tirto.id - Ada satu frasa, yang saya temukan di lubang kelinci bernama YouTube Shorts, yang belakangan ini begitu menggelitik. Aura Goals, begitulah frasanya. Namun, goals di sini bukanlah goals seperti dalam frasa couple goals, friendship goals, atau career goals. Goals di sini benar-benar gol yang diciptakan dalam pertandingan sepak bola.
Bila Anda ketik "Top 5 Aura Goals" di bilah pencarian YouTube, misalnya, Anda bakal menemukan banyak sekali video yang kebanyakan berformat shorts. Di sana, Anda juga bisa menemukan video-video yang secara khusus mengompilasi gol-gol dari pemain tertentu, semisal Zlatan Ibrahimovic dan Mario Balotelli.
Yang jadi persoalan, semakin banyak video "aura goals" yang kita saksikan, definisi dari "aura goals" itu sendiri bakal semakin rancu. Ada gol-gol yang dicetak secara spektakuler seperti salto dari jarak 30 sekian meter. Ada gol-gol yang dieksekusi dengan "dingin". Ada pula yang memasukkan gol yang langsung diikuti selebrasi "dingin".
Meski definisinya sedikit rancu, ada benang merah yang mengaitkan semua gol yang dikompilasi tersebut. Gol-gol tersebut memang keren. Dan yang membuatnya keren bisa bermacam-macam, mulai dari prosesnya, cara eksekusinya, momen dicetaknya, sampai selebrasinya. Umumnya pula, gol-gol keren tersebut dicetak oleh sosok pemain yang memang punya "aura" tersendiri di lapangan, entah karena kepemimpinannya, kemahiran teknisnya, sampai kisah-kisah sinting yang menyertai kariernya.
Nah, maraknya kompilasi "aura goals" ini ternyata merupakan bagian tak terpisahkan dari tren internet kiwari yang begitu mendewakan "aura". Lantas, apa itu "aura" dan bagaimana mungkin benda abstrak sepertinya bisa di-"farming"?
Apa Itu “Aura” di 2025?
Kata aura tentu bukan istilah baru. Dalam ranah spiritual, ia merujuk pada semacam pancaran energi halus yang mengelilingi tubuh manusia, dan ini merupakan sebuah gagasan yang sudah lama hadir dalam wacana mistik maupun praktik alternatif. Namun, di media sosial hari ini, aura mengalami pergeseran makna yang cukup radikal. Ia tidak lagi berkonotasi mistis, melainkan menjadi penanda karisma, gaya, dan kesan pertama yang dipancarkan seseorang sebelum ia sempat berbicara sekalipun.
Menurut Times of India, aura kini dibedakan dari istilah lain seperti rizz atau charisma. Jika rizz merujuk pada pesona romantis dan charisma pada daya tarik sosial yang lebih umum, maka aura adalah “energi dingin” yang dirasakan lebih dulu: dari tatapan, postur tubuh, hingga cara seseorang hadir di ruang publik maupun digital.
Bagi generasi yang tumbuh dengan Instagram, TikTok, dan YouTube Shorts, aura adalah sebuah bentuk kapital sosial. Bagi Gen Alpha, aura berfungsi layaknya satuan poin tak kasatmata untuk mengukur “keren” atau tidaknya seseorang. Semakin tinggi auranya, semakin ia dianggap cool, bahkan tanpa harus banyak bicara. Sebaliknya, kehilangan kendali atas momen kecil—sekadar menumpahkan minuman di kantin sekolah, misalnya—bisa membuat seseorang dinilai “kehilangan aura”.
Di sisi lain, aura juga bisa dikelola lewat kurasi diri. Pakaian, ekspresi wajah, gaya bahasa, hingga pilihan apa yang tidak dibagikan ke publik, semuanya menjadi bagian dari konstruksi aura. Maka tak heran jika kemudian lahirlah istilah turunan: aura farming.
Dengan demikian, aura di 2025 adalah sebuah hibrida: setengah warisan lama yang sarat makna spiritual, setengah inovasi baru yang lahir dari algoritma dan kultur daring. Ia menandai pergeseran bagaimana kita menilai kehadiran: bukan hanya apa yang dikatakan, melainkan bagaimana sesuatu, atau seseorang, terlihat dan terasa dalam sekian detik pertama.
Bagaimana Aura Bisa Di-Farming?
Kalau aura adalah energi atau kesan yang dipancarkan seseorang, maka aura farming, atau panen aura, adalah upaya untuk menumbuhkan, mengelola, dan memamerkan kesan itu secara sadar. Istilah ini meminjam kata farming dari dunia gim daring, di mana pemain melakukan tindakan berulang (grinding) untuk mengumpulkan sumber daya sebanyak-banyaknya. Bedanya, di sini yang dikumpulkan bukan koin emas atau poin pengalaman, melainkan citra keren dan karisma.
South China Morning Post menyebut aura farming sebagai “optics of cool”: cara seseorang tampil seolah-olah santai, misterius, dan sinematis, bahkan di situasi yang penuh gangguan. Storyboard18 menambahkan bahwa ini adalah praktik kurasi diri—mulai dari gaya berpakaian, cara bicara, hingga pilihan unggahan—yang sengaja dirancang untuk memunculkan rasa ingin tahu. Sementara, PureWow menekankan sisi paradoksnya: terlihat tidak berusaha keras, padahal sebenarnya sangat diperhitungkan.
Dalam laporan Times of India, para psikolog menjelaskan bahwa aura farming bisa dilihat sebagai strategi presentasi diri. Dengan kata lain, ia adalah upaya sadar untuk menampilkan versi terbaik dari diri; bukan melalui prestasi besar, melainkan melalui detail kecil yang membentuk kesan awal. Sedangkan, New York Post mengutip Know Your Meme yang mendefinisikan tren ini sebagai “usaha konstan untuk terlihat keren atau badass demi mengumpulkan karisma (rizz)”.
Tentu saja, definisi akan terasa hampa tanpa contoh konkret tentang bagaimana seseorang bisa memanen aura. Di sinilah mekanisme aura farming menarik untuk dibedah.
Secara umum, ada beberapa pola yang kerap muncul. Pertama, composure in chaos—ketenangan di tengah kekacauan. Seseorang yang tetap cool meski di situasi penuh risiko atau kegaduhan akan dipersepsikan punya aura lebih besar. Kedua, minimalist gestures—gerakan kecil dan terukur, yang justru membuat orang lain membaca kepercayaan diri. Ketiga, cinematic staging—bagaimana cahaya, latar, hingga sudut kamera dipakai untuk memperkuat kesan sinematis. Keempat, kultur soundtrack dan remix—musik tertentu atau edit ulang yang membuat aksi biasa terasa luar biasa. Terakhir, mystery through restraint—membangun aura lewat keterbatasan, entah dengan tidak terlalu sering berbagi, atau dengan menjaga jarak yang membuat orang lain penasaran.
Contoh paling gampang dari praktik aura farming di media sosial adalah lewat unggahan foto moody dengan caption minim, gaya busana yang selaras dengan persona, atau kebiasaan untuk tidak terlalu banyak berinteraksi di kolom komentar. Semua itu dilakukan demi mengumpulkan "aura points", poin imajiner yang bertambah ketika seseorang melakukan sesuatu yang tampak effortless, dan berkurang saat mereka terlihat berusaha terlalu keras atau melakukan tindakan ceroboh.
Semua definisi dan mekanisme itu mengerucut pada satu hal. Aura farming adalah seni menampilkan diri sehingga orang lain yakin ada sesuatu yang istimewa pada Anda—entah lewat ketenangan di tengah kekacauan, gaya minimalis yang penuh percaya diri, atau sikap dingin yang tak mudah terbaca. Seperti halnya memanen di ladang, hasil akhirnya bergantung pada seberapa konsisten seseorang merawat penampilannya, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Studi Kasus: Rayyan Arkan Dhika
Bila ada satu momen yang memperlihatkan aura farming dalam bentuk paling murni, itu terjadi di sebuah lomba perahu tradisional bernama Pacu Jalur di Riau, beberapa waktu lalu. Di sana, seorang anak berusia 11 tahun, Rayyan Arkan Dhika, berdiri di ujung perahu panjang yang melaju kencang, menjalankan peran yang dalam tradisi setempat disebut Togak Luan—penari di haluan yang bertugas membakar semangat pendayung.
Penampilan Rayyan sebetulnya sederhana: kacamata hitam, busana tradisional serba hitam, gerakan tangan yang mengayun pelan, sesekali meniupkan ciuman ke arah penonton, lalu mengacungkan tangan ke langit bak Usain Bolt. Namun, kesederhanaan itulah yang membuatnya tampak luar biasa. Di tengah riuh rendah lomba, ia berdiri tenang, bahkan seolah tak terganggu sama sekali oleh hentakan air dan teriakan penonton. South China Morning Post menyebut ekspresinya sebagai complete nonchalance, sikap acuh tak acuh yang justru memancarkan karisma kuat.
Video Rayyan kemudian tersebar luas di TikTok, Instagram, hingga YouTube, sering kali disunting dengan iringan lagu rap “Young Black & Rich” dari Melly Mike. Dari situlah ia dijuluki “The Reaper” karena dianggap tidak pernah kehilangan aura dan selalu tampak menang. Pada akhirnya, aksi Rayyan cepat menjadi template global, ditiru oleh selebritas besar seperti Travis Kelce yang membuat mashup tarian endzone-nya dengan gaya Rayyan, DJ Steve Aoki yang menirukan aksinya di panggung konser di Portugal, hingga pebalap MotoGP Marc Márquez yang merayakan kemenangannya dengan gestur serupa.
Tak berhenti di dunia maya, pengakuan datang pula dari dunia nyata. Rayyan sendiri pada akhirnya diundang ke Jakarta bersama ibunya, bertemu dengan menteri kebudayaan dan pariwisata, serta tampil di televisi nasional. Ia bahkan diangkat menjadi duta budaya oleh Gubernur Riau, sebuah pengakuan bahwa penampilannya bukan sekadar meme internet, tetapi juga representasi kebanggaan lokal.
Yang menarik, ketika ditanya tentang kepopulerannya, Rayyan justru mengaku bahwa gerakannya spontan, bukan hasil perencanaan panjang. Namun, justru karena spontanitas itulah publik semakin terpesona. Sesuatu yang terlihat sangat effortless kemudian diadopsi, disebarluaskan, dan dipoles oleh jutaan pengguna internet di seluruh dunia.
Godaan dan Risiko Panen Aura
Mengapa sebuah tren yang intinya hanya “berusaha terlihat keren” bisa sedemikian memikat? Jawabannya terletak pada konteks budaya digital kita hari ini. Di tengah era media sosial yang penuh dengan oversharing, misteri menjadi komoditas langka. Aura farming memberi ruang bagi orang untuk menahan sebagian dirinya, membiarkan publik menerka-nerka, siapa sebenarnya orang ini?
Di sisi lain, algoritma platform sosial memang dirancang untuk menyukai konten singkat, visual, dan mudah ditiru. Aura farming, dengan gestur sederhana, ekspresi dingin, dan estetika sinematis, sangat cocok dengan logika tersebut. Ia bisa di-remix, ditirukan, dan dipopulerkan dengan mudah.
Namun, aura farming bukan tanpa risiko. Bagaimana juga, aksi ini membebani seseorang secara psikologis. Selalu memikirkan cara supaya tampak keren bukanlah cara hidup yang menyenangkan. Memang benar bahwa oversharing pun bukan hal bagus. Akan tetapi, sikap terlalu kuratif juga dapat membuat hidup jadi penuh tekanan, apalagi jika realitas tidak sejalan dengan citra yang coba dibentuk.
Aura farming sendiri bisa dipastikan bakal lengser dari takhta leksikon slang internet dan, ketika itu terjadi, segala hal yang berkaitan dengannya bakal dipandang dengan tatapan aneh. "Kok, gue dulu kayak gini amat, ya?" Maka, daripada ngoyo melakukan aura farming, yang sebenarnya lebih penting dilakukan adalah bersikap sewajarnya, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id







































