tirto.id - Presiden ke-3 Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengembuskan napas terakhir Rabu (11/9/2019) petang. Pria kelahiran Parepare 25 Juni 1936 itu wafat saat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto sejak 1 September 2019.
Putra Habibie, Thareq Kemal Habibie, mengatakan ayahnya meninggal dunia "karena sudah menua dan dimakan usia," juga "gagal jantung." "Maka tadi jam 18 lebih tiga, jantungnya dengan sendiri menyerah," kata Thareq, kemarin.
Kontribusi Habibie bagi Indonesia tak terkira. Namanya diukir dalam tinta emas sebagai Bapak Teknologi. Saat menjabat Presiden, dia juga merancang kebijakan yang demokratis, seperti membebaskan masyarakat bikin partai, serikat buruh, membebaskan tahanan politik, hingga menyetujui referendum bagi Timor Timur.
Sejarah pun mencatat Habibie bukan cuma menginspirasi lewat pengetahuan dan sikapnya yang demokratis. Ia menggerakkan orang-orang di kota kelahirannya untuk berkontribusi terhadap perkembangan dunia olahraga.
Dan satu di antara kontribusi tersebut adalah menginspirasi tercetusnya turnamen sepakbola Ajatappareng Cup. Turnamen ini, di kemudian hari, lebih dikenal dengan nama Habibie Cup.
Habibie Cup pertama kali diselenggarakan pada 1990 atas inisiasi pendiri Harian Fajar, HM Alwi Hamu dan Mirdin Kasim, yang saat itu menjabat Wakil Wali Kota Parepare. Alwi dan Mirdin terpantik oleh satu kegelisahan besar: menurunnya performa PSM Ujung Pandang dan klub lokal Sulawesi Selatan lain.
Di musim kompetisi 1989/1990, PSM pernah dibantai Persib Bandung tiga gol tanpa balas pada semifinal Divisi Utama PSSI.
Untuk menjiwai semangat rakyat Parepare dan ambisi membangkitkan sepakbola Sulsel, dipilihlah nama Habibie. Sebagai putra daerah, Habibie dianggap bisa menjadi panutan, apalagi saat itu dia menjabat sebagai Menristek dan Kepala BPPT.
"Keduanya, Mirdin Kasim dan HM Alwi Hamu, membutuhkan tokoh nasional asal Parepare yang pas untuk menjadi ikon turnamen ini dan memilih BJ Habibie yang saat itu masih menjabat Menristek RI dan kepala BPPT," ujar Ibrahim Manisi, bekas panitia edisi perdana Habibie Cup seperti dilansir Radar Sulbar.
Mulanya turnamen ini cuma diikuti enam tim lokal: Persipare Parepare, Perspin Pinrang, Enrekang, Tana Toraja, Barru, dan PSM. Dalam edisi perdana, peserta dibagi ke dalam dua grup. Dua tim terbaik dari masing-masing grup lolos ke babak selanjutnya.
Dihelat selama tujuh hari plus dua hari istirahat, edisi pertama Habibie Cup dimenangkan Persipare Parepare.
Tim yang ikut berkompetisi kian banyak, bahkan pada satu edisi sempat diikuti sampai 12 tim. Sistem turnamen ini kemudian berkembang—memakai sistem perempat final juga—meski tetap diawali dengan fase grup. Waktu pelaksanaannya pun diperpanjang, rata-rata bisa mencapai dua sampai tiga pekan.
Dari Andi Odang Sampai Hamka Hamzah
Habibie Cup ternyata bertuah. Prestasi klub-klub asal Sulsel melejit. Pada 1991/1992, PSM sukses menjuarai turnamen Perserikatan usai membenamkan PSMS Medan 2-1 di final.
Tapi hasil bagus dari Habibie Cup tidak lantas bikin turnamen ini jalan mulus tanpa hambatan. Faktanya, masalah anggaran sempat bikin Habibie Cup beberapa kali vakum. Menurut arsip Fajar Media Center, turnamen ini pernah diistirahatkan pada 2009 dan 2011, kemudian berturut-turut 2013 dan 2014.
Selain masalah anggaran, perkara-perkara sepele seperti ketersediaan wasit sampai kabut asap tercatat pernah bikin turnamen ini beberapa kali ditunda.
Beruntung, dalam sejarah turnamen, tak ada talenta-talenta yang mekarnya tertunda. Habibie Cup, pada akhirnya, tetap mampu memenuhi ambisi awal: melahirkan pemain-pemain yang bisa menghidupkan kompetisi sepakbola nasional.
Talenta beken yang lahir dari turnamen ini di antaranya Andi Oddang, Ahmad Amiruddin, Irsyad Aras, Hamka Hamzah, Ronny Ririn, sampai Gennaro Gattuso-nya Indonesia: Syamsul Bachri Chaeruddin.
Jebolan-jebolan alumni kompetisi ini sukses mengantarkan PSM meraih pencapaian-pencapaian besar secara nasional. Ronny Ririn mampu membawa PSM juara liga pada 2000, Andi Oddang bisa mengantarkan PSM dua kali menjadi runner-up liga (2003 dan 2004), Irsyad Aras melakukannya sekali (2004), pun dengan Hamka Hamzah (2001). Syamsul Bachri Chaeruddin yang memperkuat PSM dalam periode lebih lama (2001-2010 dan 2012-2017) bahkan menjadi salah satu ikon tak terlupakan yang pernah dimiliki Juku Eja.
Menjadi Pelipur Lara
Habibie Cup bukan cuma ajang unjuk kebolehan klub-klub lokal yang sulit dapat tempat di tingkat nasional. Pada 2015 lalu, turnamen ini menjadi pelipur lara rakyat Indonesia yang resah karena liga resmi dibekukan oleh FIFA.
Habibie Cup 2015 yang berjalan meriah diikuti 12 tim, yakni Persipare, Perssin Sinjai, Persim Maros, Persibone, PSM, Gaswa Wajo, Gasma Enrekang, Persiba Bantaeng, Sidrap united, PS Sandeq Polman, PS Asa, dan Persipal Palu.
Turnamen edisi ini, secara mengejutkan, juga jadi ajang pemanasan para pemain profesional yang bosan karena kompetisi vakum. Persipare misalnya, klub ini kedatangan pemain kelas satu macam Hamka Hamzah, Bio Paulin, Asri Akbar, Faturrahman, Harianto, Émile Mbamba, Rizky Pellu, Firman Utina, Zulham Zamrun, sampai pemain muda kelahiran 1995 Evan Dimas.
Sidrap United juga memaksimalkan kompetisi ini dengan mendatangkan Abdul Rahman, Boaz Solossa, Markus Haris Maulana, Makan Konaté, Jajang Sukmara, Otávio Dutra, Terens Owang Puhiri, Zulkifli Syukur, Ponaryo Astaman, hingga Victor Pae.
Berbagai 'cacat' memang sempat mewarnai turnamen yang akhirnya dijuarai Persipare itu. Seperti ketiadaan pemain asing, bench yang amburadul, sampai keputusan PSM WO saat semifinal.
Namun, lagi-lagi, Habibie Cup 2015 merupakan ajang pelipur lara yang sempurna. Segala kekurangan tersebut dapat dimaklumi.
Sayang, kompetisi itu kini tak ada lagi. Masalah-masalah seperti nasib klub-klub peserta yang terkatung-katung tak menemukan jalan keluar. Dan serupa BJ Habibie, Habibie Cup kini tinggal menyisakan kenangan.
Editor: Rio Apinino