tirto.id - Pemerintah berencana menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mengawasi penyaluran BBM bersubsidi. Penggunaan teknologi itu diharapkan bisa membuat penyaluran BBM bersubsidi lebih tepat sasaran.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa pemerintah akan membuat basis data berisi daftar nomor kendaraan yang memenuhi kriteria penerima BBM subsidi. Nantinya, AI akan digunakan untuk memindai pelat nomor kendaraan yang akan membeli BBM. Jikanomornya tak ditemukan dalam basis data AI, ia tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM subsidi.
“Jadi, orang yang tidak berhak, dengan big data, dia nozzle-nya itu yang bikin isi bensin itu otomatis akan mati sendiri karena melihat nomor pelat dari mobil itu,” jelas Luhut dalam konferensi pers Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Luhut menekankan bahwa penggunaan AI akan memastikan BBM subsidi hanya akan disalurkan pada masyarakat yang berhak. Apalagi, pembatasan BBM subsidi menggunakan AI berbasis big data kiwari sudah mudah dilakukan. Ini tidak seperti lima tahun lalu saat kondisi teknologinya yang belum secanggih sekarang.
Meski demikian, menurut pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, penggunaan AI dalam penyaluran BBM bersubsidi itu justru berlebihan. Sebab, Pertamina sejauh ini sudah menerapkan sistem QR Code melalui aplikasi My Pertamina dan sudah diujicobakan untuk pembelian solar.
Meski masih ada kelemahan, sistem QR Code itu tidak ada salahnya untuk diterapkan lebih luas. Menurut Fahmy, ia bisa diuji coba untuk pembelian pertalite, lalu dievaluasi hasilnya. Dia yakin, jika penggunaan QR Code untuksolar berhasil, penggunaan untukpertalite semestinya juga demikian.
"Sambil nanti disempurnakan untuk bisa cover semuanya. Kalau itu saja belum diterapkan, tiba-tiba AI dipakai, saya kira itu berlebihan," ujar Fahmy saat dihubungi Tirto, Jumat (6/4/2024).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menambahkan bahwa meski penggunaan AI tersebut sifatnya baru rencana, ia tidak terlalu mendesak untuk diterapkan. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih dulu fokus merumuskan kriteria masyarakat yang berhak menerima BBM subsidi.
"Itu dulu, mendefinisikan memutuskan kriterianya. Karena, sampai sekarang kan masih yang kita dengar dan ini belum resmi masih sifatnya rumor dibatasi berdasarkan CC kendaraan. Khusus untuk kendaraan roda empat," jelas Abra saat dihubungi Tirto, Jumat.
Penggunaan AI Butuh Biaya Besar
Menurut Abra, pemerintah tidak perlu merepotkan diri menggunakan teknologi kompleks seperti AI untuk melakukan pembatasan atau pengawasan penyaluran BBM subsidi. Pasalnya, itu akan membutuhkan biaya sangat besar.
"Ini kan kita belum tahu berapa kebutuhan anggaran AI. Jangan sampai teknologi tidak dibutuhkan, tetapi harus mengeluarkan anggaran besar. Bisa jadi pemborosan lagi," terang dia.
"Kita harus pertanyakan pemerintah juga, apakah ada benchmark di negara lain dalam melakukan pembatasan menggunakan AI?” kata Abra mempertanyakan.
Kritisisme senada juga dilontarkan Nailul Huda, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios). Menurutnya, tidak semua kebijakan publik harus diimplementasikan dengan teknologi paling canggih, apalagi sampai melompati tahapan pengembangan teknologi itu sendiri.
Pertamina, kata Huda, harusnya menerapkan teknologi yang paling sederhana dulu dalam implementasi pembatasan BBM subsidi, bukanujug-ujug langsung menggunakan AI. Terlebih, belum tuntu pegawai SPBU akan langsung paham penggunaannya.
"Teknologi sesederhana database kendaraan dan pelat nomor saja itu dimasukkan. Atau lebih canggih sedikit menggunakan radio frequency identification atau RFID," katanya kepada Tirto, Jumat.
Pada dasarnya, RFID adalah teknologi nirkabel yang sangat berguna untuk beberapa bidang bisnis, seperti supermarket, rumah sakit, dan bisa juga diterapkan pada mobil untuk mengidentifikasi penggunaan BBM bersubsidi.
"Itu kalo disetujui pakai AI, bisa 20 tahun lagi implementasinya. Atau jangan-jangan, memang tidak mau pembatasan subsidi, lantas mengulur waktu dengan AI," kata Huda.
Oleh karena itu, Huda mendorong agar pemerintah sebaiknya menggunakan teknologi sederhana yang ada saja. Misal dengan memasukkan nomor kendaraan ke sistem dan dicocokkan dengan jenis kendaraannya untuk mengecek pantas atau tidak ia mendapatkan BBM subsidi.
"Itu saja sudah cukup," pungkas Huda.
Kebimbangan Jokowi Batasi BBM Subsidi
Terlepas dari masalah penggunaan AI itu, Fahmy Radhi justru melihat pemerintahan Presiden Joko Widodo masih bimbang dalam menentukan kebijakan terkait pembatasan BBM subsidi tersebut.
Jika diperhatikan, kebijakan pembatasan BBM subsidi itu sudah berapa kali diwacanakan. Namun, ia hingga kini belum diterapkan.
Sebelumnya, Menko Luhut menyatakan bahwa pembatasan BBM subsidi akan dimulai pada 17 Agustus 2024. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak berencana membatasi BBM bersubsidi pada 17 Agustus 2024.
Bahkan, Presiden Jokowi juga ikut menyangkal pernyataan Luhut dengan mengatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi belum terpikirkan.
Tak berapa lama setelah diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM) RI, Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa pembatasan BBM subsidi akan dilakukan mulai 1 Okober 2024 dengan didahului sosialisasi. Kali ini, giliran Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, yang menyangkal pernyataan Bahlil dengan mengatakan bahwa belum ada pembahasan soal kebijakan pembatasan BBM subsidi.
"Lagi-lagi, Jokowi ikut membantah dengan mengatakan bahwa belum ada rapat khusus untuk memutuskan pembatasan BBM Subsidi," jelas Fahmy.
Bantahan Jokowi yang kedua kalinya, kata Fahmy, mengindikasikan bahwa dia masih bimbang memutuskan arah kebijakan pembatasan BBM Subsidi. Barangkali, Jokowi khawatir bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat sehingga bisa mencoreng legasinya sebelum lengser pada 20 Oktober 2024.
"Pembatasan BBM subsidi memang akan menaikkan harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak menerima subsidi. Dia harus migrasi dari BBM subsidi ke BBM nonsubsidi dengan harga lebih mahal. Namun, kenaikan harga tersebut dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas," jelas dia.
Maka Jokowi sebenarnya tidak punya alasan untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM subsidi. Pasalnya, anggaran subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar, yakni sekitar Rp90 triliun per tahun, dan itu juga memberatkan beban APBN.
"Kalau sampai dengan lengser, Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM subsidi, beban APBN tersebut akan diwariskan kepada pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto," pungkas dia.
Sementara itu, Luhut mengatakan bahwa untuk menjaga agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran, pemerintah hanya akan melakukan pengetatan penyaluran BBM subsidi yang direncanakan pada 1 Oktober 2024. Saat ini, pemerintah tengah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait kebijakan anyar ini.
“Pengetatan, orang yang enggak berhak tuh jadi enggak dapat, itu aja. Ya sedang disosialisasikan [aturannya]. Ini lagi mulai. Nanti, kita mau rapat sekali lagi dengan Presiden, baru nanti diputuskan oleh Presiden. Kita berharap ya itu [1 Oktober 2024],” ujarnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi