Menuju konten utama

Makanan Jepang Menyerbu Indonesia

Kita punya sejarah panjang dengan Jepang. Setelah manga dan anime, kini negara kita semakin dibanjiri makanan Jepang.

Makanan Jepang Menyerbu Indonesia
Ilustrasi makanan Jepang (Ist)

tirto.id - Makanan Jepang punya dua wajah yang amat berbeda. Ia bisa amat sederhana, namun di saat yang bersamaan ultra ribet. Makanan Jepang bisa amat santai secara bahan, namun bisa memberikan gambaran betapa teguhnya orang Jepang dalam mempelajari satu hal. Makanan Jepang bisa dibuat oleh siapapun, namun di saat bersamaan ada makanan yang rumit luar biasa dan membutuhkan ketelatenan tingkat dewa untuk membuatnya. Dengan kata lain, makanan Jepang, menyitir istilah Shizuo Tsuji, adalah a simple art. Seni tapi sederhana. Sederhana tapi nyeni.

Kita bisa melihatnya di film dokumenter apik Jiro Dreams of Sushi. Salah satu murid Jiro, Daisuke Nakazawa, harus mencoba hingga 200 kali untuk membuat sushi telur dadar! Bayangkan, di banyak tempat, telur dadar hanyalah satu dari banyak varian masakan telur. Namun di tangan orang Jepang, telur yang amat sederhana itu jadi masakan yang menguarkan satu hal: kesempurnaan.

"Waktu Jiro bilang telurku sudah layak disajikan, aku menangis saking senangnya," kata Daisuke.

Bagi Jiro, sang senpai, kesempurnaan itu bisa dipelajari. Salah satu cara belajar paling menyenangkan sekaligus membuatmu belajar sabar adalah dengan tidak mengeluh. Kamu harus jatuh cinta dengan pekerjaanmu.

"Kamu harus mendedikasikan hidupmu untuk menguasai skill-mu. Itu adalah kunci sukses, dan kunci untuk dihormati," ujar Jiro.

Namun di sisi lain, coba tonton duologi Little Forest. Film ini berkisah tentang kehidupan gadis bernama Ichiko yang tinggal di Komori, sebuah desa yang terletak di bawah kaki gunung di kawasan Tohoku.

Film ini menarik karena beberapa hal. Pertama karena menghadirkan pemandangan desa Komori yang indah. Kedua, karena menghadirkan masakan yang diambil dari bahan lokal. Dalam tiap musim, Ichiko memasak beberapa masakan yang kerap disesuaikan dengan musim. Misalkan ketika musim salju datang, Ichiko membuat sup kacang merah yang dipadukan dengan mochi dan natto (fermentasi kacang kedelai). Atau ketika musim semi hangat datang berkunjung, dia membuat bakke miso, makanan klasik Jepang berbahan bunga fukinotou yang selalu tumbuh ketika musim semi.

Dari film itu, kita bisa menengok bahwa masakan Jepang pada dasarnya amat sederhana. Ia tak butuh proses panjang berjam-jam. Tak butuh pula berpuluh jenis bumbu. Dan jelas tak memerlukan penataan yang dipoles berlebihan. Sama seperti negara lain yang punya dasar agrikultural kuat, masakan Jepang jelas lebih mengandalkan kesegaran bahan (walau tetap ada makanan yang diawetkan), dan juga keseimbangan komponen makanan.

Hebatnya, makanan sederhana ala Jepang ini bisa begitu mendunia. Pada 2013, JETRO, organisasi terkait pemerintah Jepang yang mengurusi perdagangan dan investasi, merilis survei terhadap konsumen makanan di luar Jepang. Salah satu pertanyaan survei adalah, "Apa makanan luar negeri favoritmu saat sedang bersantap di restoran?" Sekitar 83 persen menjawab makanan Jepang, di samping beberapa jawaban lain.

Ketika ditanya alasan kenapa mereka memilih makanan Jepang, alasan terbanyak (88 persen) menjawab karena rasa yang enak. Alasan kedua terbanyak (53 persen) adalah karena makanan Jepang sehat.

"Makanan Jepang memang punya keseimbangan nutrisi. Satu set makanan tradisional Jepang terdiri dari nasi, sup, lauk utama, dan dua lauk pendamping," tulis JETRO dalam laporan berjudul Serving Japanese Food to the World.

Selain soal keseimbangan nutrisi, makanan tradisional Jepang jadi sehat karena makanan seperti nasi atau gandum atau sup tak perlu digoreng. Beberapa jenis makanan malah dimakan mentah dan segar, misalkan sashimi. Pada 1920, jurnalis Inggris J.W Robertson Scott menyebut bahwa 90 persen masyarakat Jepang adalah vegetarian. Alasan utamanya karena kemiskinan.

Makanan Jepang berkembang dan berevolusi berkali-kali, menghadapi berbagai perubahan besar. Dari revolusi Meiji hingga revolusi industri. Hal ini membuat masakan Jepang menjelma jadi berbagai bentuk. Ada yang kuat berakar pada konsep tradisional, ada pula yang mengadopsi pendekatan kontemporer.

Dengan kreativitas ala Jepang dan akar yang kuat, tak heran kalau sejak 2011 Jepang dinobatkan sebagai negara yang punya paling banyak restoran berbintang Michelin, menggeser Perancis.

Infografik Makanan Jepang Menyerbu Indonesia

Makanan Jepang di Indonesia

Pada minggu kedua November 2016, tampak antrean panjang di mal Gandaria City. Mereka adalah pembeli Pablo, gerai kue keju asal Jepang. Ini adalah gerai pertama Pablo di Indonesia. Pendiri Pablo, Masamitsu Sakimoto, pertama kali membuka gerainya di Osaka pada 2011.

Harga Pablo tak bisa dibilang murah. Untuk satu cheese tart rasa orisinal harganya Rp169 ribu. Yang rasa matcha dan cokelat dibanderol Rp189 ribu. Selain itu ada juga yang ukuran mini, harganya Rp35 ribu.

Berselang beberapa bulan setelah Pablo membuka gerai, giliran Uncle Tetsu yang hadir di Indonesia. Pendirinya, Tetsushi Mizokami, membuat merek Uncle Tetsu sejak 3 dekade lalu. Toko kuenya berkembang pesat, kini hadir di 11 negara. Di Indonesia, gerai pertama Uncle Tetsu berada di Mall Central Park, Jakarta Barat.

Pablo dan Uncle Tetsu adalah dua contoh termutakhir makanan Jepang yang masuk ke Indonesia. Negara ini punya hubungan panjang dengan makanan Jepang.

Sebenarnya sedikit susah melacak kapan makanan Jepang masuk ke Indonesia. Jika merujuk titimangsa berdiri, restoran Kikugawa adalah yang pertama kali hadir. Ia berdiri di Jakarta sejak 1969. Pendirinya Kikuchi Surutake begitu mencintai Indonesia. Sejak pertama kali berdiri, Kikugawa tetap berada di kawasan Cikini, Jakarta Selatan. Ia juga masih tetap mempertahankan kuliner tradisional Jepang, menyajikan makanan identitas Jepang seperti sushi, kari, sukiyaki, hingga sashimi.

Kikugawa tercatat sebagai generasi pertama penyedia makanan Jepang di Indonesia. Generasi kedua berada di era 1970 hingga 1980-an. Salah satu nama yang bisa disebut adalah Furusato yang muncul bersamaan dengan diresmikannya hotel Sari Pan Pacific di Jakarta pada 1976. Pada 1987, Furusato berganti nama menjadi Keyaki.

Pada 1985, muncul Hoka Hoka Bento yang semakin mempopulerkan masakan Jepang ke khalayak. Konsep Hokben adalah restoran cepat saji. Menunya disesuaikan dengan lidah Indonesia. Karena itu kita bisa menemukan makanan berbumbu kuat seperti sapi lada hitam, atau ayam berbumbu pedas. Hokben juga menjadi restoran cepat saji ala Jepang pertama di Indonesia. Sekarang, Hokben punya sekitar 350 gerai di Indonesia.

Generasi ketiga makanan Jepang di Indonesia muncul di akhir dekade 1980 dan awal 90-an. Little Tokyo di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, menjadi salah satu pusat berkumpulnya orang Jepang dan penggemar budaya Jepang. Di sana, restoran Ajihara muncul pada 1990. Di saat bersamaan, muncul restoran Tenpura Hana di Yogyakarta.

Setelah itu terjadi ledakan masaan Jepang. Masa ini menandai gelombang keempat masakan Jepang di Indonesia, yang bisa ditandai pasca 2000. Pepper Lunch termasuk salah satu restoran waralaba Jepang pertama yang muncul di Jakarta pada 2006. Lalu diikuti Yoshinoya, restoran cepat saji, yang hadir pada 2010.

Sejak itu, kita mulai kesusahan menghitung restoran dan gerai makanan Jepang. Mereka tak hanya muncul di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Tapi juga muncul di kota menengah seperti Malang, Jember, Purwokerto, Medan, hingga Jambi. Masakan Jepang pun tak hanya muncul di mall. Kita semakin mudah menemukan makanan seperti takoyaki atau okonomiyaki dijajakan di pinggir jalan dengan konsep kaki lima. Nyaris semua makanan Jepang populer bisa ditemukan di sini. Sushi, ramen, udon, sashimi, yakitori, hingga dorayaki.

Kenapa makanan Jepang bisa makin populer di Indonesia? Bisa jadi karena sejak lama kita punya hubungan benci-cinta dengan negara ini. Jepang saudara tua Indonesia, yang pernah menjajah dengan amat kejam, namun sekaligus memberikan banyak keriangan beraneka rupa. Mulai manga, film, makanan, hingga Julia Kyoka. Karena hubungan ini sudah berjalan puluhan tahun, kita tak perlu waktu adaptasi yang lama. Apalagi makanan Jepang beradaptasi dengan lidah Indonesia, salah satu cirinya dengan menyediakan saus sambal, atau memakai bumbu dengan lebih berani. Makanan Jepang juga jadi populer seiring meningkatnya kelas menengah di Indonesia, yang tentu saja penasaran dan keranjingan aneka produk luar negeri.

Dengan munculnya berbagai produk makanan Jepang terbaru seperti Pablo atau Uncle Tetsu, kita tahu bahwa makanan Jepang belum akan berhenti menyerbu Indonesia.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti