Menuju konten utama

Betapa Culasnya Microsoft Memenjarakan Pendaur Ulang Elektronik

Pendaur ulang elektronik Eric Lundgren dibui 15 bulan dan didenda 50.000 dolar. Kejahatannya? Menggandakan program recovery sistem operasi Windows.

Betapa Culasnya Microsoft Memenjarakan Pendaur Ulang Elektronik
Lundgren saat di Ghana untuk sebuah proyek e-waste. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Beberapa pertanyaan penting di awal abad ini. Pertama, di tengah kerusakan lingkungan yang disebabkan salah satunya oleh tumpukan limbah elektronik, tidakkah mereparasi gawai yang sedikit rusak (alih-alih beli produk baru) adalah langkah yang masuk akal? Kedua, bukankah semestinya Anda berhak mereparasi perangkat elektronik yang telah Anda beli tanpa mencederai garansi produk?

Eric Lundgren, seorang inovator dan wirausahawan pendaur ulang limbah elektronik asal Amerika Serikat, bakal menjawab dua pertanyaan itu dengan "ya" dan "ya".

Tapi dua "ya" itulah yang membuatnya harus berhadapan dengan raksasa Microsoft. Kurang dari dua minggu lagi, Lundgren terpaksa tidur di balik jeruji besi di Penjara Oregen setelah kalah di meja hijau akibat tuntutan perusahaan yang didirikan Bill Gates itu.

Lundgren cukup terkenal di AS. Berkat sentuhan tangannya, beberapa komponen dalam sampah atau limbah elektronik bisa kembali digunakan lewat proses daur ulang. IT Asset Partners, perusahaan yang didirikan Lundgren menyediakan fasilitas daur ulang elektronik hibrida pertama di negerinya.

Dilansir dari Los Angeles Times, IT Asset Partners memproses lebih dari 41 juta pon sampah elektronik per tahun dan dinilai turut memangkas aliran bahan kimia berbahaya dari sampah elektronik. Banyak klien IT Asset Partners adalah perusahaan elektronik, di antaranya IBM, Motorola, dan operator selular Sprint. Lundgren juga pernah memproduksi mobil listrik hasil daur ulang elektronik yang hasil tesnya mengungguli mobil listrik pabrikan Tesla.

Namun, di tengah bisnis daur ulang limbah itu, Lundgren terbelit masalah. Dilansir dari Engadget, pada 2011 silam, ia mengimpor 28.000 keping CD dari Cina berisi program pemulihan (recovery) sistem operasi Windows. CD tersebut rencananya dijual ke toko-toko reparasi komputer seharga 25 sen per keping. Tujuannya agar pembeli komputer bekas maupun baru tak perlu repot membikin keping CD pemulihan Windows ketika sistem operasi komputernya bermasalah.

Mulanya pihak Bea Cukai AS menyita ribuan keping CD tersebut. Kemudian Microsoft, selaku pengembang dan pemilik lisensi Windows, memperpanjang perkara hingga ke meja hijau. Microsoft awalnya mengklaim kerugian sebesar 8,3 juta dolar, lalu meralatnya menjadi 700.000 dolar, berdasarkan harga lisensi Windows terbaru.

Setelah sengketa berlangsung selama bertahun-tahun, putusan pengadilan pun akhirnya dibacakan pada 11 April 2018 lalu. Lundgren divonis 15 bulan penjara dan dikenai denda sebesar 50.000 dolar.

Uniknya, Lundgren tak sedang menjual lisensi, apalagi program penginstal Windows. CD pemulihan tersebut juga hanya bisa dipakai di perangkat lawas yang menggunakan lisensi Windows asli. Yang jelas, berkas dalam CD itu pun bisa diunduh secara gratis di internet.

Tapi Microsoft terus bersikukuh membela diri. Seraya mengklaim sudah berpartisipasi melaksanakan program daur ulang sampah elektronik, Microsoft menuding bisnis Lundgren sekadar mengais rongsokan untuk diakali, dipalsukan, dan dijual kembali sehingga berpotensi disusupi malware. Sebagaimana dilansir The Washington Post, selain dinilai sebagai kejahatan siber, aktivitas Lundgren juga dikecam bakal merugikan pasar daur ulang produk elektronik.

"Saya akan dipenjara dan saya menerimanya," kata Lundgren beberapa hari setelah pembacaan putusan Pengadilan Federal. "Semoga kisah saya dapat mengekspos wabah sampah elektronik di AS (dan) betapa borosnya kita," ujarnya.

Melarang Servis Non-Resmi

Dukungan untuk Lundgren mengalir deras dari para konsumen elektronik, termasuk pengguna perangkat Microsoft. Lembaga advokasi hak konsumen U.S Pirg yang berbasis di AS dan Kanada, menggalang aksi di kantor Microsoft dengan menyerahkan 11.000 tanda tangan petisi yang menyerukan akuntabilitas terkait masalah pembuangan limbah elektronik.

Bersama iFixit, perusahaan servis mandiri dan penyedia panduan reparasi online, U.S. Pirg juga mengecam sikap Microsoft terhadap Lundgren. Dalam aksi yang dilakukan pada 14 Juni lalu, Lundgren ikut hadir dan berorasi. Mereka memperjuangkan hak konsumen untuk mereparasi perangkat elektronik yang sudah mereka beli.

Pasalnya, semakin ke sini, produsen barang elektronik menghalangi konsumen untuk mereparasi gawai milik mereka sendiri. Perusahaan bisa seenaknya membatalkan garansi jika konsumen membuka segel pada barang yang dibeli. Di sisi lain, barangnya sendiri sudah didesain agar sulit diperbaiki karena, misalnya, baterai yang dipasang melekat pada rangka laptop.

Walhasil, Anda tak punya pilihan kecuali mengirimkan Microsoft Surface atau Macbook Anda yang rusak ke servis resmi Microsoft atau Apple. Di luar itu ilegal. Padahal, tak sedikit kios-kios kecil yang menyediakan layanan servis mandiri.

Nathan Proctor, Direktur U.S Pirg untuk urusan kampanye atas hak reparasi perangkat elektronik, mengatakan bahwa selain menghemat anggaran konsumen, memperpanjang umur peralatan elektronik dengan reparasi berperan besar dalam mengurangi tumpukan limbah elektronik.

"Sampah elektronik adalah problem yang terus berlangsung. Sejauh ini, solusi terbaik yang kami miliki adalah memperbaiki dan menggunakan (perangkat elektronik) kembali," ujar Proctor.

Limbah elektronik memang jadi masalah besar di AS. Data yang dihimpun Stream Recycling menyebutkan bahwa AS menghasilkan sekitar 11,7 juta ton limbah elektronik pada 2014. Diperkirakan jumlahnya membengkak sebesar 49,8 juta ton pada akhir 2018. Dari gunungan sampah itu, hanya 15 sampai 20 persen yang didaur ulang. Padahal sampah elektronik mengandung 70 persen limbah beracun dan punya efek paling buruk bagi lingkungan. UNESCO menyebutkan, daur ulang limbah elektronik mampu mengurangi emisi metana dan karbon sehingga turut menahan laju pemanasan global.

Baru-baru ini Microsoft, Apple, dan sejumlah perusahaan besar teknologi lainnya menentang RUU Hak atas Reparasi yang akan diberlakukan di negara bagian California. RUU itu mengatur agar produsen barang elektronik menyediakan informasi kepada publik soal reparasi produk yang mereka hasilkan serta menjual suku cadang ke konsumen dan pihak ketiga, yakni tempat-tempat servis mandiri yang bukan bagian dari perusahaan. Awal Maret lalu, The Verge menyebutkan bahwa RUU tersebut hampir pasti bakal mendapat penolakan besar-besaran dari perusahaan yang mampu melobi pemerintahan federal untuk mempengaruhi isi undang-undang.

Tak hanya Microsoft, Apple pun pernah semena-mena menuntut toko reparasi Iphone di Norwegia milik Henrik Huseby. Apple mempermasalahkan penggantian komponen layar Iphone yang suku cadangnya diimpor Huseby dari pihak ketiga. Ketika Apple membawa kasus ini ke meja hijau, Huseby memutuskan untuk melawan balik dan akhirnya memenangkan perkara pada April lalu.

Untungnya Huseby tinggal di Norwegia, bukan di AS di mana Apple bekerjasama dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk merazia kios-kios reparasi yang tak berafiliasi dengan perusahaan asal Cupertino itu dan menyita barang-barang yang dianggap palsu.

Tak seperti di AS, kios reparasi ponsel, laptop, sampai barang elektronik lainnya telah lama menjamur di Indonesia. Tirto menghubungi beberapa perwakilan vendor ponsel dan elektronik untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka mengenai keberadaan jasa reparasi ponsel non-resmi.

Beberapa yang merespons seperti Oppo dan Asus menyarankan para konsumen agar memperbaiki ponsel atau perangkat gadget lainnya di pusat servis resmi alih-alih non-resmi. Kendati tak memaksa konsumen, ada beberapa keberatan yang disampaikan, mulai dari klaim bahwa kualitas reparasi di kios servis non-resmi buruk hingga anggapan bahwa servis non-resmi sering menggunakan suku cadang yang tidak asli.

"Selalu kita komunikasikan kok, kalo service di resmi itu yang diganti spare parts sedangkan di service non resmi pasti hanya komponennya saja" ujar Aryo Meidianto, PR Manajer Oppo.

Seriuskah Bill Gates Urus Lingkungan?

Bill Gates, yang mendirikan Microsoft pada 1975, lahir dari keluarga berada. Ayahnya seorang pengacara terkemuka, sementara ibunya bekerja sebagai direktur di perusahaan keuangan terkemuka. Kakek dari ibu Gates adalah seorang direktur utama sebuah bank.

Pada 1976, saat Microsoft baru setahun berdiri, Gates yang ketika itu baru berusia 21 tahun menulis surat berjudul "Open Letter to Hobbyists". Dalam surat itu, ia mengeluhkan orang-orang yang menggandakan bahasa pemrograman BASIC yang ia kembangkan dan dipakai oleh perangkat komputer MITS Altair 8800. Dilansir dari Vice, meski MITS berhasil menjual ribuan Altair per bulan, hanya beberapa ratus salinan perangkat lunak saja yang terjual.

Infografik Denda uang daur ulang

Namun setelah Microsoft menjadi perusahaan bernilai miliaran dolar, tampaknya Gates masih tidak ingin membagikan perangkat lunak miliknya secara cuma-cuma. Lundgren boleh dibilang adalah korban teranyar falsafah bisnis Gates. Program pemulihan Windows yang bisa diunduh gratis dan legal tiba-tiba dianggap tidak legal ketika Lundgren menggandakannya dalam kepingan CD.

Dalam wawancaranya dengan The Verge, Lundgren mengisahkan awal kariernya sebagai pendaur ulang sampah elektronik. Ia dibesarkan di Washington, di lingkungan yang mayoritas warganya berprofesi sebagai petani. Kiprahnya sebagai pemulung sampah elektronik bermula setelah ia pergi ke bank lokal untuk mencairkan cek senilai 84 dolar, namun gagal karena komputer bank sedang direparasi.

Suatu hari, Lundgren muda menemukan seonggok komputer berukuran besar yang hendak diberikan ke pendaur ulang. Lundgren yang berusia 16 tahun itu pun membawanya pulang. Sejak itulah ia menjadi tukang daur ulang komputer dan terus mengumpulkan barang-barang rongsokan elektronik.

Setelah belajar pengelolaan sampah elektronik hingga ke Cina, ia terus mengembangkan cara memanfaatkan komponen-komponen sampah elektronik yang masih bisa diperbaiki dan dipakai lagi.

Dan tibalah hari nahas itu. Sejumlah aparat federal bertopeng dan bersenjata lengkap menyerbu rumah Lundgren pada pukul lima pagi. Mereka menyita semua barang elektronik milik sang 'pemulung'.

Lazimnya orang berakal di dunia ini, Bill Gates percaya bahwa pemanasan global benar-benar terjadi. Dilaporkan dari USA Today akhir Januari 2017 lalu, Gates menyatakan bahwa inovasi dalam energi bersih dan terbarukan adalah hal yang sungguh-sungguh mendesak untuk mengatasi ancaman pemanasan global. Pada Desember 2016, ia dan sekelompok investor lainnya mengumumkan akan menyuntikkan satu miliar dolar untuk membiayai pengembangan energi terjangkau yang akan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Fakta bahwa beberapa hari lagi Lundgren masuk bui akibat tuntutan Microsoft memunculkan satu pertanyaan: Seriuskah Gates dengan aktivitas filantropinya yang diklaim anti-pemanasan global itu?

Baca juga artikel terkait SAMPAH ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Teknologi
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf