tirto.id - Kim Dotcom alias Kim Schmitz bukan orang sembarangan. Ia miliarder flamboyan asal Jerman pencipta Megaupload, layanan file-sharing yang kemudian diakhiri pada 2012 oleh otoritas Amerika Serikat. Kematian Megaupload, yang mengantarkan Dotcom jadi sosok tajir tak terjadi begitu saja. Megaupload disuntik mati karena kemampuannya menyimpan file-file ilegal seperti musik atau film di layanannya.
Sebagai pemilik, Dotcom jelas kecewa atas nasib Megaupload. Di banyak kesempatan, Dotcom selalu menolak klaim yang menyatakan bahwa layanan miliknya adalah sarang file ilegal. Ia menyanggah dan menyatakan bahwa file yang ada di Megaupload, sepenuhnya merupakan tanggungjawab para pengguna, bukan pihaknya. Namun, otoritas AS bergeming, Megupload dianggap merugikan para pemilik hak cipta hingga $500 juta.
Tentu saja tak hanya Megaupload yang jadi pesakitan. Kim Dotcom pun menerima getahnya. Pria Jerman yang sejak kecil telah menunjukkan bakatnya menjadi wirausahawan di bidang teknologi ini mendapatkan kabar terbaru. Pada 20 Februari 2017 Pengadilan Tinggi Selandia Baru memutuskan ia harus angkat kaki dari Selandia Baru, tempat pelariannya untuk diekstradisi ke AS. Di AS, Dotcom harus berhadapan dengan 13 tuntutan, termasuk pencucian uang serta pelanggaran hak cipta dengan ancaman bui selama 20 tahun. Dotcom tak tinggal diam. Ia beserta tim pengacaranya tengah menghindari putusan ekstradisi ke AS.
Dotcom, sebagai pesakitan, tak lantas meninggalkan dunia teknologi. Selain kembali membangun layanan file-sharing serupa bernama Mega di 2013. Baru-baru ini, Dotcom merilis ide cemerlang, ia mengklaim tengah bekerja mengembangkan alternatif internet bernama MegaNet. Internet, yang menurut klaimnya adalah “dari masyarakat, untuk masyarakat.”
Internet yang akan diubah Dotcom bukanlah internet dalam pengertian luas, sebagai jaringan terbuka. Dotcom lebih ingin mengubah internet dalam pengertian world wide web (WWW). Tempat bermukim ratusan situsweb di masa kini.
Di awal mula penciptaan WWW hadir atas HTML, URL, HTTP, serta web server sebagai markas situsweb. Semua masing-masing terhubung guna mewadahi segala permintaan dari pengguna internet dunia atas setiap situsweb yang dikunjunginya. Dotcom, ingin mengubah tata-cara ini.
“Internet korporasi saat ini akan digantikan dengan internet yang lebih baik, berjalan pada jutaan perangkat mobile yang sedang berada di posisi menganggur. Menghancurkan net-neutrality akan mempercepat adaptasi jaringan baru ini,” kata Dotcom soal teknologi yang sedang dibikinnya melalui akun resmi Twitternya, @KimDotcom.
Alternatif internet bernama MegaNet itu tercipta atas dua bagian fundamental yaitu desentralisasi dan privasi. Yang menarik, dua bagian fundamental ini terkait erat dengan sepak terjang Dotcom di dunia internet.
Pada 2012, di hari kematian Megaupload, tercatat ada 25 petabyte data yang “hangus” atas tindakan otoritas AS menyuntik mati Megaupload. Data sebesar itu tersimpan ke dalam 1.000 server yang menopang hidup Megupload yang dioperasikan oleh Carpathia Hosting, rekanan Megaupload.
Tentu, tak semua data digital di server-server Megaupload merupakan data ilegal, seperti yang menjadi muasal matinya layanan. Kyle Goodwin, pemilik situsweb bernama OhioSportsNet, merupakan buktinya. Ia membayar $87,49 untuk dua tahun berlangganan Megaupload guna menyimpan rekaman olahraga yang menjadi jualan situsweb miliknya. Ini tentu saja legal. Namun, keputusan otoritas AS yang mengakhir kiprah Megupload, malah jadi mematikan seluruh data-data yang dimiliki Goodwin.
Kesialan Goodwin karena sistem server terpusat yang diterapkan Megaupload. Megaupload, jelas tak salah untuk kasus ini. Hampir seluruh situsweb yang berjalan di internet kini, menopang hidupnya melalui server. Berjalan persis seperti WWW dirancang.
Aspek fundamental pertama MegaNet, tercipta untuk menghindari kasus serupa Goodwin di kemudian hari. Ia secara sederhana, berupaya meniadakan server sebagai pusat suatu layanan. MegaNet mendesentralisasi situsweb yang berjalan di atasnya.
Apa yang diungkap Dotcom soal 100 juta smartphone itu, mirip dengan cara kerja teknologi peer-to-peer, seperti yang digunakan oleh Torrent. Suatu teknologi yang erat kaitannya dengan aktivitas download film atau musik ilegal.
MegaNet menyebar seluruh file layanan di semua smartphone yang memasang aplikasinya. Ia memanfaatkan kekuatan prosesor maupun memori smartphone. Namun, Dotcom menggarisbawahi, penggunaan kekuatan smartphone hanya dilakukan ketika dalam posisi idle, suatu posisi kala perangkat tak digunakan pemiliknya. Selain itu, smartphone yang digunakan ialah smartphone yang terhubung internet menggunakan WiFi, bukan paket data selular.
Melalui rancangan ini, layanan dalam MegaNet akan tetap hidup karena ia tak terpaku atas satu server pusat. File dan segala keperluan layanan, disebar merata. Saat satu smartphone tak bisa digunakan, masih banyak smartphone lain yang menjadi penopang.
Simson Garfinkel dalam tulisannya di MIT Technology Review menuturkan bahwa teknologi peer-to-peer sesungguhnya merupakan rancangan awal bagaimana internet bekerja. Alih-alih memusatkan seluruh kekuatan pada server, teknologi peer-to-peer mendesentralisasikan kekuatan pada seluruh komputer yang terhubung. Ia bekerja lebih baik dan lebih cepat manakala banyak komputer yang terhubung. MegaNet pun akan semakin kuat manakala lebih banyak smartphone yang terhubung.
Sayangnya, meskipun teknologi peer-to-peer telihat istimewa, merujuk penuturan Garfinkel, ia gagal menjadi penyokong utama internet. Kegagalan peer-to-peer menguasai dunia jaringan internet terkendala atas adanya perbedaan komputer yang dipakai masyarakat. Di tengah masyarakat, hanya termaktub dua jenis komputer, murah dan mahal. Murah merujuk pada komputer rumahan yang terbatas kekuatannya. Sedangkan komputer mahal merujuk pada server canggih dengan kekuatan besar.
Alih-alih menggabungkan kekuatan komputer-komputer murah menjadi satu, jauh lebih mudah bagi seseorang menempatkan file di komputer mahal, alias server, dan membuka pintu lebar-lebar bagi komputer murah mengunduh file tersebut. Fenomena ini dilakukan hampir seluruh layanan berbasis internet di seluruh dunia.
Selepas desentralisasi, aspek fundamental selanjutnya dari MegaNet ialah privasi. MegaNet, dirancang untuk bisa hidup tanpa alamat IP. Suatu nomor unik temporer yang digunakan untuk mengidentifikasi secara spesifik perangkat yang memanfaatkan protokol internet.
Secara sederhana, Google, Amazon, Facebook, ataupun situsweb lainnya, sesungguhnya tak benar-benar mengenal siapa kita sebagai pengguna layanan mereka. Mereka mengenal kita melalui alamat IP. Dalam definisi lain, alamat IP merupakan pijakan situsweb mengenal pengunjungnya. Dengan alamat IP itulah, mereka mengsinkronisasikan seluruh kegiatan, seperti klik, scroll, dan tingkah laku lainnya, untuk mengidentifikasi siapa pengunjungnya.
Bagi kepentingan personalisasi layanan, apa yang dilakukan Google dan kawan-kawannya memanfaatkan alamat IP terbilang baik. Sayangnya, personalisasi berlandaskan alamat IP mengandung lubang keamanan. Data pribadi seseorang, tanpa disadari, bisa berakhir di tangan siapa saja untuk tujuan apa saja. Ini jelas mengkhawatirkan, pengguna internet seakan-akan tak memiliki kemerdekaan privasi di dunia internet kini.
Sebagai sosok yang mengklaim “pejuang kebebasan internet,” Dotcom ingin mengubah aturan main. MegaNet dirancang untuk meniadakan alamat IP. Tanpa alamat IP, tak ada pijakan bagi suatu layanan internet mengidentifikasi penggunanya.
Jika menilik lebih luas, dua aspek fundamental MegaNet, desentralisasi dan privasi, telah termaktub dalam teknologi yang kini tengah naik daun bernama Blockchain. Blockchain, merujuk tulisan Marco Iansiti dari Harvard Business Review, merupakan teknologi “yang berpotensi menciptakan landasan baru bagi sistem sosial dan ekonomi.”
Teknologi yang diperkenalkan pada Oktober 2008, saat yang sama dengan perkenalan Bitcoin, yang secara kinerja, bekerja. Blockchain mendesentralisasikan basis data ke seluruh jaringan yang tergabung dengannya. Data yang disebarkan, telah terlebih dahulu dienkripsi.
Ketika data baru ditambahnya, seluruh komputer yang terlibat dalam jaringan berkewajiban memverifikasi data itu. Semakin besar pihak yang bergabung, semakin sulit Blockchain diretas. Ini terjadi karena faktor desentralisasi dan verikasi jumbo yang dimiliki Blockchain.
Namun, upaya Kim Dotcom menggusur WWW dengan MegaNet bukan perkara mudah. Ada layanan-layanan internet yang hobi mengumpulkan data pribadi penggunanya demi keuntungan finansial mereka.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra