tirto.id - Pemilihan ketua umum di beberapa partai politik tampaknya berjalan mulus. Dalam waktu berdekatan sejumlah ketua umum partai mulai dari Zulkifli Hasan (Zulhas), Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dan Surya Paloh, kembali terpilih secara aklamasi.
Zulhas yang merupakan Menteri Perdagangan secara aklamasi terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2024–2029 pada Jumat (23/8/2024). Sebanyak 38 Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) dan 514 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepakat mendukung Zulhas.
Selang sehari, Cak Imin juga terpilih kembali menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara aklamasi. Keputusan itu diambil setelah Cak Imin mengantongi dukungan dari 38 DPW pada Muktamar PKB yang digelar di Nusa Dua Convention Center, Bali, Sabtu (24/8/2024) malam.
Terbaru, Surya Paloh terpilih kembali secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Nasdem periode 2024-2029. Hal itu ditetapkan dalam Kongres III Partai Nasdem yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum partai politik dinilai terjadi karena kecenderungan parpol yang tengah mengalami dilema.
Di satu sisi, calon tunggal memang sulit ditandingi dalam kontestasi pemilihan ketua umum. Namun di sisi lain ada kemandekan regenerasi kepemimpinan parpol.
"Terpilihnya ketiga sosok itu secara aklamasi menunjukkan partai gagal melakukan regenerasi kader. Bahkan mungkin tidak ada yang berani maju menjadi Ketua Umum selama Paloh, Cak Imin, atau Zulhas masih menjadi ketua umum," ujar analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, kepada Tirto, Rabu (28/8/2024).
Sementara Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, melihat proses demokrasi di internal parpol hari ini memang menjadi persoalan.
Menurutnya, parpol sebagai institusi demokrasi seharusnya bisa menjalankan terlebih dahulu demokrasi di tingkat internal. Tapi nyatanya di internal parpol sendiri tidak sepenuhnya berjalan dengan baik.
"Itu merupakan persoalan besar di negeri ini. Salah satu contohnya digambarkan dengan banyaknya proses aklamasi dilakukan di parpol dalam proses pemilihan ketum," kata Arfianto kepada Tirto, Rabu (28/8/2024).
Menurut Musfi Romdoni, saat ini ada fenomena personalisasi partai politik di Indonesia. Ini adalah fenomena ketika partai begitu identik dengan sosok atau keluarga tertentu. Di Nasdem, misalnya, ada Surya Paloh, PKB ada Cak Imin, dan sekarang PAN mulai identik dengan sosok Zulhas.
"Pada kasus ini, partai tidak ubahnya seperti perusahaan atau PT. Sekalipun nantinya ada regenerasi, itu tidak jauh-jauh dari keluarga atau sosok yang dinilai dekat oleh si ketua umum," ujar Musfi.
Hal menarik terjadi pada Golkar. Partai berlogo beringin itu, kata Musfi, tidak terjebak pada personalisasi partai politik. Ini karena ada banyak sosok dan faksi dalam Golkar. Tapi kenapa kemudian akhirnya aklamasi, ini menunjukkan kompetisi sebenarnya telah dimulai bahkan sejak Musyawarah Nasional (Munas) Golkar dilakukan.
Bahlil Lahadalia terpilih secara aklamasi dalam Munas XI Partai Golkar yang digelar pada 20-21 Agustus 2024. Ia menjadi calon tunggal dalam proses pemilihan ketua umum.
"Ini menerapkan strategi Sun Tzu. Daripada ribut di Munas nanti, lebih baik melakukan lobi sebelum Munas agar faksi lain tidak maju. Saya kira kasus di Golkar agak berbeda karena bukan kasus personalisasi partai politik," jelas Musfi.
Parpol Harus Buka Ruang Benahi Demokrasi di Internal
Menurut Arfianto Purbolaksono, kondisi di atas menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik. Sebagai institusi demokrasi, seharusnya parpol dapat membuka ruang atau membenahi demokrasi di internal partainya sendiri.
"Gimana kita mau percaya mereka menjalankan demokrasi dengan baik ketika di internal saja tidak mencerminkan demokrasi itu sendiri," jelasnya.
Kondisi ini membuat muncul dua persepsi di tengah-tengah masyarakat. Pertama, parpol yang sejatinya tumbuh dan berkembang berdasarkan asas pengaderan, justru dirusak oleh mekanisme demokrasi di internalnya.
Mekanisme aklamasi akan menguatkan persepsi publik bahwa hanya orang kuat yang mampu menjadi ketua umum. Sebab jika tidak kuat akan kewalahan dalam menghidupkan mesin partai.
"Kita tidak sedang mengatakan dalam konteks demokrasi prosedural bahwa ada parpol yang ikut pemilu. Tapi kita sedang membicarakan bagaimana prinsip demokrasi itu berjalan di internal partai itu sendiri," jelas dia.
"Minimal ada kesempatan sama di antara para kader untuk calonkan dirinya menjadi ketua di semua level, apakah di ranting atau DPC, DPW, dan DPP. Itu harusnya diberikan kesempatan sama," lanjutnya.
Maka itu, Arfianto mendorong bagaimana reformasi di internal parpol bisa terjadi. Walaupun sebenarnya diakui juga bahwa dorongan ini terkesan naif.
"Kita tahu tidak mungkin mereka mengubah itu. Parpol pun saya rasa tidak mampu juga," kata dia.
Peneliti Organisasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, melihat bahwa kondisi di atas sangat berbahaya bagi kelangsungan parpol. Sebab, aklamasi sebenarnya bukan demokrasi yang dipraktikkan secara nasional.
"Misal ketika kita mau pilih presiden saingannya ada banyak. Ada banyak pilihan, setidaknya ada dua pilihan. Pun kalau misal di pilkada ada banyak pilihan. Itu yang kita harapkan juga di tubuh internal parpol," kata dia kepada Tirto, Rabu (28/8/2023).
Musyawarah Mufakat dan Aklamasi
Dua Hal Beda
Presiden terpilih, Prabowo Subianto, justru menyanjung proses aklamasi yang terjadi di tubuh parpol. Menurutnya, Indonesia memang seharusnya memiliki tradisi sendiri dalam berdemokrasi, yakni musyawarah mufakat.
Musyawarah mufakat, menurut Ketua Umum Gerindra itu menjadi salah satu tradisi demokrasi yang khas dari Indonesia. Sehingga menurutnya, dalam musyawarah mufakat sistem aklamasi tak jadi masalah.
"You punya tradisi, kita harus cari tradisi kita sendiri. Musyawarah mufakat, itu ajaran nenek moyang kita," ujar Prabowo dalam pidatonya di acara PAN beberapa waktu lalu.
Pernyataan Prabowo, menurut Arfianto Purbolaksono tidak bisa dibenarkan. Karena proses aklamasi dan musyawarah mufakat adalah dua hal berbeda dan tidak bisa saling dibenturkan.
Menurutnya, poses aklamasi tidak bisa dikatakan secara langsung sebagai hasil musyawarah mufakat. Karena yang namanya musyawarah mufakat seharusnya terlebih dahulu ada perbedaan pandangan atau pendapat di antara calon-calon di tubuh internal parpol ketika ingin mencalonkan kandidatnya jadi ketua umum.
"Kalau kita lihat kondisi hari ini dari beberapa partai yang lakukan atau memutuskan ketua umumnya [secara aklamasi] kayak Nasdem, PKB, [dan] beberapa partai lain, tidak ada proses musyawarah mufakat, itu klise saja," jelas dia.
Menurutnya, hari ini ketua umum partai politik cenderung diisi oleh tokoh yang memiliki kharisma besar di internal partai, misalnya pendiri sekaligus pemilik saham mayoritas parpol. Misalnya Surya Paloh yang merupakan pendiri dan sekaligus pemilik partai. Sudah tentu di akan menjadi ketum lagi.
Sedangkan di PKB, sampai saat ini Cak Imin memiliki pengaruh besar di partainya. Walaupun sebenarnya berbeda konteks dengan Surya Paloh yang merupakan pendiri atau pemilik partai.
"Jadi tidak bisa dikatakan itu adalah bagian dari hasil musyawarah mufakat. Karena kenapa? Kalau musyawarah mufakat jelas ada dinamikanya," kata dia.
Kahfi Adlan Hafiz menambahkan, tidak bisa aklamasi disebut sebagai model dari musyawarah mufakat.
"Kita coba lihat di parpol seperti apa. Kemudian punya kecenderungan kepemimpinan personalistik, artinya kepemimpinan hanya terpusat pada satu individu saja," kata Kahfi.
Yang perlu diperhatikan dari aklamasi ini, kata Kahfi, adalah bagaimana saingannya. Apakah di dalam internal partai persaingan antarkader untuk jadi ketum sudah setara atau belum.
"Itu yang saya kira harus diingat. Jadi tidak bisa kita lihat bahwa aklamasi ini adalah model dari musyawarah mufakat," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi