tirto.id - Ratusan jerigen milik nelayan Pantura berjejer panjang di SPBU wilayah Indramayu, Jawa Barat. Mereka mengantre bersamaan kendaraan roda empat untuk mendapatkan BBM jenis solar. Solar subsidi dibutuhkan nelayan untuk menggerakkan mesin kapal ketika melaut.
Antrean panjang juga terjadi di SPBU Kebun Sayur, Balikpapan, Kalimantan Timur. Antrean mengular hingga sepanjang 2 kilometer (Km). Bahkan, para sopir truk harus rela mengantre selama dua hari untuk mendapatkan solar subsidi.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi melihat, kecenderungan terjadinya kelangkaan solar bersubsidi ini terjadi bersamaan dengan meroketnya harga minyak dunia.
Faktor kebetulan ini semakin menguatkan indikasi, bahwa ada strategi PT Pertamina mengurangi pasokan untuk menekan kerugian akibat biaya produksi semakin membengkak di tengah mahalnya harga minyak dunia.
"Indikasi ini makin menguat dengan pernyataan Pertamina yang mengimbau masyarakat untuk lebih hemat menggunakan solar subsidi karena harga minyak dunia saat ini sangat mahal," kata Fahmy kepada reporter Tirto, Sabtu (26/3/2022).
Jika demikian, maka strategi yang dilakukan Pertamina dinilai blunder, kata Fahmi. Sebab pengguna solar subsidi selain nelayan, juga truk pengangkut barang untuk distribusi kebutuhan bahan pokok.
"Terhambatnya distribusi tersebut berpotensi makin menyulut kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, yang sebelumnya sudah mengalami kenaikan signifikan," jelasnya.
Pengamat BUMN, Hery Gunawan melihat fenomena ini sebagai hal yang lain lagi. Menurutnya, kelangkaan tersebut bisa jadi masalahnya ada di distribusi. Sebab yang menangani distribusi solar bersubsidi bukan hanya Pertamina atau anak perusahaannya, tetapi ada juga swasta yaitu AKR Corporindo.
"Ini tugas pengawasannya ada di BPH Migas. Lembaga yang selama ini nyaris tak terdengar suaranya. Tapi perannya krusial dalam penyaluran BBM bersubsidi," jelasnya.
Herry meminta agar BPH Migas jangan cuma mengatur alokasi distribusi. Namun, mandat pengawasan harus dikerjakan juga. "Kita hampir enggak pernah dengar suara regulator satu ini," imbuhnya.
Di samping itu, Herry juga menilai kelangkaan terjadi karena permintaan dalam negeri meningkat, seiring dengan pemulihan ekonomi. Sebab, dunia usaha mulai bergerak.
"Apalagi menjelang Lebaran. Aktivitas logistik makin marak. Jadi kebutuhan BBM terutama solar pasti naik," katanya.
Penjelasan Pertamina dan Pemerintah
Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengungkapkan, salah satu penyebab kelangkaan terjadi akibat penyaluran subsidi solar sudah melebihi kuota sekitar 10 persen hingga pertengahan Maret 2022. Sementara stok solar subsidi secara nasional berada di level 20 hari.
"Memang ada peningkatan demand seiring dengan pertumbuhan ekonomi," kata Irto saat dihubungi reporter Tirto, Senin (28/3/2022).
Di sisi lain, Irto melihat kelangkaan solar ini juga disebabkan karena ada disparitas harga antara harga BBM subsidi dan harga BBM nonsubsidi. Sehingga ada oknum yang mengambil keuntungan dalam kondisi seperti ini.
"Kami juga mengapresiasi pihak kepolisian yang telah melakukan penangkapan oknum yang melakukan penyelewengan solar subsidi," jelas Irto.
Untuk mengatasi kelangkaan, Pertamina terus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan kepolisian untuk membantu pengamanan dan pengaturan layanan di SPBU.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sendiri memahami, salah satu penyebab kelangkaan didasari oleh adanya kesenjangan harga solar subsidi dengan harga solar nonsubsidi. "Salah satu faktor itu [ kesenjangan harga]," kata Direktur BBM BPH Migas, Alfon Simanjuntak, kepada Tirto, Senin (28/3/2022).
Untuk mengatasi hal tersebut, BPH Migas akan menyusun perubahan lampiran dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang sasaran penerima manfaat produk BBM subsidi seperti halnya solar subsidi. Nantinya, dalam lampiran baru ditujukan supaya konsumen pengguna dapat lebih tepat sasaran.
"Ini untuk lebih jelas semua konsumen pengguna yang berhak menggunakan BBM bersubsidi," jelas dia.
Mengacu pada Perpres di atas, pengguna yang berhak atas solar subsidi untuk sektor transportasi adalah kendaraan bermotor pelat hitam untuk pengangkut orang atau barang, kendaraan bermotor pelat kuning kecuali mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari 6.
Selain itu, kendaraan layanan umum (ambulans, pemadam kebakaran, pengangkut sampah), kapal angkutan umum berbendera Indonesia, kapal perintis, serta kereta api penumpang umum dan barang.
Untuk memastikan agar pengguna yang berhak atas solar subsidi bisa dipahami masyarakat, Pertamina bersama seluruh stakeholder dan Pemerintah melalui BPH Migas juga akan terus meningkatkan edukasi dan sosialisasi mengenai regulasi yang telah dibuat mengenai penyaluran solar subsidi.
“Solar subsidi yang sesuai peruntukannya, sehingga pengguna solar subsidi akan tepat sasaran dan masyarakat akan makin bijak menggunakan bahan bakar sesuai spesifikasi mesin kendaraannya," jelas Irto.
Sementara untuk pelaku industri dan masyarakat mampu, pihaknya mengimbau agar menggunakan BBM diesel nonsubsidi seperti Dexlite dan Pertamina Dex. Sehingga solar subsidi bisa digunakan oleh masyarakat yang lebih berhak dan membutuhkan.
Pertamina Patra Niaga akan terus menggandeng masyarakat, pemerintah, dan seluruh pihak terkait dalam pengawasan solar subsidi agar lebih tepat sasaran. Jika ada indikasi penyalahgunaan solar subsidi masyarakat dapat melaporkan langsung ke aparat, dan jika kesalahan ada di pihak SPBU, Pertamina juga tidak segan akan menindak SPBU tersebut.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri