tirto.id - Akhir-akhir ini, kesadaran global tentang kelangkaan air makin meningkat. Banyak ahli memperingatkan bahwa air bersih akan menjadi sumber konflik baru di masa depan.
Analisis proyeksi menunjukkan, kebutuhan air secara global berpotensi meningkat antara 20 hingga 55 persen pada 2050. Namun, bukan cuma industri dan rumah tangga yang menyedot banyak air, tetapi juga sistem pangan.
Studi diWater Resources and Industry (2013) mencatat, 92 persen jejak air manusia di dunia berasal dari produksi pangan. Dari jumlah itu, hampir sepertiganya digunakan untuk menghasilkan produk hewani. Artinya, pilihan makanan kita sangat memengaruhi tekanan terhadap sumber daya air.
Penelitian yang terbit di jurnal Animal Frontiers (2021) menegaskan, setiap produk hewani memiliki jejak air lebih besar dibanding pangan nabati dengan nilai gizi setara. Untuk memperoleh energi atau protein dalam jumlah sama, daging dan susu memerlukan air berkali-kali lipat lebih banyak. Tak heran, produk hewani menyumbang lebih dari seperempat total jejak air manusia di dunia.
Dalam pembuatan makanan hewani, air digunakan di seluruh tahapan proses, mulai dari produksi hingga pengolahan dan distribusi.
Produk Hewani Si Boros Air
Seiring meningkatnya kesejahteraan, pola makan manusia ikut berubah. Ketika pendapatan naik, konsumsi produk hewani juga meningkat. Pergeseran ini terlihat jelas di banyak negara, terutama di tengah pertumbuhan ekonomi pesat.
Selama lebih dari lima dekade terakhir, dunia menyaksikan lonjakan besar dalam produksi daging. Data menunjukkan, dalam 55 tahun terakhir, produksi daging global melonjak hampir empat kali lipat, dari 84 juta ton pada 1965 menjadi 340 juta ton pada 2020. Kenaikan ini sejalan dengan tumbuhnya kelas menengah di berbagai negara berkembang sehingga mereka mulai mengadopsi pola makan ala Barat, dengan menu khas seperti steak dan olahan daging lainnya.

Menurut Our World in Data, rata-rata konsumsi daging dunia meningkat lebih dari 20 kilogram per orang per tahun sejak 1960-an. Hal ini sejalan dengan prediksi FAO yang memperkirakan konsumsi protein dari daging akan meningkat sekitar 14 persen pada 2030 dibandingkan rata-rata periode 2018–2020.
Kenaikan tersebut terutama dipicu oleh dua faktor utama, yaitu pertumbuhan pendapatan dan populasi global. Fenomena ini juga terjadi di negara-negara berkembang lain. Makin banyak masyarakat yang naik kelas ekonomi--tanpa diiringi oleh kesadaran akan isu lingkungan--makin tinggi pula permintaan terhadap daging dan produk turunannya.
Namun, pertumbuhan tersebut tidak datang tanpa konsekuensi. Setiap produk hewani yang kita konsumsi menyimpan jejak ekologis panjang. Salah satunya berupa jejak air atau water footprint. Istilah ini mengacu pada jumlah total air yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan atau barang, sebagaimana dibeberkan datanya di awal tulisan ini.
Menurut laporan berjudul “The green, blue and grey water footprint of farm animals and animal products” (2010), besar kecilnya jejak air produk hewani ditentukan oleh tiga faktor utama.
Pertama, efisiensi konversi pakan. Makin banyak pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram daging, makin besar pula kebutuhan airnya.
Kedua, komposisi pakan. Jenis pakan yang dikonsumsi hewan turut memengaruhi besar-kecilnya jejak air.
Ketiga, asal pakan. Perbedaan iklim dan praktik pertanian di berbagai wilayah membuat jejak air produk hewani berbeda-beda antarnegara. Dalam konteks kiwari, misalnya, masih banyak negara yang mengimpor pakan dari negara lain. Hal ini membuat jejak air tidak hanya besar, tetapi juga meluas dalam perdagangan pakan lintas negara.
Faktor-faktor itulah yang membuat kebutuhan air dalam proses pembuatan makanan hewani teramat besar. Kita bisa melihatnya dalam data rata-rata jejak air yang dihasilkan oleh beragam produk hewani.
Jejak air yang dihasilkan oleh pemrosesan daging ayam per ton mencapai 4.300 meter kubik. Daging kambing menyedot air hingga 5.500 meter kubik per tonnya. Daging babi membutuhkan air lebih tinggi, yakni 6.000 meter kubik. Sementara itu, pemrosesan daging domba per ton memerlukan pasokan air hingga 10.400 meter kubik. Namun, dari semua produk hewani, yang paling tinggi kebutuhan airnya ialah daging sapi, dengan kebutuhan mencapai 15.400 liter per kilogram atau sekitar 14.000 meter kubik per ton.
Seluruh angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk berbasis nabati. Sebagai misal, untuk menghasilkan satu kilogram gandum, kita hanya butuh sekitar 1.600 liter. Bahkan kentang jauh lebih sedikit kebutuhan airnya, yakni sekira 290 liter per kilogram.
Jika perhitungan antara dua produk makanan itu dikontraskan, perbedaannya amat mencolok. Jejak air per kalori daging sapi mencapai 20 kali lebih besar dibandingkan umbi-umbian. Sementara itu, jejak air per gram protein pada susu, telur, dan daging ayam, sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding kacang-kacangan. Padahal, dari segi efisiensi gizi, kacang-kacangan seperti kedelai mampu menyediakan protein tinggi dengan kebutuhan air jauh lebih sedikit.
Tidak hanya memiliki jejak air yang besar, produk hewani juga menjadi salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca global. Menurut studi yang diterbitkan di The Journal of Climate Change and Health (2023), produksi pangan dunia menyumbang sekitar 35 persen dari total emisi gas rumah kaca; penggunaan hewan sebagai sumber pangan dan pakan ternak berkontribusi besar dalam angka tersebut.
Menyelamatkan Bumi dengan Menjadi Vegan?
Krisis air itulah yang memantik ide mengenai pergeseran pola makan, dari konsumsi makanan hewani secara berlebihan menuju gaya hidup vegan. Hal itulah yang dianggap sebagai salah satu langkah kecil dan nyata untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan.
Menurut penelitian World Resources Institute (WRI), mengubah pola makan adalah salah satu cara paling efektif untuk menekan emisi gas rumah kaca. Dari berbagai perilaku kunci yang dapat membantu menahan laju pemanasan global, pola makan vegan menempati posisi kelima.
Beralih ke pola makan vegan dinilai tiga kali lebih berdampak bagi "keselamatan" iklim dibanding mengurangi sampah makanan. Dampaknya sembilan kali lebih besar jika dikontraskan dengan perilaku mengurangi konsumsi barang olahan atau kemasan, dan 30 kali lebih besar dibanding membuat kompos.

Meski begitu, beralih ke pola makan vegan tidak mudah bagi sebagian orang. Maka, sebuah studi berjudul “Low-meat diets reduce environmental harm” yang dilakukan oleh proyek LEAP di University of Oxford (2023) menawarkan alternatif.
Studi tersebut menganalisis pola makan lebih dari 55.000 orang di Inggris, dengan membandingkan kelompok yang mengonsumsi banyak daging (high-meat eaters) dan kelompok yang mengonsumsi sedikit daging (low-meat diets). Hasilnya menunjukkan bahwa diet rendah daging mampu mengurangi dampak lingkungan hingga sekitar 30 persen.
Penurunan ini terlihat konsisten pada berbagai indikator, mulai dari emisi gas rumah kaca hingga penggunaan lahan dan air. Dengan kata lain, bahkan pengurangan konsumsi daging oleh populasi dunia saja sudah membantu menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pangan global.
Namun, tentu saja perubahan pola konsumsi ini tak bisa dilakukan oleh perorangan. Hal itu karena produksi rumah tangga jelas jauh lebih kecil dibanding pemrosesan yang dilakukan oleh pabrikan besar. Oleh karena itu, korporasi gigantik punya andil tanggung jawab lebih besar.
Sebagai misal, JBS, salah satu produsen makanan berbasis hewani terbesar di dunia, menghabiskan hampir 46 juta meter kubik pada 2022. Angka itu terus meningkat per tahunnya, dan mencapai puncaknya nyaris 54 juta meter kubik pada 2024.
Masalah yang mereka timbulkan tak hanya di situ. Menurut laporan The Guardian, JBS diduga terus melakukan deforestasi Hutan Amazon sampai 2024, meskipun mereka telah berjanji akan melindungi hutan hujan tersebut.
Penulis: D'ajeng Rahma Kartika
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































