tirto.id - Menemukan pernyataan penuh empati dari para pejabat ternyata sama susahnya dengan mencari jarum kecil di tumpukan jerami.
Sepertinya sulit bagi pihak-pihak di kursi kekuasaan untuk mengartikulasikan kepedulian kepada kelompok yang sewajibnya dibela—rakyatnya itu sendiri.
Simpati dan ungkapan penuh pengertian dari pejabat kepada rakyat adalah bare minimum, standar paling bawah.
Pada kenyataannya, absennya welas asih di kalangan penguasa memiliki akar yang kompleks. Kurangnya kemampuan membaca bisa jadi salah satu alasan.
Para pejabat berada di posisi yang tidak hanya rumit, tetapi juga perlu dijalankan dengan penuh kehati-hatian.
Membuat kebijakan maupun pernyataan publik seharusnya dilandasi dengan pengetahuan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan konsekuensi.
Keahlian yang dibutuhkan itu bisa dilatih melalui membaca, aktivitas yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk menyimak gagasan, pandangan, saran, dan kritikan dari beragam penulis.
Beberapa waktu lalu, lewat media sosial, tak sedikit masyarakat di negeri kita mulai bertanya-tanya: banyak pejabat bisa pamer barang mewah, tetapi mengapa mereka tidak bisa melakukan hal sama untuk buku yang tengah atau telah dibaca?
Jauh-jauh hari, Toni Morrison, tokoh perempuan Amerika keturunan Afrika yang pertama meraih Nobel Sastra, memberikan peringatan mengapa kebiasaan membaca buku mendesak untuk diterapkan.
Membaca selalu bersifat politis, sekaligus aktivitas yang menumbuhkan empati.
Jadi, khusus untuk para pejabat, membaca buku sudah seharusnya menjadi upaya untuk memahami apa yang harus mereka lakukan, kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan dan penyediaan rasa aman bagi masyarakat.
Apa yang terjadi apabila para pejabat tidak membaca buku?
The Economist dalam artikel terbaru berjudul “Is the decline of reading making politics dumber?” melakukan analisis terhadap pidato-pidato kepresidenan AS, dari era George Washington hingga Donald Trump.
Menggunakan indikator uji keterbacaan, mereka menemukan adanya penurunan tajam dalam kemampuan baca pada era Presiden Trump.
Indikasi yang muncul, menurunnya minat dan keinginan membaca di kalangan politisi berpengaruh pada merosotnya kecanggihan politik sebuah negara.
Proses membaca membantu kita menjadi sosok yang bersimpati dan berempati. Pada pejabat publik yang dipilih secara demokratis untuk menjalankan mandat rakyat, membaca juga penting untuk membantu mereka mengasah kemampuan berpikir dan bernalar.
Pejabat yang tidak membaca juga berpotensi besar menghambat gerak literasi masyarakat. Ketika pemegang kuasa tidak akrab dengan buku, mereka tidak akan repot-repot menyelesaikan persoalan literasi yang begitu sistematis.
Artinya, tidak ada kebijakan untuk memberikan subsidi pada buku, tidak apa perbaikan perpustakaan, tidak ada dukungan untuk komunitas literasi. Efek jangka panjangnya, pemberedelan dan penyitaan buku jadi langkah yang dinormalisasi oleh pejabat.
Sayangnya, tidak sampai di situ.
Perilaku pejabat yang jauh dari dunia literasi hanya akan menghasilkan masyarakat dengan iliterasi fungsional.
Apa itu maksudnya? Individu tidak lagi memiliki kemampuan membaca yang cukup baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk menuntaskan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan membaca di atas tingkat dasar.
"Sudah banyak laporan yang memperingatkan, jika rendahnya tingkat literasi [masyarakat] terus berlanjut, bakal ada konsekuensi ekonomi dan politik yang serius," tegas penulis asal Belanda, Henk Propper dalam artikelnya di The Low Countries.
Bagaimana menyampaikan potensi bahaya di atas kepada pejabat yang tidak akrab dari dunia literasi?
Ini adalah pertanyaan yang jawabannya sulit untuk ditemukan. Padahal, tingkat kemampuan dan kemauan membaca harus dimulai dari kepala, bukan dari ekor.
Pertanyaan menarik selanjutnya, apakah memiliki pejabat dan pemimpin yang suka membaca buku adalah jaminan bahwa negara akan baik-baik saja?
Mantan Presiden AS George W. Bush pernah melakukan reading challenge atau tantangan membaca buku sebanyak-banyaknya dengan konsultan politik Partai Republik, Karl Rove, sepanjang tahun 2006-2008.
Tahun pertama, Bush membaca total 95 buku, sementara Rove 110 buku.
Di tahun kedua, jumlah buku Bush menurun ke angka 51 dan Rove 76.
Pada tahun terakhir, angkanya adalah 40 buku untuk Bush, dan 64 buku untuk Rove.
Jumlah yang mengesankan. Apa kemudian itu berarti Bush tidak menelurkan kebijakan yang kontroversial? Tidak juga. Toh ia tetap merestui invasi AS ke Irak dan Afghanistan hingga gagal mengatasi krisis keuangan global selama memerintah AS.
Kenyataannya, akan selalu ada pejabat yang bebal dan nirempati, bahkan setelah membaca ratusan atau ribuan buku.
Indonesia pernah berada pada suatu masa ketika membaca buku di kalangan pejabat publik, pemimpin, dan politisi adalah hal yang wajar, bahkan bagian dari aktivitas sehari-hari. Bisa dibilang, pada masa itu, seakan-akan adalah aib bagi di kalangan elite ini untuk tidak membuka buku dalam sehari.
Sungguh disayangkan, standar intelektual tersebut semakin ditinggalkan pada hari-hari ini.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































