Menuju konten utama
Relasi Ibu dan Anak Perempuan

Mengapa Relasi Ibu dan Anak Perempuan Menarik Dieksplorasi?

Narasi ibu dan anak adalah cerita tentang diri kita sendiri. Seburuk apapun relasi itu, kita tetap terikat oleh pengalaman dan rasa sakit yang sama.

Mengapa Relasi Ibu dan Anak Perempuan Menarik Dieksplorasi?
Header Diajeng Relasi Ibu Anak Perempuan. tirto.id/Quita

tirto.id - Baca artikel pertama dari Serial Relasi Ibu dan Anak Perempuan di tautan berikut: Pelik dan Penuh Warna: Menyelami Relasi Ibu-Anak di Layar Sinema

Seperti tecermin dari film peraih piala Oscar Lady Bird (2017) dan serial Korea pemenang Baeksang Awards When Life Gives You Tangerines (2025), relasi ibu dan anak perempuannya hampir selalu memiliki lapisan kedalaman emosinal yang dinamis dan kompleks.

Ikatan di antara keduanya senantiasa diwarnai oleh rasa cinta dan benci yang datang silih berganti ketika badai konflik menerpa.

Salah satu penjelasan di balik gejolak konflik tersebut bisa jadi berkaitan dengan penindasan yang pernah dialami sang ibu yang kelak diwariskan kepada si anak, baik secara langsung maupun tidak.

Demikian dipaparkan dalam artikel berjudul “Adult Mother-Daughter Relationships: A Review of the Theoretical and Research Literature" (2004)

Penindasan terhadap perempuan biasanya termanifestasikan dalam wujud diskriminasi peran gender dan kebencian terhadap perempuan (misogini). Dalam konteks ini, ruang gerak ibu dan anak perempuannya menjadi terbatas pada ranah kerja domestik.

Hal ini jugalah yang menimbulkan amarah, rasa kecewa, hingga kebencian di benak anak perempuan yang kerap menyaksikan ibunya menjadi korban penindasan.

Bukan tidak mungkin, si anak perempuan merasa kesulitan melawan bentuk-bentuk penindasan tersebut dan akhirnya jadi ketakutan sendiri akan menerima perlakuan serupa di masa depan.

Padahal, seperti disampaikan Suzanna Danuta Walters dalam buku Lives Together/Worlds Apart: Mothers and Daughters in Popular Culture (1992), relasi antara ibu dan anak adalah aspek yang sentral dalam kehidupan keluarga.

Ibu bertanggung jawab untuk menciptakan ibu dari anak perempuan mereka. Seiring waktu, anak perempuan diharapkan merawat generasi lebih tua.

Pendek kata, merekalah yang dipasrahi tanggung jawab untuk urusan reproduksi dan mempertahankan keberlangsungan keluarga.

Tidak mengherankan apabila Walters kemudian menganalogikan ibu dan anak perempuan sebagai “jembatan” dalam kehidupan keluarga.

Jika begitu fungsinya, masuk akal pula konstruksi jembatan tersebut perlu diperkuat. Artinya, ibu dan anak perempuan perlu didukung agar terbebas dari belenggu penindasan patriarki.

Di balik progres gerakan perempuan dan keadilan gender, tidak bisa dimungkiri bahwa sejarah awalnya mencatat bagaimana representasi perempuan di media populer cenderung mereduksi perempuan berdasarkan peran mereka dalam hal reproduksi.

Jodi Vadenberg-Daves dalam studinya tahun 2014 menulis bagaimana tokoh ibu-ibu di televisi digambarkan "selalu menikah, didukung secara finansial oleh suami, produktif dalam konteks reproduktif [melahirkan banyak anak], dan merasa puas dengan hidup yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan anak dan suami".

Jika tidak memenuhi kriteria di atas, Vadenberg-Daves perhatikan, tokoh perempuan akan digambarkan sebagai figur yang "problematik".

Gambaran “ibu yang sempurna” ini juga dikonstruksikan dalam jurnal, majalah, dan media-media lainnya.

Drama thriller romantis yang tayang pada 1987, Fatal Attraction, adalah salah satu yang menonjolkan narasi bad woman versus good mother.

Alkisah, tokoh antagonis di dalam cerita, Alex Forrest (diperankan oleh aktris Glenn Close) adalah seorang perempuan karier sukses yang masih lajang dan tidak mempunyai anak.

Alex digambarkan terus-terusan merayu tokoh protagonis laki-laki yang sudah berkeluarga, Dan Gallagher (diperankan aktor Michael Douglas).

Tokoh Dan itu sendiri dicitrakan begitu baik hati, ramah, serta lugu. Meski begitu, ia dengan sadar memutuskan untuk menjalani hubungan sesaat dengan Alex—yang kemudian secara gamblang berusaha memeras Dan dengan berpura-pura hamil.

Di tengah ketegangan itu semua, penonton dipertemukan dengan istri Dan, bernama Beth (diperankan aktris Anne Archer), yang karakternya penuh kasih dan lembut.

Beth tampil sebagai perwujudan istri dan ibu tradisional yang memprioritaskan keluarga dan kehidupan rumah tangganya.

Devany J. Bauer dalam artikel berjudul “How the Media Communicates Ideals of Motherhood to Real Life Mothers” (2023) menyimpulkan bahwa narasi ibu yang ideal memiliki pengaruh yang signifikan bagi kaum ibu di kehidupan nyata.

Sebagian besar partisipan dalam studinya menyebutkan bahwa mereka pernah mengalami perasaan malu, bersalah, hingga merasa gagal karena tidak mampu memenuhi harapan universal terhadap citra ibu yang dikomunikasikan oleh media.

Maka dari itu, potret yang lebih realistis terhadap peran seorang ibu perlu lebih banyak direpresentasikan oleh media.

Inilah yang berusaha dicapai oleh sineas perempuan seperti sutradara Greta Gerwig dan penulis naskah When Life Gives You Tangerines, Lim Sang-choon, melalui narasi cerita yang berpusat pada pengalaman perempuan dalam relasi ibu dan anak.

Di film Lady Bird, misalnya, Gerwig bercerita bagaimana realitas hubungan ibu dan anak di dalam skenarionya direspons oleh para calon sponsor film, yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki.

“Kalau mereka tumbuh bersama saudara perempuan, atau kalau mereka punya anak perempuan, mereka paham bahwa skenario filmku menyorot realitas keseharian dalam hubungan ibu dan anak perempuan,” cerita Gerwig.

“Mereka bilang, ‘Oh, iya, ini seperti ibu dan saudara perempuanku,’ atau, ‘itu istri dan anak perempuanku,’” imbuhnya lagi.

Melalui filmnya, pikir Gerwig, laki-laki mendapatkan gambaran tentang dunia yang tidak mereka sadari nyata adanya, tentang bagaimana perempuan sehari-hari berseteru dan mengungkapkan sayang satu sama lain.

Sampai hari ini, peran pengasuhan dan reproduksi masih menjadi diskursus yang terus dibahas di dalam komunitas feminis.

Namun demikian, representasi media yang semakin inklusif tentang peran seorang ibu bisa dibilang turut berkontribusi memperhalus pandangan dan ekspektasi masyarakat terhadap gambaran seorang ibu.

Rosjke Hasseldine, penulis dan terapis hubungan ibu-anak, menerangkan dengan optimis bahwa relasi ibu dan anak dapat menjadi kunci untuk berkontribusi pada kemajuan terkait hak-hak dan pengalaman perempuan di seluruh dunia.

“Seiring kaum ibu belajar menyelamatkan diri sendiri dan kembali terhubung dengan diri sendiri, mereka otomatis akan menyelamatkan anak perempuan mereka dan mengubah kenyataan yang diwarisi oleh anak perempuan dan cucu perempuan mereka,” tulis Rosjke dalam esai “The Emotional Crisis between Mothers and Daughters”.

Bagaimana pun juga, narasi ibu dan anak adalah cerita tentang diri kita sendiri.

Kekuatannya terletak pada rasa saling memahami dan bersimpati sebagai seorang perempuan.

Seburuk apapun hubungan antara ibu dan anak perempuannya, mereka tetap terikat oleh pengalaman dan rasa sakit yang sama.

Dengan menyaksikan ibu mereka meraih kebebasan dan mampu menguatkan potensi dirinya, anak perempuan dapat menikmati citra diri mereka secara lebih kuat dan realistis.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Film
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih