tirto.id - Bagi pelanggan Go-Jek, setiap membuka aplikasi itu lalu memilih Go-Ride atau Go-Car, di kolom lokasi penjemputan seringkali sudah terisi alamat. Sementara di kolom tujuan, ada tiga alamat yang salah satunya adalah tujuan si pelanggan.
Isian pada kolom penjemputan dan tujuan itu biasanya tepat, meski sesekali keliru. Jika sudah tepat, si pelanggan tak perlu repot-repot memasukkan lagi secara manual. Ia cukup hanya menekan tombol pesan atau order.
Dari pola perjalanan dan pesanan yang setiap hari dilakukan si pelanggan, Go-Jek menganalisis dan menebak di mana lokasi si pelanggan saat itu, dan akan ke mana ia pergi. Go-Jek punya tim khusus yang pekerjaannya menganalisis data hingga tebakan bisa benar. “Untuk menebak itu saja kami punya depan orang, mahal-mahal lagi [gajinya],” kata Nadiem Makarim, pendiri sekaligus CEO Go-Jek, Rabu (9/8).
Go-Jek memiliki data sedemikian banyak yang mereka sebut big data. Ia berisi data pribadi, rekam jejak perjalanan, jenis makanan yang dibeli, daftar belanjaan, jenis obat yang digunakan, jadwal pijat, hingga jadwal mencuci kendaraan.
Data itu tentu saja tidak dibuang, sebab ia sangat berharga. Ia disimpan dan dimanfaatkan. Bisa “menebak” adalah salah satu manfaat big data bagi Go-Jek. Lalu, apa manfaatnya secara bisnis?
“Kalau kami bisa menebak, Anda enggak perlu banyak klik. Semakin sedikit klik, Anda makin senang dan semakin adiktif [dengan aplikasi Go-Jek],” jelas Nadiem.
Menebak lokasi dan tujuan, lanjut Nadiem, tak begitu rumit. Yang rumit adalah menebak pengguna aplikasi mau makan apa. Dengan memanfaatkan big data, Go-Jek bisa menebak penggunanya menyukai satu jenis makanan tertentu meskipun ia belum pernah mencoba makanan itu.
Nadiem menjelaskan dengan singkat cara kerjanya. Misalkan ada satu orang pengguna aktif Go-Food di Kemang yang sering sekali memesan ayam goreng KFC, Crepes, dan pisang goreng Bu Nani. Pelanggan lain yang tinggal di Kuningan juga sering sekali memesan tiga jenis makanan itu.
Lalu suatu waktu, pelanggan di Kemang memesan jenis makanan baru dan dipesan cukup sering. Aktivitas satu jenis makanan yang cukup sering, menandakan seseorang menyukai makanan itu. Oleh karena pelanggan di Kemang itu suka jenis makanan baru itu, kemungkinan besar pelanggan di Kuningan juga menyukainya karena selama ini mereka menunjukkan pola selera yang serupa.
“Kalo saya bisa suggest makanan baru yang 90 persen Anda pasti suka, Anda akan anggap aplikasi saya teman yang merekomendasikan makanan kepada Anda, sehingga Anda enggan berpindah ke aplikasi lain,” ungkap Nadiem. Dengan memanfaatkan big data, Go-Jek menyasar loyalitas konsumen.
Hal lain yang bisa dilakukan Go-Jek dengan big data yang berisi data behaviour konsumen adalah mengatur siapa mendapatkan pesanan apa. Nadiem menyadari, driver yang menjadi mitra Go-Jek kerap memilih-milih pesanan. Ada driver yang menghindari pesanan di restoran tertentu di jam-jam tertentu. Adapula yang kerap membatalkan pesanan jika mendapat pesanan ke arah tertentu.
Big data bisa digunakan untuk mengatur agar driver mendapatkan pesanan yang tidak akan dibatalkannya. Misal, driver A tidak pernah mau ambil pesanan di satu restoran pada jam 7-9 malam. Maka ke depan, driver itu tak akan diberikan lagi pesanan Go-Food di restoran itu.
Selain tidak mengecewakan konsumen, dengan begitu, Go-Jek juga tak perlu terus-menerus mensubsidi driver untuk memotivasi mereka mengambil pesanan-pesanan yang mereka enggan. Ujung-ujungnya, efisiensi bagi keuangan Go-Jek.
Go-Jek didirikan sejak tahun 2010. Per April tahun ini, total mitra driver Go-Jek mencapai sekitar 250 ribu. Agustus tahun lalu, perusahaan yang mengklaim aplikasinya diunduh 25 juta pengguna ini telah sah menjadi unicorn pertama di Indonesia setelah mendapat suntikan dana 550 juta dolar atau setara Rp7,2 triliun.
- Baca Juga: Go-Jek, Unicorn Pertama di Indonesia
Nadiem punya rencana lebih besar lagi tentang penggunaan big data. Ke depan, Go-Jek bisa saja bekerja sama dengan bank atau fintech untuk menentukan seseorang layak menerima kredit atau tidak. Dari data behaviour seseorang, bisa ditelusuri, apakah ia sudah berkeluarga, penghasilannya berapa, dan apakah ia bertanggung jawab untuk mengembalikan uang.
“Untuk tahu seseorang berkeluarga atau tidak sebenarnya bisa saja dilihat dari orderan Go-Food-nya,” kata Nadiem. Apabila seseorang memesan makanan dengan alamat tujuan di sebuah rumah, dan pesananannya selalu lebih dari satu atau dua porsi makanan, maka kemungkinan besar dia sudah menikah dan berkeluarga meskipun ada kemungkinan ia tinggal bersama orangtuanya.
Rencana Nadiem ini agak bertentangan dengan pernyataannya terkait dengan ajakan kerja sama dari Bank Indonesia dalam pemanfaatan big data. Bank sentral di Indonesia itu tengah menjajaki peluang kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Go-Jek untuk bisa membuat satu big data yang kemudian akan digunakan BI sebagai salah satu acuan pertimbangan dalam membuat kebijakan.
Nadiem menyatakan menyatakan akan mendukung apapun rencana BI. Tetapi data yang akan dibagikannya adalah data agregat, bukan data individu, kecuali ada tindakan kriminal seperti pencucian uang.
Jika rencana Nadiem bekerja sama dengan bank dan fintech dalam membaca kelayakan menerima kredit itu benar terjalin, maka data yang akan dibagikan Go-Jek ke bank dan fintech tak lain adalah data personal, sebab penyaluran kredit sifatnya perorangan.
Benturan dengan Keamanan Data Pribadi
Penggunaan big data oleh Go-Jek tentu akan mempermudah konsumen dan menguntungkan perusahaan secara bisnis. Tetapi bagaimana dengan perlindungan data pribadi konsumen?
Nadiem mengklaim pihaknya tidak akan pernah menjual data konsumen. Semua data akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen. Tetapi, apa jaminannya? Siapa yang tahu data pribadi konsumen aman atau tidak di tangan Go-Jek? Apakah konsumen dimintai persetujuan ketika Go-Jek hendak membagikan datanya ke pihak lain seperti perbankan?
Firdaus Cahyadi dari Satu Dunia menilai dari segi hubungan driver dan pengguna saja, Go-Jek dan layanan transportasi online lainnya tidak begitu tegas soal data pribadi. Para driver ini memiliki nomor handphone pengguna aplikasi. Kepemilikan no HP itu memang memudahkan komunikasi antara keduanya. Tetapi, di sisi lain, ia bisa saja disalahgunakan oleh kedua belah pihak, baik pengguna maupun driver. Tak sedikit kasus teror yang dihadapi pengguna aplikasi karena memberi peringkat buruk kepada driver.
Ia berbeda dengan model pemesanan taksi di masa lalu. Saat memesan taksi, pengguna menelepon operator, lalu memberitahu kepada pengguna estimasi ketibaan taksi. Si supir taksi tak tahu nomor telepon pengguna, begitu juga pengguna. Hanya operator yang tahu. Model pemesanan ini mungkin tampak tidak praktis, tetapi ia menjamin kerahasiaan data antara supir dan pengguna. Karena supir dalam model bisnis itu hanyalah mitra.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memprakarsai dibuatnya Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi. Ia masuk dalam proyek Program Legislasi Nasional Tahun 2015 – 2019. Rancangan undang-undangnya pun telah disiapkan.
Pasal 6 ayat (3) RUU Perlindungan Data Pribadi juga mengatur data pribadi yang bersifat spesifik seperti agama atau keyakinan, data kesehatan, biometik, genetika, kehidupan seksualitas, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, keterangan tentang kecacatan fisik dan mental. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat mengusulkan agar dimasukkan data pekerjaan.
Akan tetapi, sampai saat ini, saat data pribadi kita bertebaran di mana-mana dan terancam disalahgunakan, RUU itu belum disahkan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti