Menuju konten utama
Miroso

Mencari Bubur Saren, Makanan yang Sudah Mulai Langka

Bubur saren, atau jenang saren, adalah makanan dari tepung ketan dan abu merang. Rasanya manis, gurih, dan hangat karena rempah.

Mencari Bubur Saren, Makanan yang Sudah Mulai Langka
Header Miroso Mencari Bursaren Kala Ramadan. tirto.id/Tino

tirto.id - Setiap bulan Ramadan, sepupu saya di Yogyakarta kerap mengajak mengunjungi pasar Ramadan yang digelar di daerah Kauman. Pasar ini mulai buka jam 2 siang sampai menjelang waktu berbuka. Di pasar ini, ada banya pedagang yang menjual aneka macam makanan siap santap, takjil, kudapan, dan aneka minuman. Saya paling senang mencari kudapan yang sekiranya tak saya temukan di tempat lain. Di sini lah kali pertama saya mengenal bursaren.

Waktu itu, ia menyodorkan satu bungkusan kecil pada saya. Makanan berbungkus daun pisang ini ukurannya hampir sama dengan ukuran bothok/carang gesing. Isinya seperti lem yang lengket berwarna hitam dengan saus santan encer warna putih. Sungguh tampilan yang membuat saya berpikir, ini makanan terbuat dari apa ya?

"Ikiarang sing adol," ujar sepupu saya. Makanan ini jarang yang jual. Hmm, menarik.

Setelah tanya-tanya, saya tahu kalau ini adalah bursaren, singkatan dari bubur saren. Ia adalah makanan sejenis jenang yang terbuat dari tepung ketan, dan warnanya hitam. Warna hitam ini berasal dari tepung omah, alias tepung yang dibuat dari abu merang/batang padi. Bentuk bubur ini mengingatkan saya pada adonan mendut, tapi tanpa isian. Hanya tepungnya saja dan diberi pugasan saus santan gurih yang sedikit encer.

Jika kebanyakan bubur atau jenang bercitarasa manis atau gurih saja, bubur saren justru menawarkan spektrum rasa baru bagi saya: ada rasa pedas yang muncul. Wah, apakah bubur ini pakai cabai, ya? Rasa pedasnya pun cenderung muncul belakangan.

Ternyata dalam proses pembuatan bubur saren ini, dipakai beberapa rempah seperti jahe dan cengkeh sebagai tambahan bumbunya. Paduan rempah ini memunculkan sensasi hangat dan pedas ketika bubur saren dikonsumsi. Suatu pengalaman baru yang membuat saya kemudian jatuh cinta pada makanan satu ini.

Sebagai makanan, bubur saren punya rasa yang kompleks dan kaya. Bubur ini memakai gula Jawa sebagai pemanis. Sebagai pugasan, santan kental akan dituang di atas bubur. Ini memberikan rasa gurih alami khas santan. Lalu penggunaan rempah akan menghasilkan jejak pedas yang hangat tapi tak lantas membuat lidah tersiksa.

Gabungan dari rasa manis, gurih, dan pedas ini yang menurut saya membuat bubur saren ini terasa unik.

Lantas kenapa makanan ini dikenal dengan nama bubur saren?

Infografik Miroso Mencari Bursaren Kala Ramadan

Infografik Miroso Mencari Bursaren Kala Ramadan. tirto.id/Tino

Saya coba membuat teori, bahwa saren ini merujuk warnanya yang hitam, mirip dengan makanan bernama saren. Dalam Bahasa Jawa, saren berarti darah yang mengental. Dalam khazanah kuliner Jawa, ada makanan yang terbuat dari saren, yaitu dadih atau marus. Makanan ini berasal dari darah binatang yang disembelih, lalu dikukus hingga padat. Saren juga kerap dipakai untuk bahan sate hingga opor.

Karena namanya inilah, rupanya tak jarang bubur saren pun dianggap makanan yang haram. Akibatnya, banyak orang yang tidak berani mengonsumsinya karena prasangka tersebut. Mungkin karena penggemarnya yang sedikit ini, bubur saren ini jadi tak banyak dijumpai di pasaran.

Maka, meski rasanya unik, bubur saren ini tampaknya tidak sepopuler jenang-jenang lainnya. Banyak yang bahkan tak mengenal namanya.

Di Yogyakarta, tak banyak yang menjual bubur saren ini. Berdasarkan pengalaman saya, tempat yang menjual saren di kota ini ada di nJeron Benteng, Pasar Pathuk, dan kadang ada yang berjualan di pasar-pasar besar seperti Pasar Kotagede atau Pasar Godean.

Sedangkan di Solo, yang kerap disebut sebagai salah satu tempat asal bubur saren (dikenal dengan nama jenang saren di Solo), ada juga yang menjualnya di Pasar Gede. Jenang saren juga konon bisa ditemui di kawasan Demak dan sekitarnya. Perbedaannya mungkin pada cara pembuatan dan bahannya. Ada beberapa yang memakai abu dari klaras, alias daun pisang kering.

Karena tak banyak yang mengenal makanan ini, tak heran kalau keberadaannya dapat dibilang sebagai makanan langka. Dalam buku Kuliner Tradisional Solo yang Mulai Langka, Dawud Achroni memasukkan jenang saren dalam daftarnya.

"Di wilayah Solo, jenang saren menjadi makanan yang sudah sangat langka. Sulit sekali menemukan kuliner bercita rasa khas ini. Banyak orang tidak mengenal lagi makanan ini. Orang yang mengetahui cara membuat jenang ini juga sangat sedikit," tulisnya.

Padahal rasa bubur ini cocok untuk segala suasana. Ketika badan terasa kurang enak, atau hawa sedang dingin, bubur saren pas untuk disantap. Apalagi mengingat ada rempah-rempah yang berkhasiat baik bagi tubuh.

Bubur saren yang disajikan dingin pun terasa nikmat. Rasa hangat tetap menjalar dari kandungan jahe, cengkeh dan merica. Sensasinya mirip meminum es jahe yang ringan.

Di keseharian, masyarakat Yogyakarta sendiri sudah jarang sekali mengonsumsi bubur ini. Sementara itu, bubur saren juga bukan jenis jenang yang memiliki peran tertentu dalam upacara ritual adat. Ini membuat makanan ini seakan kosong makna dan jarang muncul dalam acara-acara khusus. Meski begitu, terkadang bubur saren masih digunakan sebagai salah satu kudapan dalam acara-acara dan kegiatan-kegiatan yang formal dan dipilih berdasarkan selera.

Walau begitu, karena pembuatannya yang tak terlalu rumit, bubur saren dapat dipesan di kebanyakan pengrajin bubur. Atau bisa juga kita mencoba membuatnya sendiri. Mengutip resep dari Kuliner Tradisional Solo yang Mulai Langka, begini cara membuatnya:

Bahan:

  • ½ kg tepung ketan
  • 1 liter air
  • ½ ons abu merang, diayak hingga halus
  • 300 gram gula Jawa
  • 4 cm jahe, dimemarkan
  • 5 butir cengkeh
  • daun pisang
  • ½ liter santan dari 1 butir kelapa
  • 1 sendok teh garam
  • 2 lembar daun pandan.
Cara membuatnya:

Campur tepung ketan dengan setengah bagian air. Kemudian masukkan abu merang dalam sisa air, lalu saring dan buang ampasnya. Didihkan air hasil saringan abu merang bersama gula Jawa, jahe, dan cengkih. Setelah itu, tuang adonan tepung ketan ke dalam air merang dan masak sambil terus diaduk.

Setelah matang, masukkan jenang ke dalam wadah yang sudah dialasi daun pisang dan tunggu hingga sedikit mengental. Masak santan, garam, dan daun pandan hingga mendidih. Lalu ambil jenang saren secukupnya dan masukkan ke dalam mangkuk. Siram dengan kuah santan. Hidangkan jenang saren dalam keadaan hangat.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Lina Maharani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Lina Maharani
Editor: Nuran Wibisono