tirto.id - Audia Saraswati menanti hidangannya. Sembari menunggu, ia sibuk mengajak berbincang sembari sesekali mengecek gawai yang berada di tas kecilnya. Tak lama kemudian, makanan yang dipesan tiba.
Ia pesan dua menu: nasi biryani lengkap dengan lauk pendamping berbumbu kari serta satu pizza berukuran kecil. Jika diperhatikan, tak ada yang aneh dengan pesanan Audia. Namun, tunggu dulu sampai Anda melihat bahwa semua elemen yang ada di makanan itu berisikan sayuran; tak secuil daging pun yang tergeletak.
“Aku memutuskan jadi vegan kira-kira 6 bulan terakhir,” katanya kepada Tirto seraya membenarkan posisi hidangannya agar nyaman saat dilahap. Ia mengaku tak ada dorongan khusus saat beralih jadi vegan. Audia percaya, tubuh akan menjadi sehat apabila diasup dengan banyak sayuran.
“Semenjak jadi vegan, badanku semacam lebih fit dan enggak gampang lelah. Beda kaya waktu dulu saat pola dan menu makanku masih berantakan,” tambahnya.
Walaupun sudah menetapkan pilihannya untuk jadi vegan, Audia masih sesekali melahap daging. Meski, menurut penuturannya, dengan “porsi yang tak banyak seperti dulu.”
Saat saya bertanya apakah pola hidup vegan sedang booming di lingkungan pertemanannya, Audia tanpa pikir panjang segera membenarkannya.
“Iya, ini udah kaya semacam culture gitu, deh. Banyak temen-temenku yang jadi vegan. Mereka terinspirasi dari temen lainnya dan Instagram para influencer gitu,” terangnya.
Jadi Populer dan Digemari Anak Muda
Selain Audia, yang sedang kegandrungan pola hidup vegan adalah musisi Eva Celia. Di akun Instagram pribadinya, Eva kerap mengunggah foto menu vegan yang ia santap. Dalam postingan tertanggal 17 Desember 2017, misalnya, ia berkata bahwa merasa bersyukur telah menjadi bagian dari komunitas vegan. Menurut Eva, menjadi vegan berarti berkontribusi untuk penyelamatan lingkungan.
Jauh sebelum Eva, sosok terkenal lainnya yang memutuskan jadi vegan ialah Morrissey, solois cum dedengkot The Smiths. Morrissey, sebagaimana publik ketahui, merupakan vegan garis keras. Ia menolak makan daging karena percaya hal itu merupakan bentuk eksploitasi terhadap hewan.
Menurutnya, memakan daging adalah kejahatan yang tak bisa ditolerir. Untuk perkara ini, Morrissey bahkan menamai album kedua The Smiths dengan Meat is Murder.
Baru-baru ini, pembicaraan mengenai vegan kembali hangat. The Guardian dalam laporan panjangnya, “The Unstoppable Rise of Veganism: How a Fringe Movement Went Mainstream” menyebut veganisme dirayakan sebagai gaya hidup oleh masyarakat kebanyakan.
Dua tahun yang lalu, hasil jejak pendapat majalah Vegan Life dan Vegan Society seperti dilansir Munchies memperlihatkan bahwa sekitar 542 ribu orang di Inggris mengikuti veganisme, meningkat lebih dari 350% dalam satu dekade terakhir.
Hasil menarik lainnya ialah sekitar 42% dari keseluruhan vegan berusia 15 sampai 34 tahun, jauh lebih banyak dibanding usia 65 tahun ke atas yang punya angka 14% saja. Survei tersebut juga menunjukkan kebanyakan vegan tinggal di kota (88%), dengan 22% di antaranya bertempat tinggal di London.
Meningkatnya jumlah pengikut veganisme tak lepas dari adanya pemikiran produk daging olahan semacam bacon dan ham dapat menyebabkan kanker. Faktor media sosial dan kalangan selebritas yang turut menjalankan aktivitas ini juga mendorong naiknya populasi vegan.
“Melihat beberapa nama terkenal dalam gerakan vegan seperti Ellie Goulding, Novak Djokovic, dan David Hayes membuat vegan terlepas dari citra negatif di masa lalu,” kata Maria Chiorando, editor Vegan Life. “Saya pikir media sosial merupakan penggerak veganisme […] yang punya keterkaitan dengan anak-anak muda.”
Melonjaknya popularitas veganisme sendiri sebetulnya sudah diprediksi oleh perusahaan konsultan makanan serta restoran asal New York, Baum + Whiteman dalam laporannya, "Food & Beverage Forecast." Menurut laporan yang dikutip South China Morning Post itu, makanan nabati diperkirakan menjadi tren teratas pada 2018.
Faktor penyebab naiknya peminat vegan cukup banyak. Mulai dari media sosial, film, anggapan menjadi vegan adalah upaya menyelamatkan lingkungan, kesehatan, perlindungan hewan, hingga perubahan iklim.
Pengaruh media sosial dalam melipatgandakan peminat vegan bisa dilihat lewat sosok influencer asal Latvia yang tinggal di Inggris bernama Monami Frost. Dengan bermodalkan kamera dan gawai, Frost rutin mengunggah menu sampai kiat-kiat menjadi vegan yang baik agar hidup senantiasa sehat. Menurut Frost, makanan vegan telah menghasilkan “banyak perubahan positif” untuk dirinya.
“Aku selalu ingin menunjukkan bahwa aku sama seperti orang lain; ibu muda yang suka tato, cinta keluarga, gandrung gaya hidup vegan serta ingin berbagi video memasak ke semua orang,” ungkapnya kepada BBC.
Kanal YouTube Frost sendiri punya lebih dari 570 ribu pelanggan. Sementara akun Instagram-nya diikuti sekitar 1,4 juta orang. Salah satu videonya yang terkenal ialah ketika putrinya, Gabriela, memberitahu pada publik mengenai menu vegan apa yang ia makan dalam sehari. Video itu ditonton lebih dari 800 ribu orang.
Tak hanya lewat media sosial, ajakan untuk jadi vegan juga muncul lewat kampanye daring bernama Veganuary. Kampanye ini diciptakan oleh pasangan vegan, Jane Land dan Matthew Glover pada 2013. Dalam pelaksanaannya, Veganuary mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi daging selama satu bulan penuh.
Keberadaan Veganuary lantas direspons positif oleh masyarakat. Jumlah pendaftar di situs ini, pada 2017, tercatat menyentuh angka 59.500 dari yang semula hanya 3.300 pada 2014. Harapannya, pada 2018, angkanya menjadi 150 ribu orang.
Ramainya aktivisme vegan di dunia maya turut berdampak pada dunia nyata. Guardian melaporkan, di Blackpool ada acara bernama Green and Vegan Festival. Tak ketinggalan pula perhelatan besar dan tertua bertajuk VegfestUK yang kian ramai dikunjungi masyarakat.
Dari segi makanan, produk olahan vegan semakin mudah dijumpai di toko-toko dan restoran. Pada 2017, Pizza Express mengeluarkan varian pizza vegan berbalut mozzarella di menunya. Lalu, Ben and Jerry’s memperkenalkan es krim tanpa bahan susu. Kemudian di Los Angeles, ada Beyond Meat yang memproduksi burger vegan, Beyond Burger. Produsen makanan ini bahkan didanai oleh Bill Gates hingga Biz Stone dan Evan Williams (pendiri Twitter).
Gencarnya kampanye gerakan ini turut disumbangkan dengan keberadaan film mengenai vegan seperti Cowspiracy: The Sustainability Secret (2014), Forks over Knives (2011), hingga What the Health (2017).
Dari Inggris, boom vegan sampai ke Hong Kong dan Jakarta. Di Hong Kong, kuliner vegan dapat ditemukan lewat produk dim sum sampai pizza. Menurut Stevie Go, anggota dari Asosiasi Vegan Hong Kong, jumlah restoran vegan di kawasan ini mencapai hampir 30an.
Sedangkan di Jakarta, gebyar vegan salah satunya hadir lewat acara seperti Vegan Festival yang bertujuan memberikan edukasi tentang gaya hidup sehat dengan pola makan vegan. Produk vegan pun juga gampang ditemui di sejumlah tempat makanan vegan di seluruh Jakarta yang, menurut situs Restoran Vegan, jumlahnya hampir mencapai ratusan.
Sedangkan di Instagram, unggahan tentang vegan juga berseliweran di mana-mana. Anda tinggal mengetikkan tagar #VeganIndonesia dan muncullah 16 ribu postingan soal vegan.
“Kami melakukan jejak pendapat dengan bertanya kepada orang-orang tentang persepsi akan veganisme dan menemukan fakta bahwa mereka yang tidak vegan sebetulnya mengagumi para vegan,” ungkap Samantha Calvert dari Vegan Society. “Itu tidak akan terjadi 20 atau 30 tahun lalu ketika masyarakat menggambarkan vegan sebagai perilaku ekstrem dan tidak perlu.”
Secara umum, motif utama orang-orang menjadi vegan, seperti dicatat The Guardian, adalah adanya laporan PBB pada 2006 lalu berjudul “Livestock’s Long Shadow.” Dalam laporan itu disebutkan, sektor peternakan digambarkan sebagai salah satu penyebab degradasi lingkungan baik secara lokal maupun global.
Empat tahun kemudian, PBB kembali mengeluarkan laporan yang memperingatkan konsumsi daging dan susu diperkirakan mencapai angka 9,1 miliar pada 2050 mendatang.
Kedua Laporan tersebut membuat para vegan berpendapat pergeseran pola makan perlu diupayakan agar dapat “menyelamatkan dunia dari bencana iklim dan kekurangan pangan.”
Vegan Tidak Berarti Sehat
“Gue memutuskan berhenti jadi vegan karena gue sadar kalau hidup ingin hidup sehat enggak perlu se-menyiksa ini,” aku Rahmadita Kusuma Putri, perempuan 25 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai staf pemasaran di salah satu bank swasta di Jakarta Pusat.
Dita mengaku sudah setahun lebih jadi vegan. Awalnya ia merasa kondisi tubuhnya jadi bugar, tetapi berubah tatkala memasuki enam bulan berikutnya. Dita mulai sakit-sakitan.
“Selepas gue konsultasi ke dokter, katanya, banyak nutrisi yang hilang saat gue vegan. Dari situ, gue memutuskan untuk menghentikan vegan-vegan semacam ini,” paparnya kepada Tirto.
Harriet Hall dalam “Vegan Betrayal: The Myths vs, the Realities of a Plants-Only Diet” yang dipublikasikan Science Based Medicine dengan merujuk pada buku Mara Kahn, Vegan Betrayal: Love, Lies, and Hunger in a Plants-Only World (2016), mengungkapkan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gaya hidup vegan mengurangi banyak nutrisi, yodium, zat besi, vitamin A, D, B12, protein, hingga asam lemak omega.
Para penganut veganisme selalu berdalih mereka bisa mendapatkan nutrisi cukup dari pola makan vegan. Tapi, kenyataannya, banyak dari para vegan tidak mendapatkan hal itu.
“Begitu Anda menghentikan semua makanan dari hewan, banyak sekali nutrisi yang tiba-tiba hilang,” tulis Hall mengutip Kahn.
Hall menambahkan, alasan melindungi hak hewan yang acapkali digaungkan para vegan juga tak masuk akal sebab hewan pada akhirnya bakal mati saat para petani membasmi mereka agar tak merusak tumbuhan yang nantinya dimakan para vegan.
Sementara Robin White dan Mary Beth Hall lewat “Nutritional and Greenhouse Gas Impact of Removing Animals from US Agriculture” (2017) menegaskan bahwa perubahan pola makan dari konsumsi hewan ke tumbuhan merupakan ancaman bagi nutrisi masyarakat Amerika.
Tak sebatas itu saja, klaim para vegan yang dapat mengurangi potensi buruk dari perubahan iklim nyatanya tidak serta merta dapat dibenarkan. Penelitian White dan Hall memperlihatkan, perilaku vegan hanya menyumbang penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 2,6% di seluruh Amerika—jumlah yang sangat kecil.
Jesse Marczyk dalam “A Curious Case of Vegan Moral Hypocrisy” yang terbit di Psychology Today juga mengatakan para vegan terlalu naif dalam memaknai konteks “penderitaan.” Mereka, tulis Marczyk, seharusnya sadar bahwa ada banyak cara mencegah penderitaan—terutama yang menimpa hewan. Tidak memakan daging hewan bukan satu-satunya langkah mencegah penderitaan.
Pada akhirnya, tentu tak ada yang konyol dari menjadi vegan. Yang konyol adalah menyalahkan masyarakat pemakan daging sebagai “pembunuh” dan “tak punya hati nurani.”