tirto.id - Steve Easterbrook menyebarkan memo internal kepada para karyawan. Chief Executive di restoran cepat saji McDonald’s itu menyebutkan bahwa Silvia Lagnado akan berhenti dari jabatannya sebagai Chief Marketing Officer (CMO) Global pada Oktober mendatang.
Selain menjabat sebagai CMO Global, Lagnado juga menjabat sebagai Executive Vice President dan bergabung di McDonald’s sejak 2015. Perempuan kelahiran Brasil ini memberikan kontribusi dan dampak 'signifikan' selama masa jabatannya. "Silvia memimpin tim yang berhasil mendefinisikan tujuan dari merek [McDonald’s],” tulis Easterbrook dalam memonya, seperti dilansir AdAge.
Saat menjabat sebagai CMO McDonald’s, Lagnado mengawasi berbagai fungsi pemasaran, termasuk pengembangan merek, strategi menu, wawasan konsumen dan bisnis, media, manajemen perdagangan dan hubungan pelanggan. Lagnado juga membantu menciptakan identitas visual universal yang mulai digunakan McDonald’s.
Lagnado disebut sebagai orang yang berada di belakang kesuksesan kerjasama McDonald’s dengan Disney. Kerjasama eksklusif yang diumumkan pada 2018 itu, memungkinkan tersedianya mainan dengan figur Disney dalam pembelian paket makanan Happy Meals.
Nama Lagnado masuk dalam daftar The 50 Most Powerful Latinas in Business of 2018 versi Fortune. Ia juga menjadi salah satu dari 100 Wanita Berpengaruh dalam Periklanan versi AdAge. Wall Street Journal juga mendapuk Lagnado sebagai satu dari Top 50 Women to Watch.
Pasca-pengunduran diri Silvia Lagnado, manajemen McDonald’s tidak menyebut siapa pengganti yang akan menduduki jabatan CMO Global tersebut. Meski demikian, Colin Mitchell dan Bob Rupczynski masing-masing diangkat sebagai VP Senior Pemasaran Global dan VP Senior Teknologi Pemasaran.
Jejak Perubahan
Sebelum Silvia mengundurkan diri dari jabatan sebagai CMO Global di McDonald’s, ada Rebecca Messina dan Alison Lewis, para CMO dari Uber dan Johnson&Johnson (J&J) yang terlebih dulu meninggalkan jabatannya. Seperti dilaporkan CNBC, pengunduran diri dari jabatan CMO itu berkenaan dengan re-organisasi perusahaan.
Tugas pemasaran yang selama ini diemban Messina, selanjutnya ditangani oleh Wakil Presiden Senior Komunikasi dan Kebijakan Publik. Di J&J, peranan Alison Lewis yang telah menjabat sebagai CMO selama lima tahun tidak akan langsung diganti. Perusahaan memutuskan untuk menghapus jabatan CMO tersebut berkaitan dengan perombakan dan 'perampingan prioritas'. Tugas CMO di J&J akan dibagi rata antara pemimpin lain di perusahaan tersebut.
Tren mulai bergesernya peran CMO tersebut seolah mengindikasikan bahwa peran pemasaran terus mengalami perubahan. Memasuki era teknologi baru, sejumlah variasi cara baru untuk beriklan dan berkomunikasi dengan konsumen bermunculan, salah satunya melalui marketing technology (martech).
Bentuk martech ini beragam, mulai dari perangkat lunak yang mempersonalisasikan situs web untuk setiap pengunjung, hingga teknologi yang menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk membuat ribuan versi iklan daring yang lebih personal dan sedikit berbeda.
Masih dari CNBC, Allen Adamson salah satu pendiri konsultan Metaforce menyatakan bahwa ada baiknya bagi perusahaan untuk memikirkan kembali jabatan CMO tersebut. Adamson menyarankan agar perusahaan dapat membagi tanggung jawab terkait pemasaran.
"(Tugas ini) tidak lagi realistis untuk dilakukan satu orang. Mengelola merek global 24/7 di saluran media sosial dapat dengan mudah membuat lima CMO mengundurkan diri dalam sebulan," ungkap Adamson. Ia menambahkan bahwa cara pemasaran yang lebih cepat dan efisien adalah dengan memberikan lebih banyak tanggung jawab kepada kepala pemasaran regional.
Beragam Fungsi jadi Satu
Peter Reid, Kepala Eksekutif grup pemasaran MSQ Partners mengatakan, re-organisasi perusahaan terkait pemasaran tidak berarti pemasaran perusahaan menjadi berkurang. Tapi, ketika perusahaan dan merek menggunakan martech dan transformasi digital yang lebih luas, maka akan semakin mudah untuk mencari dan menyatukan kegiatan teknologi, pemasaran dan juga keinginan pelanggan di bawah satu atap.
"[Perusahaan dan merek] semakin mencari cara untuk menyatukan teknologi, kegiatan pemasaran dan juga pelanggan di bawah sebuah kepemimpinan tunggal untuk memastikan semua kegiatan tersebut diselaraskan dengan strategi tunggal secara keseluruhan," jelas Reid, masih dari CNBC.
Reorganisasi perusahaan yang terjadi di tingkatan global, tidak tertutup kemungkinan untuk pula merembet ke Indonesia menurut Yuswohady, Managing Partner dari lembaga konsultan pemasaran Inventure. Menurutnya, proses penyebaran tren termasuk juga reorganisasi terkait pemasaran, cepat sekali terjadi di era digital seperti sekarang ini.
"Perkembangan dan penyebaran di era digital ini sangat cepat sekali. Sehingga fenomena ini juga bisa terjadi di Indonesia. Meleburnya CMO dan sebagainya, akan menyebar cepat sekali," sebut Yuswohady kepada Tirto.
Kompetensi CMO di era digital dan masa depan, menurut Yuswohady, memang seperti peleburan antara pemasaran atau marketing dengan teknologi, serta hubungan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, akan sangat penting bagi CMO di era digital untuk mengerti dan memahami terkait teknologi.
"Profesi CMO tidak hilang, tetapi kompetensinya shifting atau bergeser dan melebur. Memang bisa jadi akan banyak yang berguguran, karena harus mempunyai kolaborasi skill antara teknologi dengan pemasaran,” rinci penulis buku Millennials Kill Everything ini kepada Tirto.
Ia mengatakan, peranan besar marketing yang sebagai 'jembatan' antara produsen dan konsumen diawali dengan kegiatan mengetahui kebutuhan konsumen. Selanjutnya menerjemahkan kebutuhan itu ke dalam 'bahasa' operasional, sehingga produsen dapat menciptakan dan mengembangkan suatu produk, harga, pelayanan, dan promosi agar kebutuhan pasar tersebut terpenuhi. Ujungnya, perusahaan mendapat keuntungan.
Oleh karena itu, peranan dan fungsi marketing masih akan tetap ada, meski saat ini beberapa perusahaan global melakukan perampingan atas jabatan CMO. Perampingan ini, menurut Chief of Marketing Management Expertise PPM Management Diana Permatasari, lebih karena efisiensi dan percepatan pengambilan keputusan untuk mengantisipasi perubahan perilaku konsumen dan pasar secara keseluruhan yang semakin cepat.
Berubahnya perilaku konsumen yang sangat cepat, memang menjadi tantangan tersendiri bagi divisi marketing. Konsumen generasi Y dan generasi Z, misalnya, memiliki perilaku yang cepat berubah dalam hal needs (kebutuhan) dan juga wants (keinginan).
Cara generasi milenial mendapatkan referensi produk, kriteria yang dipertimbangkan saat akan membeli produk, sampai dengan cara untuk mendapatkan produk, memberikan tantangan tersendiri bagi pemasaran perusahaan. "Kecepatan ini yang masih sulit untuk dikejar oleh para marketer yang tidak bergerak cepat dan tidak berani mengambil risiko," jelas Diana kepada Tirto.
Survei CMO global tahunan yang digelar oleh Dentsu Aegis Network mengungkapkan, CMO mengalami tekanan 'jangka pendek' yang tinggi. Hal ini karena para CMO tersebut harus memberikan hasil yang memuaskan terhadap peningkatan kinerja perusahaan dalam waktu yang singkat. Di saat yang bersamaan, anggaran pemasaran yang kurang untuk mencapai tujuan pemasaran, turut menjadi tantangan para CMO.
Survei yang dilakukan kepada para kepala pemasar tingkat senior di 10 pasar ini menyebut, permasalahan anggaran pemasaran menjadi persoalan utama. Sebanyak 41 persen responden mengungkapkan anggaran pemasaran flat atau bahkan mengalami penyusutan selama 12 bulan ke depan.
Dalam beberapa kasus, pengetatan anggaran pemasaran diharapkan tetap mampu menyumbang pertumbuhan bisnis secara sehat. Hal ini karena sebanyak 64 persen responden memperkirakan terjadinya pertumbuhan pendapatan dari strategi pemasaran selama satu tahun ke depan.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara