Menuju konten utama
1 November 1994

Tradisi dan Kritik Veganisme: Jejak Kolonialisme dan Krisis Iklim

Praktik arus utama veganisme tidak menyasar sumber masalah utama krisis, yakni praktik eksploitatif dalam struktur kuasa masyarakat kapitalis.

Tradisi dan Kritik Veganisme: Jejak Kolonialisme dan Krisis Iklim
Ilustrasi mozaik Hari Vegan Sedunia. tirto.id/Rangga

tirto.id - Tahun ini, dunia merayakan Hari Vegan yang ke-27. Hari spesial untuk para vegan ini bermula dari inisiatif UK Vegan Society pada 1994 untuk merayakan 50 tahun hari jadinya. Meski baru diperingati sejak tahun 1994, veganisme sebenarnya sudah sejak lama dilakoni umat manusia dari berbagai belahan dunia.

Menurut Nathan Stephens Griffin dalam Understanding Veganism (2017:6), gaya hidup yang seratus persen bebas dari konsumsi dan pemakaian produk hewani sebagai bentuk anti-eksploitasi ini berdasar pada tradisi tua vegetarianisme. Tradisi ini sudah ditemukan sejak ribuan tahun sebelum masehi di peradaban Mesopotamia dan Indus, yang bersandar pada moral imperatif "jangan membunuh hanya untuk makan".

Banyak filsuf dan tokoh terkenal di masa silam menjalani laku hidup vegetarian dan membicarakan moralitas makanan manusia, seperti Phytagoras, Asoka, Gandhi, hingga sosok kontroversial seperti Hitler. Dalam The Heretic’s Feast: The History of Vegetarianism, Spencer menyebutkan bagaimana vegetarianisme dalam sejarahnya menjadi salah satu bentuk pembangkangan, yang dilakoni pemberontak dan para Liyan (the Others) terhadap nilai moral setempat. Dari masa ke masa, laku vegetarian seringkali dianggap aneh dan kriminal, serta dihujat sebagai sesat (Spencer, 1995, xiii).

Diskusi tentang moral dan etika makanan manusia berkembang lebih luas di abad ke-20. Publikasi buku Animal Liberation: A New Ethics for Our Treatment of Animals pada tahun 1975 oleh Peter Singer merupakan titik balik kultural di topik ini. Singer menulis tentang spesiesisme atau dekonstruksi hubungan antar spesies, dan menolak posisi spesial manusia di antara mahluk hidup yang lain.

Menurut Singer, binatang harus dilihat sebagai sentient being dan bukan semata produk untuk spesies manusia. Diskusi yang awalnya berangkat dari dasar filosofis hak binatang, berkembang ke topik-topik lain seperti etika gaya hidup, hubungan dengan lingkungan, dan etika makanan manusia di masa Anthroposen--masa ketika aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem Bumi.

Kelas dan Etnik dalam Sepiring Makanan

Makanan memang selalu politis dan tidak pernah simpel. Dalam makanan, ada pergumulan bermacam topik, mulai dari gender, etnis, sampai kelas. Kenapa sih iklan produk daging barbeque kebanyakan memunculkan sosok laki-laki dan bukan perempuan, misalnya? Atau mengapa orang Eropa di Hindia Belanda dulu makan rijsttafel dan tidak makan seperti para pribumi? Kenapa cara makan fine dining punya citra yang berbeda dari makan kebab gerobak pinggir jalan?

Makanan merupakan simbol yang menggabungkan berbagai makna yang berkaitan dengan kekuasaan, ortodoksi, dan dominasi.

Mengonsumsi daging yang secara tradisional dianggap prestise dan dicari karena mahal, kini berangsur mulai dianggap kalah menarik dari gaya hidup vegan, yang muncul sebagai alternatif populer dengan berbagai alasan, seperti kesehatan, sayang binatang, atau terminologi kabur "peduli lingkungan".

Meski veganisme sudah dikenal sejak setidaknya dua ribu tahun yang lalu, masuknya veganisme sebagai gaya hidup arus utama dalam 10 tahun terakhir berkembang dan dimotori oleh kelompok yang berbeda dari penjabaran sebelumnya, yakni generasi muda kelas menengah atas perkotaan. Menurut UK Vegan Society di tahun 2016, 42 persen vegan merupakan kelompok usia 15-34 tahun. Hal ini juga merupakan fenomena global, baik di Eropa maupun Asia.

Gaya hidup vegan kini populer di kota-kota besar dunia. Ada perbedaan pandangan mengenai etika dan moral veganisme yang melahirkan cabang-cabang, seperti veganisme etikal dan black veganism. Meski ada variasi pendekatan, semuanya percaya bahwa mengonsumsi binatang tidak seharusnya dilakukan.

Walaupun kian popular, veganisme juga mengundang kritik, salah satunya adalah kritik terhadap veganisme arus utama yang dipopulerkan dari dunia barat, yang dianggap mengancam diversitas gaya hidup masyarakat adat di seluruh dunia, seringkali disebut dengan istilah white veganism. Kritik ini menyasar bias rasisme alasan etis di balik gaya hidup vegan dunia barat, dan kritik tentang bagaimana kelompok ini memandang konsumsi makanan kelompok etnik lain yang berbeda dari kelompok dominan di global north.

Jejak kolonialisme ada dalam keseharian kita, termasuk makanan, dan krisis iklim yang seringkali menjadi alasan kaum peduli lingkungan untuk beralih pada veganisme tidak bisa dilepaskan dari hal ini. Ketidakmerataan kekayaan akibat dari hubungan eksploitatif sumber daya alam dan manusia antara global north dan global south di masa kolonial berlanjut hingga kini dalam praktik kapitalisme paling besar: industri ternak.

Bayangkan, 96 persen biomassa di muka bumi berasal dari manusia dan binatang ternak, yang mayoritas didominasi oleh binatang ternak untuk konsumsi manusia (60 persen). Untuk semua spesies mamalia lain, hanya 4 persen saja jumlahnya di muka bumi (Olivia Rosane, Humans and Big Ag Livestock Now Account for 96 Percent of Mammal Biomass, ecowatch.com, 23 Mei 2018).

Mengurangi gas emisi dari industri ternak tentu amat krusial, tapi kesenjangan yang merupakan masalah utama dari krisis iklim, tidak dapat diubah semata dengan mengubah fokus produksi masal daging dengan produksi masal makanan berbasis tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan kelompok tertentu. Hal ini melahirkan praktik greenwashing kapitalisme: slogan vegan dan serba hijau, tapi ujung-ujungnya tetap mencari untung sebanyak mungkin.

Karena veganisme arus utama kini berangkat dari kelompok menengah atas perkotaan, mungkin menarik untuk membandingkan kemiripan perkembangan gaya hidup vegan lintas kota, untuk melihat praktik greenwashing kapitalisme ini.

Di Berlin, Jerman, misalnya, yang pada tahun 2017 didaulat sebagai ibukota vegan dunia karena jumlah populasi vegan yang mencapai 10 persen, restoran vegannya ramai disambangi kelompok muda lokal dengan latar belakang non-migran dan ekspat kota. Restoran ini menjamur di distrik yang paling tergentrifikasi di Berlin seperti Friedrichshain, Mitte, dan Prenzlauer Berg. Di luar Berlin, mayoritas restoran Jerman tetap hanya menyajikan makanan utama orang Jerman secara umum, seperti schnitzel dan sosis babi.

Infografik mozaik Hari Vegan Sedunia

Infografik mozaik Hari Vegan Sedunia. tirto.id/Rangga

Di Jakarta, seperti halnya di Berlin, restoran vegan juga mulai marak bermunculan sejak lima tahun terakhir, dan menariknya juga kebanyakan berada di daerah yang paling tergentrifikasi. Gaya hidup vegan yang seperti ini bagi kebanyakan orang dianggap identik dengan gaya hidup mahal, penuh dengan diet makanan impor yang tidak terjangkau bagi kebanyakan masyarakat pekerja kerah biru dengan penghasilan UMR.

Jika kita kembali pada ide awal bahwa veganisme seharusnya menyelamatkan manusia dari krisis iklim, apa iya tujuan ini bisa tercapai dengan menjual pizza vegan dengan harga kemahalan di Kemang, Jakarta, yang hanya terjangkau oleh kelompok tertentu, misalnya? Praktik arus utama veganisme yang elitis sama halnya seperti filantropi, tidak menyasar sumber masalah utama krisis, yakni praktik eksploitatif dan ketidakadilan dalam struktur kuasa masyarakat kapitalis, dan malah melanggengkannya.

Tradisi Veganisme yang Inklusif di Indonesia

Di Indonesia, institusi terkait veganisme sudah muncul sejak akhir tahun 90-an. Pada tahun 1999, Indonesia Vegetarian Society didirikan di Jakarta, dan merupakan anggota terdaftar dari International Vegetarian Union. Vegan Society juga dibentuk di Jakarta pada tahun 2009. Kedua organisasi ini bertujuan untuk menyebarkan informasi tentang kehidupan vegetarian dan vegan di Indonesia.

Secara tradisional, makanan berbasis tanaman juga merupakan budaya lokal dan telah dikonsumsi di Nusantara selama berabad-abad. Di masa lampau, daging justru hanya dimakan oleh rakyat biasa pada hari perayaan atau hari besar, dan hanya bangsawan yang sering mengonsumsi daging. Tradisi vegan di Indonesia juga dipengaruhi oleh ajaran Hindu, Buddha, dan Jainisme. Banyak menu tradisional dari Nusantara yang berbahan dasar sayuran atau produk nabati serta tidak mengandung produk unggas, seperti tahu, tempe, kecap manis, nangka, santan, kelapa, dan sayur-buah lainnya. Kuliner populer Indonesia juga banyak yang dikategorikan vegan, seperti ketoprak, gado-gado, dan gorengan.

Sumbangan kuliner Indonesia untuk gaya hidup vegan yang kini paling terkenal di seluruh dunia adalah tempe. Makanan ini merupakan kreasi asli orang Jawa dari kedelai yang kemudian populer sejak abad ke-19 hingga kini: hemat energi, bergizi tinggi, dan tentunya terjangkau untuk semua lapisan masyarakat.

Baca juga artikel terkait VEGETARIAN atau tulisan lainnya dari Tika Ramadhini

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Tika Ramadhini
Penulis: Tika Ramadhini
Editor: Irfan Teguh Pribadi