tirto.id - Pernikahan anak kembali ramai menarik perhatian. Kejadian perkawinan anak di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) viral menjadi perbincangan. Sebuah video yang menjadi sorotan publik memperlihatkan prosesi nyongkolan, yaitu tradisi adat Lombok, yang melibatkan dua remaja berusia 15 dan 17 tahun. Dalam video tersebut, keduanya tampak mengikuti iring-iringan pengantin suku Sasak di Lombok Tengah.
Perkawinan yang melibatkan sepasang anak di bawah usia legal ini, diketahui sempat dicegah oleh pemerintah desa setempat. Petinggi desa mempelai perempuan dan mempelai laki-laki menolak memberi izin. Alih-alih mengurungkan niat, kedua belah pihak tetap ngotot dan melakukan pernikahan itu di bawah meja atau tanpa sepengetahuan pemerintah desa.
Pencegahan perkawinan ini bahkan tak hanya dilakukan sekali. Menurut informasi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, Provinsi NTB, percobaan pertama berlangsung sekitar bulan April 2025. Selanjutnya, keduanya kembali kawin lari seminggu kemudian, tetapi itu pun dapat dilerai.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menyampaikan bahwa pihaknya telah melaporkan orang tua dari kedua mempelai. Selain itu, pihaknya juga melaporkan semua pihak yang terlibat ikut mengawinkan anak tersebut, termasuk penghulu yang menikahkan.
"Dalam aduan ini, kami melaporkan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam proses perkawinan anak tersebut. Baik itu orang tua atau penghulu yang menikahkan," katanya, Sabtu (24/5/2025).
Joko menegaskan kalau pelaporan bertujuan untuk memberi edukasi kepada masyarakat, bahwa menikahkan anak di bawah umur merupakan pelanggaran hukum dan dapat dikenai sanksi pidana.
Kasus perkawinan anak di NTB ini hanya menambah gemuk catatan kejadian kawin anak di wilayah tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 bahkan menunjukkan bahwa NTB menempati posisi teratas dengan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun. Di sana, persentasenya mencapai 14,96 persen.
Angka itu lebih tinggi ketimbang provinsi-provinsi lain di Indonesia dan jauh di atas rerata nasional, 5,90 persen. Menyusul di belakang NTB ada Provinsi Papua Selatan (14,4 persen), Sulawesi Barat (10,41 persen) dan Kalimantan Barat (10,05 persen).
Padahal, pernikahan anak berdampak buruk terhadap anak-anak dan termasuk dalam kekerasan berbasis budaya. Kajian Komnas Perempuan tahun 2019 berjudul ‘Risalah Kebijakan Perkawinan Anak: Menutup Aib dan Tertutupnya Hak Atas Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan Mental, Reproduksi serta Seksual’, menyebut salah satu faktor pendorong terjadinya praktek perkawinan anak adalah tradisi atau budaya yang ada.
Di lain sisi adanya interpretasi budaya juga ambil peran. Beberapa stigma seperti; perempuan yang telah menstruasi dianggap siap untuk menikah, adanya anggapan perawan tua dan dijadikan gunjingan, mencegah perbuatan zina atau perbuatan yang tidak baik, perjodohan serta mempertahankan kelas dan status sosial, serta karena kehamilan tidak diinginkan, dan membawa lari anak perempuan, menjadi faktor pendorong.
Dimensi Berlapis dan Kompleksitas Perkawinan Anak
Kasus perkawinan anak di NTB memang menunjukkan tren fluktuatif dalam lima tahun terakhir. Setelah diketahui menurun pada 2022, setahun setelahnya, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun merangkak naik. Selain faktor agama dan adat, persoalan ekonomi juga tak ayal berpengaruh.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, mengungkap jerat kemiskinan bisa membuat anak-anak menjadi korban atau menjadi alasan agar orang tuanya segera mengawinkannya.
“Selain juga karena untuk mengatasi persoalan kemiskinan di dalam keluarga, juga mungkin menurut orang tua ketika anak-anak, (baik) anak-anak perempuan atau laki-laki juga sudah menikah, artinya mereka bebas dari lingkaran kemiskinan yang dialami oleh keluarga mereka,” ungkap Mike kepada Tirto, Selasa (27/5/2025).
Padahal sebaliknya, perkawinan usia anak justru punya dampak yang sangat serius. Bukan hanya persoalan bagaimana kesiapan mereka secara mental atau psikologis untuk menjalani kehidupan perkawinan atau rumah tangga, Menurut Mike, perkawinan anak juga menciptakan dampak-dampak lain, seperti kekerasan dan ketidaksiapan organ reproduksi ketika misalnya mereka memiliki anak.
Sayangnya, permasalahan ini tak cuman terjadi di NTB. Praktik perkawinan anak masih terus dijumpai di berbagai provinsi lain di Indonesia. Angka dispensasi pernikahan yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama sepanjang 2016 - 2023 bahkan memperlihatkan masih di level puluhan ribu.
Merujuk Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, pada 2023, dispensasi pernikahan yang dikabulkan Pengadilan Agama mencapai 40 ribu kasus. Meski terjadi penurunan sebesar 20 persen dari tahun sebelumnya, angkanya masih cukup besar dan mengkhawatirkan.
Dispensasi kawin bisa jadi dikeluarkan karena, “alasan sangat mendesak,” sebagaimana PERMA No.5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Alasan, “sangat mendesak” dalam ketentuan itu, patut diduga terkait dengan adanya kehamilan anak sehingga harus segera dinikahkan.
Mike berpendapat kalau hakim pengadilan sebenarnya sudah banyak yang progresif, dalam artian mencoba bagaimana menjalankan dispensasi sesuai dengan mandatnya. Namun, menurutnya, sosialisasi aturan dalam Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih lemah. Dalam beleid tersebut batas minimal usia perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun.
“Karena sampai saat ini juga undang-undang perkawinan anak itu belum memiliki aturan teknis bagaimana menjalankannya, termasuk mandat ke setiap level pemerintah, bahwa perkawinan anak ini merupakan praktik yang seharusnya dilarang, atau diupayakan dibatasi, atau diupayakan untuk tidak terjadi,” ujar Mike.
Dengan begitu, persoalan kawin anak bukan hanya kerja-kerja di sektor ini, tetapi juga bicara ke sektor pendidika. Pendidikan juga harus ikut memperkuat. Contoh kasus, kata Mike, kalau melihat bahwa anak yang sudah hamil jangan dikeluarkan dari sekolah, tetapi dibiarkan untuk tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Realita di lapangan terkait pencegahan perkawinan anak memang masih sarat akan tantangan. Di Sulawesi Tengah misalnya, perkawinan anak terjadi akibat dimensi yang berlapis.
Berdasarkan temuan Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan Palu Sulawesi Tengah (Libu Perempuan), bencana 2018 di Sulteng menjadi pemicu melonjaknya angka perkawinan anak.
Menurut catatan mereka, dari 2018 ke 2019, ada sekitar 54 kasus perkawinan anak, kemudian 2019 ke 2020 tercatat sekira 20 kejadian. Masa darurat menjadi momen yang berisiko paling besar terhadap angka perkawinan anak.
“Itu ada konteks di mana dia kehilangan keluarga inti gitu ya. Jadi orang tua, bapak ibu hilang karena likuifaksi. Atau misalnya orang tuanya –ibu dan bapaknya– itu terbawa tsunami gitu ya, kemudian tinggal di pengungsian dengan tantenya, kemudian ada yang suka dikawinkan gitu,” ujar Direktur Eksekutif Libu Perempuan, Dewi Rana Amir, saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (27/5/2025).
Belum lagi sempitnya tenda-tenda pengungsian, yang memungkinkan anak-anak banyak bermain di luar, bertemu dengan orang lain dan berujung hamil. Kasus-kasus seperti itu juga tak jarang kemudian dikawinkan.
“Ada juga konteks kekerasan seksual, di mana korbannya itu diperkosa. Yang paling menyedihkan untuk kami itu ya, 3 hari pascabencana ya yang diperkosa, kemudian hamil,” lanjut Dewi.
Di tengah mayoritas pemeluk Agama Kristen di daerah tersebut, ia menerangkan bahwa organisasinya yang fokus pada isu pemenuhan hak perempuan dan anak-anak berusaha melakukan pendekatan gereja. Dengan demikian gereja kemudian memastikan bahwa tidak boleh anak-anak dikawinkan.
“Kemudian beberapa kali juga kami terlibat dalam proses penjagaan itu dengan lembaga adat, lembaga adat ini kan di Sulteng ini cukup kuat peran dan posisinya itu cukup kuat banget ya, ini peran mereka. Jadi kita harus bicara pelan, maksudnya pendekatan-pendekatan yang persuasif, pendekatan-pendekatan yang mengedepankan kepentingan terbaik anak,” ujar Dewi.
Pencegahan dari Hulu Hingga Hilir Jadi Vital
Masyarakat sebenarnya punya andil dalam menanamkan cara pikir bahwa perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Praktik ini, “tidak boleh dianggap lazim” dan harus ditolak, serta dicegah.
Mike dari KPI menegaskan bahwa sosialisasi bahaya perkawinan anak harus dibarengi dengan penguatan komitmen pemerintah sampai level desa. Pemerintah mesti punya program atau kebijakan lanjutan yang dapat mengatur agar perkawinan anak bisa dicegah langsung di skala yang paling dekat.
“Contohnya beberapa desa telah memiliki peraturan desa tentang pencegahan perkawinan anak termasuk mungkin Perda-perda juga mungkin ada. Nah, ini yang saya anggap juga sebagai komitmen atas sosialisasi yang sudah dilakukan. Jadi jangan hanya sampai pada pemerintah memahami saja, tetapi harus dibarengi dengan komitmen kuat untuk mencegahnya,” ungkap Mike.
Advokasi larangan perkawinan anak, terang-terangan juga tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan ini jangan sampai diabaikan dan harus diimplementasikan oleh semua pihak.
Pasal 10 beleid itu sudah menyebutkan kalau perkawinan paksa adalah bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Perkawinan paksa yang dimaksud termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Rahmayanti, menekankan pentingnya gerakan dari hulu ke hilir untuk mencegah perkawinan anak. Artinya, upaya pencegahannya harus dimulai dari edukasi yang melibatkan anak, edukasi kepada orang tua, kepada tokoh agama, hingga kepada tokoh masyarakat dan tokoh adat.
“Karena orang-orang yang memfasilitasi perkawinan anak ini itu tidak tahu Undang-Undang Perkawinan Anak bahwa batas minimalnya ada usia 19 tahun, tidak tahu juga terkait dengan Undang-Undang TPKS bahwa yang terlibat itu ada ancaman hukum pidananya. Maka ini sosialisasi juga perlu dimasifkan dalam rangka pencegahannya. Kemudian dampak-dampak dari perkawinan anak juga perlu disosialisasikan,” ujar Ai menjawab telepon Tirto, Selasa (27/5/2025).
Satu poin yang tak kalah penting dari pencegahan adalah upaya penanganan jika perkawinan anak sudah terjadi. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau layanan lain di daerah, kata Ai, perlu memastikan untuk melakukan penjangkauan kepada kedua pasangan pengantin dan kepada kedua orang tua. Misalnya, dalam kasus perkawinan anak di NTB, anak-anak itu dipastikan tetap mendapat pendidikan.
“Jadi ini akan dipastikan hak pendidikannya tetap berlanjut. Kemudian juga dari sisi ekonomi, ini juga si pengantin laki-lakinya akan diakseskan ke pelatihan kerjanya ke BLK (Balai Latihan Kerja -red),” terangnya.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto