tirto.id - Saat belanja online, seorang pembeli harus memasukkan data pribadinya. Nama, alamat, nomor telepon, email, adalah data yang biasanya wajib dimasukkan. Ketika melakukan pembayaran, jika pembeli memilih metode pembayaran kartu kredit, maka ia juga akan memasukkan data kartu kreditnya.
Sekali berbelanja online di satu situs, data pribadi pembeli sudah dimiliki oleh pemilik toko atau market place. Jika dia rutin berbelanja di situs itu, maka data behaviour pembeli terkait dengan produk yang dibeli dan intensitas belanja juga masuk ke database toko online itu.
Apabila si seseorang membeli tiket pesawat atau kereta api dari agen perjalanan online. Maka data yang dimasukkan lebih terperinci lagi. Tak hanya nama, alamat, dan no telepon, tetapi juga no KTP atau paspor. Data perjalanannya pun akan terekam, apalagi jika ia terus-menerus menggunakan satu agen perjalanan wisata online dalam memesan tiket dan hotel.
Ketika seseorang memesan taksi atau ojek online, memesan makanan, semua data pembelian hingga data mobilitas sehari-hari juga akan ikut terekam.
Segala status, ocehan, dan apapun yang dibagikan di berbagai platform media sosial juga akan menjadi rekaman tentang diri seseorang. Semua informasi tentang lokasi rumah dan perusahaan, pendidikan, pekerjaan, hingga pandangan politik bisa terlacak dari akun media sosialnya.
Semua data-data itu jika dikumpulkan akan menjadi satu kesatuan data yang besar, beragam, dan kompleks. Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia ingin mengoptimalkan penggunaan big data itu untuk lebih memahami agar keputusan dan kebijakan terkait dengan moneter yang dikeluarkan bisa lebih efisien.
“Data yang sangat besar tersebut menyimpan begitu banyak informasi dan pengetahuan yang apabila diolah dengan baik, dapat memberikan manfaat luar biasa,” ujar Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Marto, Rabu (9/8), dalam sebuah seminar nasional tentang big data. Seminar itu dihadiri pelaku usaha lintas industri yang memiliki kaitan dengan data dan teknologi seperti perbankan, fintech, dan e-commerce.
Agus menyatakan bahwa secara resmi, BI telah memulai implementasi penggunaan big data dengan menggandeng portal-portal penyedia lapangan pekerjaan. Dari data yang ada pada seluruh portal penyedia lapangan kerja itu, BI bisa menyusun indeks lapangan kerja.
Selain indeks lapangan kerja, beberapa pilot project BI dalam menggunakan big data telah menghasilkan proksi indikator pasar properti, pemetaan perilaku dan proyeksi aliran dana asing di pasar SBN, identifikasi struktur keterkaitan pelaku siste pembayaran, dan proksi indikator supply dan demand pembiayaan perbankan.
Ke depan, BI akan menggandeng lebih banyak pihak. Menurut Agus, data yang berjumlah sangat besar itu sayang sekali jika tidak dimanfaatkan dengan baik.
Oleh sebab itu, Bank Indonesia akan menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga untuk menghimpun big data dan mengolahnya. Data seperti apa yang akan diambil BI?
“Semuanya, data pribadi, data secara umum, data behaviour, semua itu akan dikumpulkan dalam big data,” kata Agus. Dia menyadari, untuk mewujudkan rencana itu, akan ada benturan hukum terkait dengan kerahasiaan data.
Agus kemudian menegaskan bahwa dalam setiap kerja sama, ada klausul yang menyatakan bahwa BI tak boleh menyebarkan data pribadi. Akan tetapi, BI akan mengambil semua data itu untuk kepentingan analisis.
- Baca juga: Bisakah Data Pribadi Kita Aman?
Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia, Yati Kurniati menyatakan pihaknya sedang dalam proses memulai kerja sama dengan beberapa e-commerce besar. “Beberapa sudah tanda tangan disclosure agreement untuk mengakses data secara rutin," katanya.
Ada sekitar delapan fintech, e-commerce, dan lembaga yang sudah menyepakati kerja sama dengan BI. Yati mengatakan saat ini pihaknya juga sedang menjajaki kerja sama dengan Go-Jek.
Menanggapi ini, pendiri dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengatakan menyambut baik rencana BI. Akan tetapi, pihaknya keberatan jika harus membagikan data pribada konsumen maupun pedagangnya. “Yang akan kami share hanya data agregat dan data behaviour, tapi tidak data per individu seperti siapa membeli apa,” katanya.
Hal senada diungkapkan Nadiem Makarim, pendiri dan Ceo Go-Jek. “Gojek tidak akan memberikan akses terhadap data individu pengguna maupun driver kecuali ada tindakan kriminal seperti money laundering dan lainnya,” jelas Nadiem kepada Tirto.
Bagi otoritas dan pelaku industri, data adalah sumber daya baru yang sangat berharga. Sama berharganya seperti minyak dan emas di masa kejayaannya. Data is the new oil.
Bagi pelaku bisnis, data bisa digunakan untuk target marketing yang tepat sehingga penjualan bisa meningkat. Bagi pemerintah dan lembaga seperti Bank Indonesia, big data bisa digunakan untuk memetakan kebijakan.
Tetapi bagi masyarakat, ia bisa jadi mengerikan. Terlebih karena beleid tentang keamanan data pribadi di Indonesia belum ada. Sekelas menteri saja bisa membocorkan data pribadi salah satu warganya. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebarkan KTP Veronika Koman—seorang aktivis—di grup yang berisi para wartawan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memprakarsai dibuatnya Undang-undang tentang Perlindungan data Pribadi. Ia masuk dalam proyek Program Legislasi Nasional Tahun 2015 – 2019. Rancangan undang-undangnya pun telah disiapkan.
Pasal 6 ayat (3) RUU Perlindungan Data Pribadi juga mengatur data pribadi yang bersifat spesifik seperti agama atau keyakinan, data kesehatan, biometik, genetika, kehidupan seksualitas, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, keterangan tentang kecacatan fisik dan mental. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat mengusulkan agar dimasukkan data pekerjaan.
Dhyta Caturani, aktivis yang kerap mengadvokasi isu privasi dan keamanan digital, menganggap konsep big data ini bisa menjadi hal mengerikan. Terutama bagi kalangan aktivis atau wartawan yang biasanya sering mengkritisi pemerintah atau pihak tertentu. Menurut Dhyta, kalau satu perusahaan atau lembaga pemerintah bisa memetakan banyak hal dari big data, maka mereka juga bisa membuat data profil dirinya. “Ini mengerikan,” katanya.
Seperti yang digambarkan Dave Eggers dalam novelnya The Circle, dunia digital membuat segala hal menjadi transparan dan tampak memudahkan kehidupan manusia. Tetapi ia bisa membuat masyarakat kehilangan privasinya.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti