tirto.id - Selama ini, cukup lazim pandangan yang menyebut ejakulasi dan orgasme sebagai gol atau pencapaian kenikmatan dalam suatu pengalaman seksual. Meski begitu, apakah keduanya selalu punya hubungan sebab-akibat dengan kesenangan?
Ejakulasi, baik pada laki-laki dan perempuan, ditandai dengan keluarnya cairan dari alat kelamin saat seseorang melakukan aktivitas seksual, baik sendiri maupun dengan pasangan.
Nah,berbeda dari ejakulasi yang cenderung mudah dideskripsikan, definisi orgasme masih mengundang variasi pendapat.
Orgasme berasal dari kata dalam bahasa Yunani, ὀργασμός—dibaca orgasmós. Oxford English Dictionary mendefinisikannya sebagai klimaks kesenangan seksual yang ditandai dengan rasa nikmat pada bagian alat kelamin, dan pada laki-laki diiringi dengan ejakulasi.
Sebagian pakar medis sepakat, orgasme ditandai dengan terjadinya kontraksi otot pada bagian genitalia ketika mencapai klimaks aktivitas seksual. Selain itu, orgasme juga memicu keluarnya senyawa-senyawa kimia di otak yang bisa mengirimkan sinyal positif pada tubuh kita, seperti dopamin (hormon kenikmatan), oksitosin (hormon perasaan cinta) dan endorfin (pereda rasa nyeri).
Apakah orgasme bisa diraih dengan ejakulasi? Hmm, tergantung masing-masing, sih.
Ada yang merasa keduanya bisa datang beriringan, ada juga yang sama sekali tidak berejakulasi ketika mencapai orgasme.
Lembaga riset dan layanan kesehatan nonprofit di AS, Mayo Clinic, menyebut definisi yang terakhir dengan istilah dry orgasm, yaitu keadaan ketika seorang laki-laki mencapai klimaks seksual tapi tidak mengeluarkan cairan semen dari penis alias berejakulasi. Perempuan pun dapat merasakan hal serupa: mendapat orgasme tetapi tidak mengeluarkan cairan dari vagina.
Meskipun pakar menekankan kaitan erat orgasme dengan pencapaian kenikmatan atau kesenangan, sebenarnya ada pandangan alternatif. Iya, ada sejumlah temuan lain yang menyebut orgasme dan kesenangan tak melulu datang bersamaan.
Bisa saja ada orang yang meraih kesenangan seksual kendati tidak sampai orgasme. Sebaliknya, ada pula yang sudah sekian kali merasakan orgasme tetapi tidak bisa meraup kesenangan dari situ. Let’s check it out!
Bisa Klimaks, Tapi Gagal Meraih Kesenangan
Ada suatu istilah untuk mendeskripsikan kondisi seseorang ketika berhasil mencapai klimaks namun gagal meraih kesenangan: sexual/ orgasmic anhedonia.
Anhedonia itu sendiri merupakan kondisi mental yang membuat seseorang tidak bisa merasakan kesenangan dari hal-hal yang umumnya dianggap menyenangkan, misalnya ketika meraih prestasi, diapresiasi, diterima atau dikenal orang lain.
Orgasme yang tidak bersinonim dengan pencapaian kesenangan ini diperkuat lewat definisi PDOD oleh International Society for the Study of Women’s Sexual Health yang disinggung dalam studi di Journal of Sexual Medicine (2016). Di situ dipaparkan bahwa gangguan orgasme tersebut bisa terlihat dari ketiadaan atau minimnya kesenangan yang didapat saat terjadi orgasme.
Apa saja sih faktor yang bisa memicu anhedonia?
Dilihat dari aspek fisiknya, gangguan senyawa kimia pada otak seperti dopamin bisa menyebabkan kondisi ini. Pengidap PDOD masih bisa menerima rangsangan seksual, tapi dia akan kesulitan merasakan kesenangan karena bagian otak yang menangkap rangsangan tersebut gagal memprosesnya jadi sensasi senang.
Selain itu, sebagaimana dipaparkan dalam buku The Textbook of Clinical Sexual Medicine (2017), PDOD bisa diakibatkan oleh konsumsi obat-obatan tertentu, seperti antidepresan atau kontrasepsi oral.
Tingginya level prolaktin (hormon untuk meningkatkan produksi ASI, pertumbuhan payudara dan pengaturan siklus haid) dan rendahnya level testosteron (hormon untuk mengatur libido dan gairah seksual), riwayat mengalami cedera sumsum tulang belakang dan masalah medis kronis lainnya merupakan faktor fisiologis lain yang berpengaruh terhadap kondisi anhedonia.
Sebenarnya, bukan tidak mungkin di masa lalu pengidap PDOD pernah merasakan kesenangan saat bersenggama. Hanya saja, hal-hal yang menekan tombol kesenangan pada otak bisa bergeser seiring waktu sehingga seks tidak lagi menjadi bagian darinya.
Archibald Hart, penulis Thrilled to Death: How the Endless Pursuit of Pleasure Is Leaving Us Numb (2007), mengilustrasikannya dalam contoh berikut. Ketika seorang laki-laki terhanyut dalam dunia kerja, aktivitas seksual bisa saja tidak membuat dia senang.
Pikirannya sudah telanjur diwarnai dengan bayangan kesuksesan-kesuksesan di kantor—seolah-olah urusan kerja sudah membajak pusat kesenangan di otak. Alhasil, orgasme tak lagi membuahkan sukacita dalam diri orang tersebut.
Relasi dengan Pasangan dan Orgasme Palsu
Apa jadinya jika kesulitan mencapai kesenangan dari aktivitas seksual ini dialami orang yang sudah punya pasangan? Tentu saja timbul masalah dalam relasi mereka. Pasangan pengidap PDOD bisa dibuat merasa kecil hati karena merasa gagal menyenangkan lawan mainnya di ranjang.
Kalaupun pasangan pengidap PDOD tak tahu partner senggamanya gagal mencapai kesenangan, kemungkinan ya karena si pengidap PDOD menutupi kondisi psikisnya dengan berpura-pura orgasme.
Pura-pura orgasme?
Yes, praktik itu nyata adanya—dan kebanyakan yang melakukan adalah kaum hawa.
Cooper menuturkan, orgasme palsu ini bisa juga terjadi karena perempuan merasa tidak nyaman atau kesulitan mencari cara untuk mendiskusikan perkara seks dengan pasangan.
Sementara menurut profesor psikologi dari University of Kansas, Charlene Muehlenhard, pemalsuan orgasme bisa juga dilakukan apabila seseorang merasa senggama dengan pasangan tak kunjung selesai dan sudah kadung capek.
Di samping itu, keadaan tak kunjung orgasme atau “terlihat senang” dari aktivitas seksual bisa terjadi karena seseorang tak tahu bagian tubuh pasangannya yang bisa merasakan sensasi seksual paling kuat.
Pendek kata, ketika ekspektasi dan realita seks tidak sejalan, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi memalsukan orgasme.
Anggapan bahwa seks tidak akan paripurna sebelum mencapai orgasme sayangnya akan tumbuh subur apabila orgasme terus-menerus digeneralisasi melalui definisi konvensional.
Kalau begitu, ada baiknya sekarang kita mulai memahami, bahwa beberapa orang bisa saja mencapai kenikmatan seksual di luar indikator-indikator segelintir pakar medis semata.
*Artikel ini pernah tayang di https://tirto.id/dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih