tirto.id - Pada 4 November 2017, Tunggal Pawestri mengirimkan kicauan yang mengajak warganet yang pernah mencapai tahap seleksi wawancara LPDP untuk menceritakan pertanyaan-pertanyaan yang dirasa aneh yang pernah mereka terima. Tiga hari kemudian, wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama, melaporkan, dalam beberapa kasus, pewawancara LPDP memberikan pertanyaan soal agama, suku hingga rumah tangga yang sifatnya pribadi dan tidak berhubungan dengan rencana studi.
Pada 15 November 2017, dalam acara malam peringatan 25 tahun American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) dan 65 tahun Fulbright yang dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat, Joseph R. Donovan Jr, Menteri Keuangan, Sri Mulyani -- sebagai penggagas dan orang nomor wahid dalam struktur kepengurusan LPDP -- memberikan tanggapan soal pemberitaan viral menyangkut seleksi beasiswa LPDP.
“Saya mengetahui soal beberapa kabar mengenai rekrutmen LPDP. Untuk itu, saya sedang dalam proses sungguh-sungguh untuk mereformasi dan meningkatkan kualitas manajemen dalam hal rekrutmen penerima beasiswa maupun manajemen alumni,” kata Sri Mulyani.
Baca juga:Sri Mulyani Akan Tingkatkan Kualitas Rekrutmen Beasiswa LPDP
Awal minggu ini, Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Utama LPDP, Luky Alfirman, menegaskan komitmen perbaikan yang sedang dilakukan
"Itu jadi bahan perbaikan buat kami karena kami juga sedang membuat semacam improvement, perbaikan di LPDP. Masih on going, nanti akan kami sampaikan," jelas Luky kepada BBC Indonesia, Senin (20/11).
Diskursus yang dimulai oleh Tunggal dan BBC Indonesia telah berhasil memicu pembuat kebijakan untuk mengakui perlunya peningkatan kualitas proses rekrutmen dan manajemen beasiswa LPDP. Untuk mempertahankan momentum ini, Tirto mewawancarai 11 orang: delapan orang diwawancarai mengenai proses tahap wawancara dan tiga orang sisanya berbagi kisah mengenai acara Persiapan Keberangkatan (PK) untuk penerima beasiswa LPDP. Karena permintaan narasumber, identitas mereka akan disamarkan.
Naskah ini tidak hendak melakukan generalisasi melainkan untuk memperkaya dan membawa ke permukaan beberapa kasus -- yang belum diliput oleh media -- untuk memberikan ilustrasi kualitatif mengenai pewawancara LPDP yang tidak kompeten. Alih-alih menanyakan soal rencana studi, kapasitas akademik atau kemampuan manajemen waktu, pewawancara malah fokus dalam menggali informasi pribadi atau terjebak dalam sikap politiknya sendiri.
Karena Sikap Politik Pewawancara, Diskusi Akademik Menjadi Bias
Oleh pewawancara, Ayu (25 tahun) ditanya mengenai rencana riset magisternya. Ia menjelaskan skripsinya mengenai hubungan terpaan gambar peringatan bahaya rokok terhadap persepsi khalayak tentang merokok akan ia dalami sebagai tesisnya.
Tanpa membahas teori dan metodologi riset, pewawancara langsung bertanya: “Kalau gitu gimana nasib petani tembakau itu? Kretek itu, kan, bagian dari budaya Indonesia? Posisi kamu di mana? Pro siapa?” kata Ayu mengulang pertanyaan pewawancaranya kepada Tirto.
Ayu menggunakan data penelitiannya dan juga data World Health Organization (WHO) yang menunjukkan dampak buruk merokok. Ia menjawab mendukung pengendalian tembakau. Namun, pewawancara tetap saja menanyakan hal yang sama tanpa merespon paparan data yang ia berikan. Untungnya, di percobaan kedua, Ayu berhasil lolos seleksi LPDP dan saat ini sedang kuliah di Australia.
Pada kasus yang lain, Indah (25 tahun) yang berasal dari Bandung, malah ditanya sikap dosennya yang mendukung LGBT -- sekali lagi: sikap dosennya Indah di kampus, bukan sikap Indah sendiri. Pewawancara menjelaskan bahwa dosen tersebut -- karena mendukung LGBT -- berkontribusi dalam mempublikasikan ‘hal-hal kontroversial di Facebook’.
“Nah aku bingung, ya, soalnya posisi aku netral kalau soal LGBT. Tapi kan keliatan dari ekspresi, gestur, dan kata-kata si interviewer bahwa stance mereka negatif terhadap LGBT,” jelas Indah kepada Tirto.
Pada akhirnya, Indah mengirimkan surat pengunduran diri dari seleksi.
Mandeknya diskusi kritis dan ilmiah ketika wawancara juga dialami oleh Dita (24 tahun). Pada 2016, ia sampai ke tahap wawancara LPDP. Ketika itu pewawancara menanyakan soal riset yang ia lakukan. Dita yang merupakan seorang sarjana hukum menjelaskan bahwa risetnya menganalisis isu self determination yakni kasus-kasus secession.
Pewawancara menanggapi kasus ini sambil tersenyum, “Oh seperti yang di East Timor ya?”
Dita kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan menambahkan studi kasus: “...and West Papua, which is an on going one”.
Setelah mendengar reaksi pewawancara tersebut, Dita langsung panik. Ia memberikan penjelasan bahwa dalam hukum internasional permasalahan West Papua rasanya tidak memenuhi ambang batas untuk bisa melalukan self-determination dalam bentuk secession.
“Namun entah apakah karena saya menjelaskan dengan agak panik atau memang beliau sudah tidak tertarik lagi, tak lama setelah itu beliau menyudahi pertanyaannya,” jelas Dita. “Pada akhir sesi wawancara, hanya beliau yang memberikan saya pesan, yaitu agar nanti beritahukan kepada orang asing bahwa Indonesia itu satu dari Sabang sampai Merauke”.
Saat ini, Dita sedang melanjutkan kuliah magister, dengan beasiswa lain (bukan LPDP), di University of Cambridge, Inggris.
Pertanyaan Soal Rencana Keluarga atau Pilihan Pacar
“Aku ditanya ‘Udah berkeluarga apa belum?’ Terus aku bilang: 'Udah'. Punya suami tapi belum punya anak. Terus dia tanya ‘Berencana punya anak nggak?’ [...] ‘Suami saya dan saya belum memutuskan,’aku bilang gitu,” kata Novi, seorang peneliti yang pernah bekerja di Jakarta.
Pada menit-menit berikutnya, Novi terus dikejar dengan pertanyaan dengan isu yang sama. “Emang menurut kamu ada beban buat memiliki anak,” lanjut Novi mereka ulang pertanyaan pewawancara.
Pada akhirnya, Novi dinyatakan tidak lulus seleksi oleh LPDP. Namun ia berhasil mendapatkan beasiswa lain.
Menurutnya, ada perbedaan fokus dalam wawancara beasiswa yang ia dapatkan dibanding pengalaman wawancara LPDP. Ketika wawancara yang ia kemudian diterima, topik-topik seperti kepemimpinan, rencana studi, maupun rencana karier setelah lulus menjadi fokus utama pewawancara dan bukan masalah pribadi.
Pertanyaan cukup janggal juga diterima Mayang, penerima beasiswa LPDP untuk tujuan Australia. Ia ditanya: “Nanti kalau dapat bule gimana? Apa tetap akan kembali ke Indonesia?”
Baca juga: Membongkar Kecenderungan Pria Bule Memperistri Orang Asia
Mayang menjelaskan pertanyaan semacam ini tidak akurat untuk mengetahui kualitas peserta seleksi. “Kalau buat tahu komitmen belajar, menurut aku, [pertanyaan macam] ini nggak berhubungan. Belajar dan pacaran bukan dua hal yang hanya bisa dipilih salah satu saja. Itu, sih, masalah manajemen waktu aja. Sama dengan kegiatan organisasi di kampus [...], kan juga menyita waktu bahkan lebih dari pacaran,” jelas Mayang.
Narasumber lain, Putri (26 tahun), mengatakan jika tujuan pertanyaan untuk menguji komitmen pengabdian terhadap Indonesia tidak menjadi masalah, namun tetap tidak ideal jika terlalu fokus ke isu-isu pribadi.
“Kalau pertanyaannya udah ngorek-ngorek lebih dalam tentang preferensi pribadi dalam milih jodoh, misalnya, jadinya nggak fair. Harusnya semua orang punya kesempatan yang sama untuk dapat beasiswa,” ujar Putri.
Para penerima beasiswa LPDP yang lolos juga punya aspirasi perihal acara Persiapan Keberangkatan LPDP. Menurut Aryo (25 tahun), lulusan salah satu universitas di Inggris, untuk hal teknis PK telah berhasil memberikan informasi yang komprehensif mengenai hak, kewajiban dan proses pencairan beasiswa kepada para awardee. Akan tetapi, sosialisasi problem kesehatan mental yang berpotensi menjadi salah satu hambatan yang akan dialami oleh awardee ketika merantau tidak diberikan dengan maksimal.
Persiapan Keberangkatan LPDP Belum Maksimal
Selain itu, perbaikan juga dapat dilakukan dengan memberi berbagai pembekalan untuk persiapan kuliah di luar negeri. “Misalnya tentang ekspektasi akademis postgrad di luar negeri. Hal-hal penunjang seperti academic writing, plagiarism, terus kehidupan nanti pas postgrad gimana: culture shock, mental health, dan financial management,” jelas Dinda (24 tahun).
Senada dengan Dinda, Rini menekankan pentingnya pembekalan kemampuan akademik dalam rangkaian acara PK yang, berdasarkan pengalamannya, masih terbatas pada satu sesi saja (sekitar dua jam) padahal PK berlangsung selama seminggu.
“PK memang membuat kita mengenal dekat satu sama lain, tapi LPDP adalah lembaga pemberi beasiswa. Jadi yang harus ditekankan adalah PK itu bisa menunjang kami meraih prestasi akademis di luar negeri. Tapi, kenapa porsi penulisan akademik itu hanya sedikit, sementara kita terlalu banyak disibukan dengan persiapan-persiapan menuju PK yang tidak substantif dan acara PK-nya yang begitu padat,” jelas Rini (24 tahun), alumni LPDP yang saat ini bekerja di Jakarta kepada Tirto.
Di acara peringatan 25 tahun AMINEF/65 tahun Fulbright, Sri Mulyani menyebutkan bahwa dana LPDP untuk tahun depan akan mencapai 40 triliun rupiah. LPDP adalah mega proyek yang sepatutnya dievaluasi terus-menerus agar investasi uang rakyat tidak digunakan dalam atmosfir yang diskriminatif dan mengkerdilkan pentingnya sikap kritis.Jika ada alumni LPDP yang berbicara secara terbuka terkait mekanisme seleksi LPDP hal itu harus dimaknai sebagai tanggungjawab moral mereka untuk meningkatkan mutu LPDP. Kritik dari para alumni LPDP terhadap pemerintah, atau terhadap mekanisme LPDP, perlu dibaca sebagai manifestasi dari komitmen untuk terlibat aktif memperbaiki apa yang memang masih harus diperbaiki.
Tirto telah berulang kali menghubungi Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Utama LPDP, Luky Alfirman, untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai rencana peningkatan kualitas seleksi beasiswa LPDP. Akan tetapi hingga naskah ini tayang, Luky belum memberikan jawaban.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Zen RS