tirto.id - Korban ditemukan tanpa busana di kamar apartemen. Biasanya terdapat konten pornografi di sekitarnya: video yang masih menyala, majalah yang sudah terbuka, dan lain sebagainya. Tak ada surat perpisahan layaknya pelaku bunuh diri. Kadang mayatnya bahkan tak perlu dibawa ke bagian forensik.
Polisi Jerman, merujuk laporan Bild yang dikutip RT, menyimpulkan kematiannya tak disengaja, dan terjadi saat si korban sedang asyik bermasturbasi. Masturbasi yang dimaksud adalah jenis yang ekstrem. Yang di luar teknik normal yang biasa laki-perempuan lakukan. Yang menurut penelitian Dr. Harald Voss membunuh antara 80 hingga 100 orang Jerman per tahunnya. Setara dengan satu atau dua orang per satu juta penduduk.
Voss adalah peneliti asal negara bagian Brandenburg yang mendedikasikan perhatiannya pada aktivitas memuaskan diri sendiri itu sepanjang tiga dekade belakangan. Riset yang baru-baru ini ia ungkapkan ke media tergolong temuan langka. Selama ini Voss hanya bermain perkiraan. Kasusnya jarang dilaporkan ke pihak yang berwenang.
Masturbasi ekstrem dijalani oleh orang dari beragam usia, tapi Voss menemukan mayoritasnya adalah laki-laki. Perempuan, menurutnya, “lebih berhati-hati”. Para pelaku merasakan kondisi tak berdaya sekaligus berbahaya. Namun kondisi itu justru membuat masturbasi lebih nikmat. Layaknya candu, mereka menjalaninya terus-menerus, tanpa sadar sedang menapaki sebuah gaya hidup yang mengancam nyawa.
Teknik pembunuh nomor satu, masih mengutip Voss, adalah sesak napas erotis atau “autoerotic asphyxiation”.
Sesak napas erotis adalah kesengajaan membatasi aliran oksigen ke otak untuk mendapatkan sensasi sensual khusus. Nama lainnya banyak: asfiksia, autoertik, hipoksifilia. Intinya adalah permainan mengontrol napas. Asosiasi Psikiater Amerika menggolongkannya sebagai paraphilia atau pengalaman seksual yang intens terhadap objek, situasi, fantasi, atau perilaku yang tidak lazim.
John Curra adalah salah seorang sosiolog yang pernah menerbitkan buku tentang beragam jenis penyimpangan sosial bertajuk The Relativity of Deviance. Di dalamnya Curra menjelaskan sesak napas erotis sebagai berikut:
“Arteri karotid (di kedua sisi leher) membawa darah kaya oksigen dari jantung ke otak. Bila ditekan, seperti dengan teknik dicekik atau diikat tali, terjadi akumulasi karbondioksida sekaligus kehilangan oksigen secara mendadak di otak. Hal ini meningkatkan perasaan pusing, ringan kepala, dan nikmat, yang kesemuanya akan meningkatkan sensasi dalam masturbasi.”
Hipoksia (kekurangan pasokan oksigen di sel dan jaringan tubuh) temporer, jika digabungkan dengan orgasme, bisa melahirkan efek halusinasi yang seadiktif konsumsi obat-obatan terlarang. Analoginya begini: jika Anda pernah mencicipi makanan yang amat-sangat enak, Anda tak akan puas jika makanan selanjutnya punya rasa yang biasa-biasa saja.
Ada satu cerita yang menyatakan bahwa sesak napas erotis sudah dipraktikkan orang-orang Eropa pada abad ke-17. Mulanya dipakai untuk menyembuhkan disfungsi ereksi. Mereka memperhatikan bahwa penis korban hukum gantung ternyata menegang. Perkembangan sains menyatakan ereksi tersebut bukan karena hipoksia. Namun, teknik pencarian orgasme juga berkembang. Lalu muncullah sesak napas erotis.
Sembari menstimulasi alat kelamin, ada yang melakukannya dengan cara mencekik leher (memakai tangan sendiri atau tangan pasangan). Ada yang memanfaatkan tali, sabuk, dan benda-benda semacamnya. Ada yang membungkus kepala dengan kantong plastik, menekan dada, atau ragam kombinasinya. Kadang ada yang memakai perangkat khusus, yang aneh dan kompleks, tapi tetap dibuat demi menghasilkan efek yang diinginkan.
Banyak lembaga kesehatan yang menegaskan betapa berbahayanya praktik tersebut. Meski tak sebanyak di Jerman, kasus serupa juga ditemukan di negara-negara Skandinavia. Di Amerika Serikat, contoh lain, korban kematian akibat sesak napas erotis pada pertengahan 1990-an mencapai 250-1.000 orang per tahun (angkanya kerap berbasis perkiraan sebab kasusnya jarang dilaporkan ke otoritas berwenang).
Mengutip data Biro Investigasi Federal AS yang dilaporkan ABC News, korban sesak napas erotis yang meninggal per tahun mencapai 500-1.000 orang. Kebanyakan korbannya adalah laki-laki. Banyak kasusnya yang disimpulkan oleh kepolisian sebagai pembunuhan (oleh pihak kedua/ketiga) atau bunuh diri.
Kematian yang timbul karena pelaku masturbasi telat mengirimkan oksigen ke otak akibat cekikannya terlalu lama. Sebelum sempat melepaskan tali, atau kantong plastik, atau peralatan lain, ia keburu tak sadarkan diri, lalu meninggal.
Masih melansir ABC News, kepala departemen kesehatan seksual di University of Minnesota Eli Coleman mengatakan jejak sesak napas erotis pada perempuan lebih samar. Pada kasus yang tak dilaporkan biasanya karena keluarga korban malu. Apa yang terjadi dianggap sebagai aib yang tak perlu ke luar rumah. Si pelaku sesak napas erotis juga biasanya merahasiakan gaya hidupnya dari orang-orang terdekat.
“Banyak yang di luar terlihat normal, namun sebenarnya menyimpan keinginan untuk mencari orgasme lewat teknik berbahaya itu. Jika tak dilampiaskan biasanya akan muncul tanda-tanda kegelisahan. Dan karena ini bukan sesuatu yang lazim, plus ada stigma negatif untuk tindakan masturbasi sendiri, pelaku sering merasa bersalah dan malu, namun tak mampu menghentikan kebiasaannya.”
Coleman mengatakan ada banyak aktor yang mempraktikkan sesak napas erotis. Salah satu korbannya adalah David Carradine yang pada era 1970-an membintangi serial televisi terkenal, Kung Fu. Ia bermain di lebih dari 100 film, termasuk Kill Bill(2003) yang disutradarai sineas legendaris Quentin Tarantino.
Pada tahun 2009 Carradine ditemukan tak bernyawa di kamar hotelnya di Bangkok, Thailand. Ia ditemukan telanjang dengan tali di sekeliling lehernya. Doktor menyatakan kematiannya disebabkan oleh praktik sesak napas erotis yang secara tak sengaja membunuh diri sendiri. Kemungkinan besar Carradine saat itu sedang sendirian, sehingga tak ada yang membantunya saat kesesakan napas berubah menjadi ancaman nyawa.
Enak Boleh, Aman Wajib
Masturbasi adalah praktik yang alamiah. Hewan pun melakukannya. Dahulu dogma agama dan ideologi konservatif lain mengkriminalisasinya. Namun, era modern justru menyatakan sebaliknya: masturbasi adalah kebiasaan yang positif, baik untuk fisik maupun mental. Pokok pentingnya: tentu jika tidak dilakukan secara berlebihan, pun menggunakan teknik atau benda yang berbahaya.
Dalam wawancara bersama Vice, Dr. Richard A. Santucci, kepala urologi di Detroit Receiving Hospital, masturbasi pada laki-laki (sering diistilahkan dengan 'onani') bisa menimbulkan patah penis jika dilakukan secara ekstrem.
Penis tak bertulang, tapi punya inti dalam bernama “korpus kavernosum” yang bisa patah atau pecah jika gerakan onaninya terlalu heboh. Penis seseorang bisa bengkok, diiringi rasa sakit seakan si alat kelamin dipukul palu godam. Penis akan menggelembung seperti terong, dan petugas di rumah sakit harus melakukan operasi pembedahan untuk mengobatinya.
Dalam kasus perempuan, masturbasi yang ekstrem kadang melibatkan benda-benda pengganti penis (sex toys). Ada satu kasus yang dialami perempuan di California pada 2011 silam, di mana alat bantuan seks yang ia pakai untuk masturbasi ternyata melukai bagian dalam vaginanya. Sang pacar segera menelepon 911, sementara darah membanjiri ranjang dan si perempuan mengerang kesakitan.
Si perempuan yang lemas dilarikan ke rumah sakit dan kembali normal usai mendapatkan transfusi darah. Pendarahan yang ia alami ternyata berasal dari luka pada bagian arteri yang terletak di dalam perut bagian bawah. Arteri tersebut bisa pecah jika terkena benda yang dimasukkan ke vagina (dan anus).
Bagi kaum adam, jangan pula memasukkan benda-benda kecil-panjang ke saluran kencing. Percaya atau tidak, ada yang melakukannya sebab dirasa nikmat untuk kepentingan onani. Kasus yang berakhir dengan darah, sakit, dan pertaruhan masa depan si korban sudah banyak.
Masturbasi memang menyenangkan, kata Santucci, tapi sebagaimana kebiasaan lain, metodenya perlu diperhatikan dengan seksama. Soal teknik mungkin bisa berbeda-beda, alias tergantung selera. Namun, tentang keamanan, tanyalah kepada diri sendiri:
“Sejauh mana batas metode masturbasi yang perlu saya pasang agar alat kelamin tetap sehat di masa depan dan nyawa tak melayang?”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf