tirto.id - Internasionalisasi perguruan tinggi, dalam sosoknya sepuluh tahun belakangan, merupakan sebuah pilihan, bukan keniscayaan. Ini pilihan yang sulit ditolak atau dihindari. Tak ada keharusan bagi Indonesia untuk ikut arus yang sudah mengglobal, misalnya dalam bentuk lomba peringkat universitas dunia.
Tapi, bila memilih ikut arus-utama demikian, selayaknya Indonesia mengerahkan tenaga maksimal untuk mendapatkan yang terbaik dari sistem yang tidak sempurna itu. Bukan seperti saat ini. Selama bertahun-tahun Indonesia mengambil sikap mendua yang saling bertentangan. Ibarat berlomba balap mobil: satu kaki menggenjot gas, kaki yang lain menekan pedal rem ke dasarnya.
Di satu pihak, Menristek mendorong internasionalisasi perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT). Para sarjana didukung untuk studi lanjut ke mancanegara. Mahasiswa pasca-sarjana diharapkan mengikuti konferensi-konferensi internasional. Para dosen didorong publikasi di pelbagai jurnal akademik dunia yang berperingkat tinggi.
Di pihak lain, internasionalisasi dicurigai atau ditolak sejumlah pihak. Terutama jika internasionalisasi berwujud masuknya tenaga ahli atau lembaga universitas dari luar Indonesia untuk bekerja di Indonesia. Internasionalisasi yang begini dikhawatirkan menjadi ancaman bagi tenaga atau lembaga lokal yang lemah dalam persaingan di bidang pendidikan.
Selain didorong oleh kepentingan sempit kelompok lokal, sikap anti-asing punya sejarah panjang sejak revolusi kemerdekaan RI. Belakangan sikap anti-asing itu dikentalkan oleh politik nasionalistik di bawah semboyan “NKRI harga mati”, gara-gara sejumlah faktor politik dalam negeri yang tidak berkait satu sama lain: gejolak di Papua, rasisme anti-Cina, dan kekhawaritan radikalisme serta gagasan negara (bersyariat) Islam.
Baik kubu pro maupun anti internasionalisasi PT memiliki penalaran yang layak dihormati. Tapi, ada dua hal yang layak dipertimbangkan.
Pertama, bila tidak diatasi dalam sebuah konsensus nasional, pertentangan berkelanjutan antara yang pro dan kontra tidak menguntungkan satu pihak mana pun. Tenaga dan modal Indonesia dihabiskan secara sia-sia dalam bentuk baku-tolak dalam kebijakan publik.
Kedua, nyatanya kehidupan sehari-hari di Indonesia sudah berwatak kapitalis-industrialis. Internasionalisasi pendidikan merupakan kepanjangan tangan dari kapitalisme global. Wajar dan jauh lebih mudah bagi Indonesia untuk memilih arus utama internasionalisasi PT. Tetapi usaha ini mubazir jika tidak mendapat dukungan maksimal dari para pemangku kepentingan baik dalam pemerintahan maupun di lembaga PT.
Di atas kertas, bukannya tidak mungkin bagi Indonesia menolak arus-utama globalisasi pendidikan yang berwatak industrial-kapitalis. Tapi praktiknya sangat sulit membayangkan sebuah sistem alternatif yang mampu melawannya dan bertahan dengan dalih mengutamakan ideologi Pancasila, dogma NKRI, dan lain sebagainya. Mampu berprestasi unggul di tingkat regional, sehingga beramai-ramai didukung mayoritas mahasiswa, orangtua mereka, para dosen dan peneliti, serta pencari kerja, tanpa memedulikan dinamika keilmuan global?
Internasionalisasi Dalam Negeri
Dalam beberapa tahun terakhir, saya diundang berbincang dengan pucuk pimpinan universitas dan fakultas di sejumlah PT di Indonesia. Semua meminta masukan seputar upaya internasionalisasi yang sedang mereka laksanakan. Dalam setiap kesempatan itu saya sampaikan beberapa pokok pemikiran sebagai berikut.
Tradisi puluhan tahun mengirimkan sarjana Indonesia ke luar negeri untuk kegiatan akademik (studi lanjut, penelitian, konferensi, atau penerbitan) harus diimbangi, bahkan sudah saatnya dibalik, dengan prioritas program internasionalisasi di dalam negeri. Tidak cukup mengundang tenaga ahli asing sebagai dosen atau peneliti.
Saran saya, PT Indonesia juga layak mengusahakan internasionalisasi di kalangan mahasiswa. Juga tenaga profesional yang mengelola administrasi PT, termasuk rektor, pembantu rektor, kepala keuangan, kepala biro personel, kepala biro internasionalisasi, dan sebagainya.
Sebagai satu sumber beasiswa saja, dan hanya untuk tahun ini saja, LPDP menyediakan dana Rp31,6 triliun. Saat ini ada belasan ribu sarjana Indonesia belajar dengan beasiswa LPDP. Separuhnya belajar di luar negeri. Belum terhitung pemberi beasiswa lain. Belum lagi mereka yang datang dari ekonomi kuat dan belajar dengan biaya sendiri atau dari keluarganya.
Meski sulit dicatat jumlah persisnya, bisa dibayangkan betapa besar dana yang mengalir ke luar Indonesia setiap tahun untuk investasi sumber daya manusia ini. Padahal, kalaupun investasi ini sukses, tidak ada jaminan hasilnya akan masuk kembali dan bertahan di tanah air. Terlebih lagi, jika di tanah air tidak tersedia lahan yang mendukung pertumbuhan karier mereka.
Belum lagi menghitung dana dari dalam negeri yang menyusul, misalnya ketika ada orangtua kaya dari Indonesia berlibur menengok anaknya yang sedang belajar di luar negeri. Di Singapura dan Australia, tak sedikit orangtua yang membeli rumah atau apartemen di sekitar tempat belajar putra atau putri mereka sebagai investasi.
Seandainya internasionalisasi dalam negeri berlangsung, sebagian dana yang tidak kecil itu bisa berputar di dalam negeri sendiri. Dampaknya bisa berlipat ganda, dan tak hanya dari segi ekonomi. Seandainya lebih banyak tenaga dosen dan mahasiswa asing berkegiatan akademis di Indonesia, bukan saja sirkulasi keuangan PT menjadi besar. Bisnis pemondokan, jasa internet atau kafe di sekitar kampus pun ikut terdongkrak.
Yang tidak kalah penting: industri penerbitan dan toko buku akademik di tanah air terdorong maju. Juga pelbagai diskusi dan seminar yang terbuka untuk masyarakat umum lebih berwawasan luas global; asalkan debat dalam diskusi tidak terancam delik pidana.
Saya termasuk satu dari sedikit insan akademik yang sangat beruntung. Ketika masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, banyak dari dosen kami yang datang dari beberapa benua lain. Sebagian dari perkuliahan mereka 40 tahun lalu masih penting bagi kerja keilmuan saya hari-hari ini. Tak lama setelah saya lulus, pemerintah Indonesia membatasi jumlah dosen asing ini, karena alasan politis dan ideologis.
Ketika terjadi gejolak politik yang berdampak di tempat kerja, saya harus meninggalkan Indonesia, setelah berkali-kali gagal mencari kerja di tanah air. Seorang rekan dari salah satu universitas tenar di Indonesia menjelaskan bahwa ia tidak bisa menolong saya mendapatkan kerja di fakultasnya. Katanya, saya tidak memeluk agama yang dominan di antara pegawai lembaga itu. Bahkan terjadi persaingan sengit di antara aliran dan organisasi yang berbeda dalam agama tersebut, dan ini berpengaruh pada rekrutmen atau promosi pegawai.
Sejak 1996, saya terpaksa bekerja di luar Indonesia: National University of Singapore, University of Melbourne, Australian National University, dan Monash University. Baru belakangan saya sadar keempatnya menduduki peringkat sangat tinggi di dunia. Padahal bukan itu alasan saya bekerja di sana, tapi karena saya mendapatkan tawaran kerja.
Namun, ada yang lebih penting untuk saya pelajari dari semua universitas ini. Semuanya mengutamakan internasionalisasi dalam pelbagai sisi: kemahasiswaan, tenaga akademik, dan manajemen. Dengan sadar dan sengaja, mereka mencari, merayu, dan merekrut sebanyak mungkin tenaga paling unggul di dunia.
Ini sisi menarik dari logika sistem kapitalisme: yang dicari adalah yang paling unggul dalam persaingan global. Tak peduli kebangsaan, agama, jenis kelamin, warna kulit, atau orientasi seksual mereka.
Persaingan global dan peringkat dunia tidak mempedulikan Tuhan mana yang disembah ilmuwan atau dengan siapa mereka bercinta di rumah. Lowongan kerja diiklankan ke seluruh dunia, dan disertai keterangan bahwa lembaga mereka tidak mendiskriminasikan calon berdasarkan jenis kelamin, keagamaan, warna kulit atau usia.
Prasangka Keliru
Ada tiga prasangka umum dalam diskusi tentang internasionalisasi perguruan tinggi di Indonesia yang layak dikoreksi.
Pertama, beberapa universitas yang unggul di dunia mencapai status emas bukan karena masyarakat di negara mereka lebih cerdas daripada di Indonesia, melainkan karena mereka berhasil merangkul dosen dari pelbagai negara lain (termasuk Indonesia), yang dianggap mampu mendongkrak status mereka dalam peringkat global.
Menurut sebuah sumber terpercaya, saat ini ada sekitar 2.000 tenaga ahli dari Indonesia yang bekerja di PT dan pusat penelitian di pelbagai benua. Mereka ikut berjasa di balik kesuksesan sejumlah universitas dunia yang peringkatnya jauh di atas universitas paling kuat di tanah air sendiri. Di Singapura, saya bekerja di sebuah departemen dengan lebih 20 dosen. Warga Singapura sendiri hanya dua. Selebihnya warga asing dari pelbagai negara.
Kedua, internasionalisasi tidak berarti "westernisasi." Di pelbagai lembaga PT terkuat di dunia, internasionalisasi tidak semata-mata berarti melibatkan lebih banyak warga kulit-putih atau penutur-asli bahasa Inggris dari pelbagai negara. Harus diakui Amerika dan bahasa Inggris tetap paling dominan di dunia ilmu pengetahuan. Tetapi, internasionalisasi menyimpan potensi yang jauh lebih luas dan majemuk. Dalam dua dekade terakhir, jumlah tenaga ahli dari Asia meningkat secara mencolok di puncak-puncak prestasi global.
Ketiga, tidaklah mudah merayu para ahli, mahasiswa atau tenaga administrasi terbaik di dunia untuk bergabung dengan universitas pada peringkat 50 teratas di Singapura atau Australia. Apalagi di universitas berperingkat sekian ratus. Selain langka, mereka dimanjakan oleh tempat kerjanya, dan terus-menerus diperebutkan pelbagai lembaga dunia. Maka, dunia berlomba memberikan tawaran kemudahan yang istimewa untuk memikat tokoh-tokoh bintang seperti itu agar bekerja di universitas mereka.
Di Indonesia justru sebaliknya. Karena serba was-was pada yang serba-asing, jumlah tenaga ahli dari luar sangat dibatasi sekecil mungkin. Jika datang, mereka diadang dengan seabarek persyaratan dan pembatasan kerja, baik birokratis maupun politis. Seakan-akan para ahli ini sedang mengemis. Seakan-akan merekalah yang lebih butuh pekerjaan di Indonesia ketimbang sebaliknya.
Tidak semua warga akademik di perguruan tinggi unggulan dunia setuju dan mendukung internasionalisasi pendidikan. Mereka menolak walaupun diuntungkan sistem tersebut. Bagi mereka, globalisasi pendidikan yang berwatak industrial-kapitalis tidak menguntungkan pertumbuhan intelektual mahasiswa.
Di Indonesia, saya belum menyaksikan penolakan dengan alasan seperti itu. Internasionalisasi disambut dan didukung asalkan dibatasi sebagai kesempatan bagi peneliti dan sarjana Indonesia terlibat kegiatan di luar negeri. Internasionalisasi diperdebatkan dan ditolak bila mendatangkan kegiatan dan tenaga asing di Indonesia.
Itu sebuah sikap katak di bawah tempurung yang panik justru ketika tempurung itu retak, dan di sela-sela retak itu ada sedikit sinar matahari yang masuk.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.