tirto.id - Tak ada yang abadi selain perubahan. Termasuk perubahan selera makan.
Pergeseran selera makan, makanan pokok, apa yang dikonsumsi, adalah hal yang lumrah. Dunia mengalami itu semua. Cina, misalkan. Semua tahu kalau negara Tirai Bambu ini adalah salah satu dari raksasa boga dunia. Saat dunia Barat baru sekadar membakar daging, para juru masak jempolan Cina sudah menciptakan masakan dengan teknik rumit semisal la mian (mi tarik), hingga fat tiu cheung, sebuah masakan luhur yang terdiri dari tiga puluh bahan.
Dengan sejarah panjang yang cemerlang soal boga itu, tak ada yang menyangka kalau makanan cepat saji bisa diterima dengan cepat dan baik di sana. Merupakan hal yang wajar kalau rakyat dari negara yang punya sejarah kuliner panjang biasanya agak pongah dan bangga dengan makanan mereka. Dan mereka akan meledek makanan dari daerah lain yang dianggap lebih inferior. Termasuk makanan cepat saji. Secara teknik maupun bahan, sama sekali tak ada yang istimewa dari makanan itu. Bahkan di Amerika Serikat, tanah kelahirannya, makanan cepat saji diberi label yang merendahkan: junk food, alias makanan sampah.
Tapi ternyata di Cina, makanan ini dirayakan. Anak-anak mudanya makan burger sembari nongkrong. Tak heran kalau menurut riset United States Department of Agriculture (USDA), pertumbuhan penjualan makanan cepat saji di Cina berlipat enam kali antara 1999 hingga 2005. Dari $16 miliar pada 1999 menjadi $91 miliar pada 2005.
Perubahan itu tidak hanya terjadi pada Cina. Di Amerika juga demikian. Globalisasi telah membuat banyak kultur bisa masuk ke suatu negara, termasuk makanan. Imigran Cina diperkirakan mulai membanjiri AS pada 1800-an. Saat itu ada momen yang disebut Gold Rush, yakni pencarian emas besar-besaran. Para pekerja Cina datang, baik untuk jadi penambang, pedagang, atau petani. Tapi kemudian pada 1882, ada Undang-Undang bernama Chinese Exclusion Act, isinya adalah melarang pekerja Cina memasuki Amerika Serikat. Peraturan itu digugurkan baru pada 1943.
Sejak saat itu, para imigran Cina kembali masuk AS. Tentu saja mereka juga membuat restoran. Masakan mereka memang disukai secara global. Tak terhitung banyak film yang menampilkan makanan Cina yang dimakan para Westerners selagi bekerja atau menonton televisi. Makanan Cina disukai karena rasanya yang kaya, tapi harganya murah.
Bahkan menurut sejarawan boga Emelyn Rude, orang AS baru benar-benar merasakan masakan Cina otentik pada 1960-an. Sebelumnya yang dikenal hanya makanan Cina dari area Kanton, satu dari delapan area besar masakan Cina. Baru pada 1960-an, mereka bisa merasakan makanan dari area Cina lain, seperti Sichuan, Hunan, Shanghai, ataupun Taipei.
Tentu untuk "menjajah" negara melalui lidah, diperlukan adaptasi. Baik dari rasa, teknik masak, hingga penambahan atau pengurangan bahan. Di AS, masakan Cina menjadi lebih manis alih-alih asin dan gurih. Mereka juga lebih banyak menyajikan daging tanpa tulang. Masakan pun lebih banyak yang digoreng dengan banyak minyak (deep-fried), alih-alih ditumis. Beberapa jenis sayur yang sebelumnya tak pernah dipakai di Cina, semisal brokoli, turut pula dimasukkan karena ini salah satu sayur kegemaran warga AS.
Berkat adaptasi rasa ini, makanan Cina berhasil menjajah AS. Sekarang, menurut Asosiasi Restoran Cina di Amerika, ada sekitar 45.000 restoran Cina di negara Paman Sam itu. Jumlah itu mengalahkan gabungan gerai McD, KFC, Pizza Hut, Taco Bells, dan Wendy di AS.
Dan di AS sekarang, tak hanya masakan Cina yang berjaya. Tapi juga masakan Meksiko, Italia, Yunani, Thailand, Vietnam, hingga India. Perusahaan riset makanan Technomic pernah mengeluarkan hasil survei yang mengatakan bahwa ada 34 persen orang AS yang lebih tertarik terhadap kuliner asing dibandingkan tahun lalu. Bisa ditebak bahwa kebanyakan petualang rasa itu berasal dari generasi milenial berumur 25 hingga 34 tahun.
Pergeseran Pola Makan di Indonesia
Kita semua tahu bahwa orang Indonesia adalah salah satu pemakan nasi terbanyak di dunia. Menurut data Statista, konsumsi nasi di Indonesia mencapai 38 juta metrik ton pada 2015. Masih kalah jika dibandingkan dengan Cina yang mencapai 146 juta metrik ton, dan India dengan 98 juta metrik ton.
Tapi ternyata di kawasan Asia, konsumsi nasi mulai berkurang. Hal ini sudah disampaikan oleh tiga orang peneliti dari Universitas Tottori, yakni Alias Bin Abdullah, Shoichi Ito, dan Kelali Adhana. Riset mereka yang dirilis pada 2004 itu berjudul "Estimate of Rice Consumption in Asian Countries and the World Towards 2050." Di riset itu, ada beberapa temuan menarik.
Di kawasan Asia, produksi dan ekspor beras makin meningkat. Namun, konsumsi dalam negeri menurun. Ada beberapa penjelasan soal ini. Antara lain adalah meningkatnya konsumsi nasi di beberapa negara yang sebelumnya tidak mengonsumsi nasi. Penjelasan lain adalah meningkatnya jumlah kelas menengah atas di beberapa negara maju, seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Mereka kemudian mengonsumsi makanan lain selain nasi, bisa roti, atau buah-buahan dan sayuran.
"Seiring meningkatnya pendapatan warga di sebuah negara, konsumsi nasi per kapita diprediksi turun karena ada penggantian nasi dengan makanan lain yang berkualitas tinggi dan mengandung lebih banyak protein dan vitamin," tulis mereka.
"Misalkan sayuran, roti, ikan, dan daging. Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan sudah menjalani pergeseran konsumsi ini, dan sisa negara Asia lain akan menjalani pergeseran ini sesuai pertumbuhan ekonomi."
Dari 20 negara di Asia yang disurvei di periode berbeda, hanya 6 negara yang tidak berkurang konsumsi berasnya. Yakni Vietnam, Nepal, Filipina, Afghanistan, Brunei, dan Korea Utara. Penuruan konsumsi yang paling besar memang terjadi di negara Asia maju, seperti Jepang (dari periode 2000 hingga 2003 -1,38 persen), Korea Selatan (periode 2001-2003 -1,69 persen), dan Singapura (periode 2001-2003 -1,09 persen).
Di Indonesia, konsumsi beras juga menurun 0,2 persen. Apakah ini artinya ada pergeseran konsumsi di Indonesia? Bisa jadi. Apalagi ini nyaris senapas dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Menurut BPS, konsumsi beras lokal di Indonesia menurun. Pada 2007, konsumsi per kapita per minggu adalah 1,7 kilogram. Pada 2014, menurun jadi 1,62 kilogram atau 4,7 persen. Sekilas memang tak signifikan. Namun, ini bisa jadi pertanda awal adanya pergeseran pola makan di Indonesia.
Sebab menurut lembaga riset Euromonitor, pertumbuhan pasar roti di Indonesia tahun 2010-2015 itu rata-rata 13,3 persen. Konsumsi roti di Indonesia pada 2015 diperkirakan 2,3 kilogram per kapita. Jumlah itu mengalami kenaikan 6,23 persen dari tahun lalu. Konsumsi roti juga dipermudah dengan tersebarnya minimarket di seluruh Indonesia.
Ada penjelasan lain kenapa konsumsi nasi perlahan menurun. Sama seperti riset yang dilakukan tim dari Universitas Tottori, semakin besar pendapatan biasanya orang mempunyai lebih banyak pilihan konsumsi, dan mengutamakan yang lebih banyak protein dan vitamin. Banyak pula yang mulai mengurangi karbohidrat. Di kota-kota besar, banyak orang yang menjalani diet tanpa nasi. Asupan karbohidrat digantikan oleh ubi, jagung, atau singkong. Ada pula yang makan daging, sayur, buah, tanpa menyertakan nasi.
Dampak jangka panjang berkurangnya konsumsi nasi ini bisa besar. Terutama bagi para petani. Dengan berkurangnya konsumsi beras, sedangkan produksi tetap atau malah naik, ini artinya pasokan beras akan melampaui kebutuhan. Harga beras akan turun. Para importir bisa tertawa karena mendapat harga murah. Para petani tentu akan makin pusing karena harga beras tak sebanding dengan ongkos produksi.
"Hal itu bisa menghasilkan semakin banyak kemiskinan di area rural Asia," tulis para peneliti dari Tottori.
Di sisi lain, pengurangan konsumsi beras adalah berita baik bagi upaya penanggulangan diabetes. Tentu dengan catatan: makanan penggantinya harus lebih sehat.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani