tirto.id - Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kembali muncul bersama dengan kabar pengembangan vaksin COVID-19 bernama Vaksin Nusantara. Ia menggagas pembuatan vaksin ini pada Oktober 2020 saat masih menjadi menteri.
Pada 22 Oktober 2020, Terawan menghadiri penandatanganan perjanjian kerja sama uji klinik vaksin sel dendritik untuk COVID-19 antara Badan Litbang Kesehatan (Balitbangkes) dengan PT Rama Emerald Multi Sukses. Penandatanganan di Kantor Kementerian Kesehatan itu dilakukan langsung oleh oleh Kepala Balitbangkes Slamet dengan General Manager PT Rama Emerald Multi Sukses Sim Eng Siu.
"Pada bulan November uji klinik kita mulai. Kita berdoa bersama-sama mudah-mudahan semua berjalan lancar karena semua manufaktur ada di Indonesia," kata Terawan saat itu.
Vaksin berbasis sel dendritik itu awalnya dikembangkan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, AIVITA Biomedical. PT Rama Emerald Multi Sukses disebut telah memiliki lisensi untuk mengembangkannya di Indonesia.
Pada 22 Desember 2020, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan pemecatan Terawan, kabar pengembangan Vaksin Nusantara mencuat tapi dengan nama yang berbeda, yakni Vaksin Joglosemar. Perusahan pengembangnya yakni PT Rama Emerald Multi Sukses
Setelah tak menjabat sebagai menteri, Terawan praktis menghilang dari sorotan media. Tapi ternyata dia tetap terlibat dalam pengembangan vaksin. Pada 16 Februari 2021 kemarin dia mengklaim uji klinis fase I Vaksin Nusantara telah selesai diujikan kepada 30 pasien dengan hasil imunitas baik dan aman. Setela itu akan dilanjutkan proses uji klinis fase II di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Terawan juga mengklaim jika izin sudah dikantongi maka vaksin sudah siap untuk diproduksi massal. "Bisa diproduksi hingga 10 juta dosis per bulan," kata Terawan melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (17/2/2021).
Terawan bilang pengembangan Vaksin Nusantara melibatkan peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Universitas Diponegoro dan RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Diragukan
Vaksin berbasis sel dendritik berbeda dengan vaksin-vaksin lain, termasuk Sinovac yang sekarang digunakan di Indonesia. Cara kerjanya kira-kira begini: sel dendritik yang ada di dalam manusia dikeluarkan melalui darah lalu dipaparkan dengan antigen di laboratorium. Setelah itu dimasukkan kembali ke orang yang sama dengan harapan dapat membentuk antibodi. Ia lazim dipakai untuk menangani penderita kanker.
Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo mengatakan karena cara kerja yang terlalu personal, vaksin ini tidak efisien untuk menangani COVID-19. Butuh waktu jauh lebih panjang untuk mengambil sel dendritik tiap-tiap orang, memaparkannya antigen di lab, lalu memasukkannya lagi ke tubuh. Kecepatan vaksinasi dalam konteks pandemi COVID-19 penting dalam rangka menghasilkan kekebalan komunitas.
Selain itu juga sel dendritik tidak boleh tertukar karena potensial menimbulkan efek penyakit lain.
Selain soal efisiensi, ia juga mempertanyakan efektivitas vaksin ini. Semua pengembangan vaksin saat ini dilakukan dengan transparan, katanya, namun Vaksin Nusantara serba belum jelas.
"Setelah dikembalikan ke tubuh manusia, mampu tidak sel itu benar-benar mampu mengajari sel lain di dalam tubuh untuk memproduksi antibodi? Data ini harusnya mereka punya," kata Ahmad kepada reporter Tirto, Rabu.
"Saya bertanya ke timnya Terawan, mereka kok bisa berani ke fase berikutnya? Data antibodi yang terbentuk berapa? Ini banyak data yang tidak kita ketahui. Kalau kita lihat dari Unpad (yang melakukan uji klinis Sinovac), terbuka merekrut 1.600 orang relawan," tambahnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menurut Ahmad merupakan pertanyaan besar dan sangat mendasar dalam pengembangan vaksin.
"Bahkan saya mempertanyakan uji klinis ini pakai dana APBN atau tidak. Itu uang siapa? Publik harus dan wajib tahu, harus transparan. Saya minta tolong ke Pak Terawan. Tolong dibuka datanya seperti apa kok tahu-tahu sudah fase II, memangnya fase I kapan diumumkan?" ujarnya.
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman menyambut baik pengembangan vaksin baru. Namun ia juga meminta agar pengembangnya dilakukan dengan transparan dan sesuai prosedur. "Kita harapkan ada keterbukaan dari Pak Terawan baik dari sisi klinis maupun aspek pendanaanya," ujar Dedi kepada reporter Tirto.
Untuk mengonfirmasikan keterlibatan Balitbang Kemenkes dalam pengembangan Vaksin Nusantara, reporter Tirto menghubungi Kepala Balitbang Kemenkes Slamet, Rabu. Namun pesan yang kami kirimkan melalui aplikasi Whatsapp hanya dibaca, sementara panggilan telpon tak dijawab.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino