Menuju konten utama

Mengenal Kuliner Ekstrem, Memahami Dunia yang Tak Homogen

Makanan populer di suatu kawasan bisa dianggap makanan ekstrem di belahan dunia lain. 

Mengenal Kuliner Ekstrem, Memahami Dunia yang Tak Homogen
Hidangan taco menggunakan ulat di Meksiko. REUTERS/Henry Romero

tirto.id - Saat Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat, Jim Mattis, datang ke Indonesia, ia disuguhkan beberapa aksi tentara Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan memakan ular kobra. Dalam video yang diunggah oleh Paul D. Shinkman, penulis ketahanan nasional, tampak beberapa orang tentara berpakaian hitam-hitam memutus kepala ular dengan gigi, sebelum meminum darahnya.

Shinkman berkata bahwa Mattis sangat terkesan oleh demonstrasi memakan ular itu. Mattis berkata bahwa kemampuan memakan ular itu menunjukkan betapa keras latihan yang dijalani oleh para tentara Indonesia," sehingga mereka mampu melakukan itu."

"Itu hal gila," kata Shinkman.

Beberapa komentar menunjukkan perasaan "geli" dan menyebut daging ular sebagai makanan ekstrem. Tapi kegelian dan keterkejutan itu bukan hal baru. Bahkan orang-orang yang berkecimpung di dunia kuliner sekalipun pasti pernah mengalami perasaan ngeri ketika harus berhadapan dengan makanan yang tak lazim disantap.

Jeff Corwin, misalkan. Ia adalah seorang antropolog sekaligus ahli biologi dan lama berkecimpung di dunia alam liar. Di dunia televisi, ia membawakan acara bertajuk Extreme Cuisine with Jeff Corwin. Suatu ketika, ia berkunjung ke Oaxaca, Meksiko. Di sana, ia diajak mencari larva dari pepohonan yang tumbang dan membusuk. Orang lokal menyebut larva itu sebagai chiricoco.

Dengan sedikit bergidik, Corwin memegang larva seukuran dua ruas jari orang dewasa itu. Larva berwarna cokelat-putih itu bergerak-gerak. "Dalam bayanganku, benda seperti ini munculnya dari perut alien," katanya.

"It's delicioso," kata si pemandu sembari tersenyum.

Jagat kuliner mengenal kata ekstrem, ditujukan untuk makanan yang dianggap tak lazim bagi kebanyakan orang. Tentu saja yang patut digarisbawahi adalah: lazim atau tak lazim hanya sekadar kebiasaan.

Juru masak terkenal, Anthony Bourdain membuat perumpamaan apik soal kebiasaan ini. Orang Indiana, Amerika Serikat, mungkin akan mengernyitkan dahi mengetahui ada makanan dari sarang burung walet atau kelelawar. Sebaliknya, makanan berbahan keju dari Kraft mungkin akan tampak aneh bagi orang Asia, terutama di pedalaman.

Contoh lain adalah kelelawar. Di dunia Barat, kelelawar tampak bukan sebagai bahan baku menarik. Bahkan mengerikan. Namun, di Asia dan kawasan Pasifik, kelelawar adalah bahan yang bisa diolah jadi makanan lezat. Tak usah jauh-jauh, di Manado ada paniki yang bisa dibilang menjadi makanan khas.

Di Yogyakarta, saya pernah memesan kelelawar goreng di sebuah rumah makan lesehan, tak jauh dari Malioboro. Ketika makanan datang, kelelawar datang dalam bentuk yang sama seperti sebelum digoreng. Lengkap dengan sayap dan mulut terbuka yang menunjukkan gigi taring.

Suatu hari di tahun 1993, penulis Jerry Hopkins mengunjungi Saigon—sekarang menjadi Ho Chi Minh City. Saat akan bersantap di restoran bernama Tri Ky, ia akan mencoba ular kobra. Namun sang pelayan menganjurkannya untuk menyantap kelelawar. Ia agak kaget.

"Kelelawar buah, rasanya sangat enak. Juga sup kelelawar," kata sang pelayan.

Dalam The Oxford Companion to Food, daging kelelawar mendapat pujian, disebut sebagai daging yang rasanya mirip dengan ayam. Kelelawar buah juga layak menjadi makanan sehat karena ia hanya makan buah-buahan.

Hopkins menuliskan pengalamannya itu dalam buku Extreme Cuisine: The Weird & Wonderful Foods That People Eats (2004). Pelayan datang dengan membawa kelelawar yang masih hidup, lalu lehernya digorok dengan pisau kecil, darahnya kemudian diletakkan di gelas kecil untuk diminum.

Buku Extreme Cuisine bisa dibilang merupakan panduan lengkap berisi makanan-makanan yang kerap dianggap ekstrem. Hopkins membagi buku dalam enam bagian. Pertama adalah mamalia. Isinya adalah kuliner daging anjing, kucing, kuda, bison, tikus, hamster, kanguru, hingga daging manusia. Bahkan hingga 2002, tulis Hopkins, sebuah restoran di Ekuador memakai tulang manusia untuk bahan kaldu dan sup.

Bagian kedua adalah reptil dan makhluk air. Di kategori ini, ada ular, kadal, buaya, katak, keong, hingga ikan fugu alias ikan buntal. Dunia kuliner sudah lama tahu bahwa ikan buntal beracun. Di Jepang, negara yang dikenal punya beberapa varian makanan dari ikan fugu, sistem yang dipakai amat ketat. Hanya para juru masak dengan izin yang boleh mengolah ikan ini.

Bagian selanjutnya adalah burung-burungan—tentu saja Hopkins merasa perlu memasukkan balut, telur yang sudah menjadi embrio. Lalu ada bagian serangga, laba-laba, dan kalajengking. Bagian ini juga mengisahkan tentang belalang.

Dalam penelusuran Hopkins, belalang sudah ribuan tahun lalu. Ia merujuk pada ayat Leviticus pada Perjanjian Lama, yang dibuat sekitar 400 SM. Di Indonesia, salah satu pusat boga berbahan belalang bisa ditemui di Gunungkidul, Yogyakarta. Belalang digoreng hingga kering, dan tampak tak jauh berbeda dengan udang. Jika pergi ke Gunungkidul, ada banyak penjual yang menjajakan makanan ini di pinggir jalan.

Bagian berikut dari buku Hopkins adalah tanaman. Ini termasuk durian. Sekali lagi, perkara kebiasaan ikut ambil bagian di sini. Di Asia Tenggara, durian amat populer. Namun, bagi banyak orang Barat, durian dianggap sebagai makanan ekstrem karena baunya yang tajam.

Bab terakhir di buku Hopkins adalah makanan sisa, alias leftover. Tapi ia juga memasukkan bahan-bahan yang sebelumnya tak pernah dianggap sebagai makanan, seperti emas dan perak. Saat ini, banyak restoran mewah yang menyajikan makanan dengan serpihan emas.

Infografik makanan ekstrem

Makanan ekstrem memang menarik untuk dibahas. Hopkins menyebut bahwa banyak manusia mengidap neofobia, sebuah istilah untuk menyebut ketakutan terhadap semua hal yang baru. Dalam lingkup makanan, istilah itu dipakai untuk bayi atau anak-anak yang ketakutan terhadap makanan yang tidak pernah ia cicipi atau ketahui.

Sebaliknya, ada pula yang disebut neofilia. Dalam buku The Rituals of Dinner: The Origins, Evolution, Eccentricities, and Meaning of Table Manners (1991), neofilia diartikan sebagai kecenderungan untuk menyukai sesuatu yang baru. Dalam konteks petualangan kuliner, Orang-orang neofilia akan tertantang untuk mencoba resep baru, jenis makanan baru, atau bahan makanan yang sebelumnya tak pernah dicoba.

Manusia kerap berada di tengah-tengah antara neofobia dan neofilia. Beberapa penyebabnya tentu adalah perkara bias, kebiasaan, serta kultur yang berbeda. Maka apa yang dianggap makanan ekstrem bagi orang Eropa dan Amerika, bisa jadi itu makanan biasa bagi orang di Asia atau Afrika. Begitu pula sebaliknya. Ada semacam ketakutan untuk mencoba hal-hal baru yang asing, termasuk makanan.

Seiring waktu dan semakin kencangnya pertukaran budaya, apa yang dulu disebut ekstrem, perlahan-lahan mulai mencair, walau tak sepenuhnya demikian. Beberapa orang masih tetap menganggap balut, daging buaya, atau darah sebagai makanan ekstrem.

Namun, di sisi lain, sashimi yang dulu dianggap sebagai makanan ekstrem oleh orang-orang Amerika atau Indonesia, sekarang menjadi salah satu makanan populer seiring banyaknya restoran Jepang yang hadir di sana. Keju, yang dulu tampak asing dan jauh, sekarang menjadi makanan favorit banyak orang Indonesia.

Maka mungkin betul apa yang dikatakan oleh Anthony Bourdain. Menurut pencetus acara perjalanan dan petualangan makanan Anthony Bourdain: Parts Unknown ini, manusia bisa belajar memapras kecurigaan dan bias antar-budaya melalui perjalanan dan petualangan mencoba makanan baru. Dari sana, manusia belajar bahwa dunia jelas tidak homogen, melainkan terbentuk dari kultur yang berbeda dan penuh warna.

"Maka, makanlah tanpa ketakutan atau prasangka. Pahamilah bahwa ada jutaan orang yang menyantap makanan 'ekstrem' ini selama ratusan tahun tanpa menjadi sakit."

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani