak lain agar memiliki koneksi dengan orang di luar diri sendiri, seperti ikut komunitas arisan, pengajian, atau reuni.
Dengan begitu, ada momen di mana ibu bisa berbagi kesusahan dan kesulitan menghadapi empty nest syndrome sekaligus mengatasi rasa kesepian dan sendirian.
Jangan lupakan juga untuk tetap beraktivitas yang melibatkan ruang gerak fisik seperti berolahraga, atau tetap bekerja untuk menghasilkan tambahan penghasilan.
Dukungan profesional perlu dipertimbangkan jika ternyata orang tua cukup kesulitan menghadapi tekanan terus-menerus sehingga mengganggu kehidupan dan aktivitas sehari-hari.
Beberapa kondisi yang memerlukan bantuan psikolog antara lain ketika orang tua merasa sulit menikmati aktivitas seperti biasa, mengalami kesulitan memotivasi diri sendiri untuk melakukan perawatan diri dasar seperti makan atau mandi, merasa diselimuti penyesalan, kerinduan, atau kebencian saat memikirkan anak sehingga seolah-olah merasa kualitas hidupnya menurun drastis dan tidak lagi bermakna.
Terlepas dari pahit getirnya fase empty nest syndrome, ada hikmah yang bisa dipetik termasuk menemukan makna kehidupan baru.
Hal itu diungkap dalam laporan Empty Nesters (2018) dari The Australian Seniors Series, sebuah studi nasional yang menyelidiki perubahan sikap dan kekhawatiran penduduk Australia di atas usia 50 tahun.
Berdasarkan laporan tersebut, meskipun sebagian besar orang tua (41,1 persen) sedih melihat anak-anak mereka meninggalkan rumah, lebih dari setengahnya (51,4 persen) menyambut tonggak baru ini dengan bahagia.
Ini juga dikemukakan oleh Deborah Heiser, profesor di bidang psikologi perkembangan terapan. Menurutnya, memasuki fase sebagai empty nester justru menyediakan waktu dan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi.
Dalam artikelnya di Psychology Today, Heiser memaparkan tiga aspek positif sebagai empty nester.
Pertama, orang tua bisa menemukan kembali individualitasnya setelah bertahun-tahun fokus membesarkan anak.
Orang tua dapat mendedikasikan waktu dan energi untuk pertumbuhan pribadi, menekuni hobi dan mengeksplorasi minat baru yang dapat berkontribusi pada kebahagiaan dan kepuasan hidup.
Kedua, orang tua juga memiliki lebih banyak waktu dan ruang untuk memelihara hubungan dan memperkuat ikatan perkawinan dengan pasangan.
"Bangkitkan kembali romansa, perdalam keintiman emosional, dan lakukan aktivitas yang kalian berdua sukai. Hal ini dapat mengarah pada tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dan rasa persahabatan yang baru," tulis Heiser.
Aspek positif yang ketiga, orang tua punya waktu untuk meraih kemajuan karier dan pertumbuhan profesional.
Pendeknya, fokus baru pada tujuan profesional demikian dapat membantu mengarahkan pada peningkatan kepuasan dan pemenuhan pekerjaan.
Ketika tiba waktunya nanti, empty nest syndrome mungkin bakal jadi momen yang menantang dan menakutkan.
Meski begitu, dengan waktu dan proses penyesuaian diri, bukan tidak mungkin kita sebagai orang tua kelak dapat menghadapinya dengan penuh keberanian.
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih