tirto.id - “Ketika saya masih anak-anak,” tutur Bill Gates, “bencana yang paling ditakuti keluarga saya adalah perang nuklir.” Dalam acara TED Talks yang digelar pada tahun 2015 itu, Gates melanjutkan, “itulah mengapa saya memiliki tong di ruang bawah tanah, berisi berkaleng-kaleng makanan dan minuman. Ketika serangan nuklir terjadi, kami tinggal turun berlindung dan makanan dari tong-tong itu.”
Namun, masih menurut Gates, kekacauan global hari ini tidak bersumber dari perang nuklir. “Yang memungkinkan membunuh 10 juta jiwa dalam beberapa dekade ke depan adalah virus, bukan perang. Mikroba, bukan misil.” Sayangnya, negara-negara dunia lebih banyak menghabiskan anggaran untuk memodernkan persenjataan mereka demi memenangkan pertempuran nuklir alih-alih melawan virus atau mikroba mematikan.
Sejak 1940 hingga 1996, Amerika Serikat, misalnya, telah membelanjakan sebesar $9,49 triliun (dalam nilai dolar saat ini) untuk pengembangan persenjataan. Cina, pada 2018 saja, telah membelanjakan $239,2 miliar untuk alat-alat militer. Lalu Rusia mengucurkan dana hingga $70 miliar dalam membentuk pasukan khusus guna menghadapi perang nuklir. Untuk untuk membendung penyakit, singkat kata, minim.
Padahal, serangan penyakit-penyakit menular pada manusia sangat nyata. Lihatlah Flu Spanyol dan Ebola. Menurut Gates, Flu Spanyol dan Ebola tidak terlalu menyusahkan manusia terjadi karena konektivitas antar manusia terhitung masih minim. Flu Spanyol muncul di dunia yang belum memiliki transportasi mumpuni (jika dibandingkan dengan hari ini), sementara Ebola mewabah untuk pertama kalinya pada 1970-an di Afrika Tengah, sebuah kawasan yang sangat miskin dan tertinggal.
Hari ini semuanya berubah. Youyou Zhou, dalam paparannya di Quartz di 2019 lalu, menyatakan bahwa Afrika hari ini berbeda dengan Afrika satu dekade lalu. Kini Afrika berhubungan erat dengan Cina, salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Keakraban Cina dan negara-negara Afrika ditandai oleh semakin tingginya konektivitas kedua tempat. Pada 2010, hanya ada satu penerbangan langsung Cina-Afrika. Kini, rata-rata ada delapan penerbangan langsung Cina-negara-negara bAfrika. Saban tahun, 850.000 penumpang terbang dari Cina ke Afrika dan sebaliknya. Tercatat, ada 81.000 warga Afrika yang bersekolah di Cina dan dua juta warga Cina kini merantau di Afrika.
Jika Flu Spanyol atau Ebola terjadi di dunia yang telah begitu terkoneksi antar-manusia, ancaman nuklir tidak ada apa-apanya. Itu salah satu poin pemikiran Gates.
Empat tahun setelah Gates bicara di TED, yang ia takutkan pun muncul: COVID-19.
Bill Gates Sasaran Konspirasi
Pada 2017, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan yang memuat daftar patogen yang perlu sesegera mungkin diperhatikan, khususnya bagi kalangan ilmuwan. Daftar tersebut antara lain: demam Demam hemoragik Krimea-Kongo (CCHF), virus Ebola, virus Marburg, virus Lassa, Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV), Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Nipah, demam Lembah Rigft, (RVF), dan Zika.
Tak lama selepas laporan itu keluar, beberapa peneliti WHO kemudian memutuskan menambah satu virus lagi yang perlu diwaspadai: Penyakit X. Keterangan WHO menyebut penyakit hipotetis ini sebagai “epidemi internasional yang serius dapat disebabkan oleh patogen yang saat ini tidak diketahui menyebabkan penyakit pada manusia.”
Professor Trudie Lang, sebagaimana diungkapkannya pada The Guardian, menyatakan bahwa kemunculan Penyakit X, “negara-negara dunia harus sesegera mungkin memperkuat kemampuan penelitian,” terutama guna menghadapi berbagai penyakit baru yang disebabkan serangan virus yang belum pernah ada dalam sejarah hidup manusia.
Hampir tiga tahun selepas laporan itu diterbitkan, tepatnya pada Desember 2019, seorang dokter di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, yang bernama Li Wenliang menemukan adanya virus baru dalam diri pasiennya. Ia menyebut penyakit itu “SARS-like virus” dan sempat menduga sebagai “Penyakit X”, tetapi kemudian virus temuannya dikenal sebagai COVID-19.
COVID-19 adalah malapetaka yang menghampiri umat manusia. Data yang dikumpulkan Johns Hopkins University menyebut tak kurang dari 16 juta jiwa tertular virus ini. Hingga 26 Juli 2020, 644.611 jiwa di seluruh dunia meninggal dunia akibat COVID-19. Sialnya, hingga kini, tidak ada obat ataupun vaksin yang bisa memerangi COVID-19. Maka, strategi klasik berjaga jarak atau social distancing jadi solusi. Solusi yang menyebabkan banyak bisnis berguguran. Sebanyak 1,7 juta pekerja di Indonesia, misalnya, telah menjadi korban PHK akibat kebijakan ini.
Bill Gates, yang bersama Paul Allen mendirikan Microsoft, akhirnya menjadi sasaran sebagian kalangan masyarakat atas kehancuran yang dihadirkan COVID-19. Karena, melalui presentasinya di TED misalnya, Gates memprediksi kemunculan virus mematikan--atau dapat dibaca COVID-19, Gates dianggap sebagai biang kerok kelahiran virus ini.
Laporan Daisuke Wakabayashi, Davey Alba, dan Marc Tracy di The New York Times, menyebut bahwa semenjak COVID-19 muncul, meskipun pembicaraannya di TED soal kemungkinan munculnya virus berbahaya telah cukup lawas, orang berramai-ramai menonton ulang perkataan Gates di TED. Seminggu pertama April 2020, misalnya, ada 25 juta tambahan views baru di video yang diunggah TED di Youtube itu. Sayangnya, alih-alih belajar dari perkataan Gates, tak sedikit kalangan yang mempercayai Gates adalah otak di balik COVID-19. Menyebarkan konspirasi hubungan COVID-19 dan Gates.
Zignal Labs, firma analisis media yang datanya diintip Wakabayashi dkk., menyebut bahwa tak kurang dari 16.000 unggahan hoaks yang menyatakan Gates bertanggungjawab atas kemunculan COVID-19 menyebar di platform Facebook. Di Youtube, dari bulan Maret hingga April, video yang berupa 'reportase' bahwa Gates menciptakan COVID-19, masuk menjadi 10 video terpopuler. Tercatat di semua media nama Gates disebut 1,2 juta kali dalam konten-konten teori konspirasi yang menghubungkan dirinya dengan COVID-19.
Gates, dengan lembaga filantropi miliknya, Bill and Melinda Gates Foundation, yang pada akhirnya ikut membantu penciptaan vaksin COVID-19, juga dituduh ingin memantau setiap orang di dunia. Vaksin buatannya dituduh mengandung chip.
Gates tentu saja jengkel dengan teori konspirasi itu. Dalam wawancaranya di CNN Jumat (24/7) kemarin, ia menyatakan bahwa munculnya konspirasi yang mengaitkan namanya sebagai biang COVID-19 terjadi karena “banyak orang menginginkan penjelasan sederhana.” Masalahnya, tutur Gates, penjelasan sederhana itu “menyasar saya”.
Dalam wawancaranya di CBS Evening News, Gates lalu menegaskan bahwa “tidak ada sama sekali hubungan antara vaksin dengan alat pelacakan tipe apapun”.
Sialnya, di tengah dunia yang sebagian penduduknya percaya bahwa Bumi datar, ada saja yang percaya teori konspirasi soal Gates dan COVID-19. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Yahoo News dan YouGov, misalnya, 44 persen responden dari kalangan Republik percaya tentang teori konspirasi Gates-COVID-19 itu.
Prof. Joseph Uscinski, ilmuwan politik dari University of Miami, sebagaimana disampaikannya pada BBC, menyebut bahwa terdapat dua penjelasan sederhana mengapa Gates dianggap biang COVID-19 melalui teori konspirasi. Dua penjelasan itu ialah: kaya dan terkenal.
“Teori konspirasi selalu tentang menuduh orang-orang kuat berbuat sesuatu yang salah,” kata Uscinski. “Coba perhatikan segala teori konspirasi, teorinya secara mendasar sama, hanya namanya saja berubah.”
Dahulu, John D. Rockefeller, pendiri Standard Oil Company yang dikenal sebagai sosok yang memiliki harta setara dengan dua persen ekonomi AS, dikait-kaitkan dengan "New World Order" (Tatanan Dunia Baru), yakni teori konspirasi tentang tengah digalakkannya kelahiran satu pemerintahan dunia yang totaliter. Jika dulu Rockefeller ada di dalam narasi teori konspirasi itu, kini ia digantikan oleh George Soros, Koch bersaudara, Rothschild, dan hingga akhirnya, Bill Gates.
Editor: Windu Jusuf