tirto.id - Pemerintah akan memberlakukan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Aturan itu mewajibkan setiap barang harus mengantongi sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah badan baru di bawah Kementerian Agama, mulai 17 Oktober 2019.
Namun, ketentuan ini dinilai Kementerian Perindustrian dapat menimbulkan masalah. Pasalnya, jaminan halal ini dianggap berlaku untuk segala jenis barang yang beredar. Tidak hanya makanan-minuman dan obat, tetapi benda seperti kacamata, bahkan produk seperti majalah hingga kulkas.
Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 memang mewajibkan itu. Para pelaku usaha juga menginginkan jaminan halal ini dengan alasan daya saing baik bagi pembeli domestik maupun asing seperti negara di Organisasi Kerja sama Islam (OKI). Padahal, produk-produk tersebut sejatinya tidak terlalu memerlukan sertifikat halal, seperti misalnya kacamata.
"Bayangkan, kacamata itu apa sih hubungannya [dengan sertifikat halal]? Baju masih mending. Tapi dia ngoyo dan minta ke MUI. Jadi bukti memang kalau ada sertifikat halal memang daya saingnya," ungkap Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kemenperin, Gati Wibawaningsih, kepada wartawan saat ditemui di Hotel Mercure Padang, Sumatera Barat Selasa (8/10/2019).
Namun, lanjut Gati, semangat sertifikasi halal untuk semua barang itu bisa memunculkan masalah dari pihak pemberi sertifikat halal.
“Kenapa halal penting? Ada perusahaan kacamata, Atala. Kacamata hubungannya sama halal apa? Tapi dia apply sertifikat halal. Tahu enggak yang bingung apa? MUI-nya bingung. Karena enggak ada lab-nya,” ucap Gati.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menepis pesimisme tersebut, dan menegaskan bahwa lembaganya siap menjalankan sertifikasi ini. Menurutnya, laboratorium bukan unsur utama, tetapi pendukung jika ada kasus tertentu. Fasilitas laboratorium bisa menggunakan milik PTN dan Kementerian serta Lembaga dengan akreditasi ISO17025 di seluruh Indonesia.
Sukoso memastikan tidak ada batasan untuk produk yang bisa mendapat sertifikasi. Sebab ketentuan ini sudah diatur dalam pasal 1 UU No.33/2014 bahwa definisi produknya tidak hanya produk makanan dan minuman, serta kosmetik yang dibuat secara biologi hingga kimiawi.
"Baca UU 33 Tahun 2014. Pasal 1 barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat," ucap Sukoso dalam pesan singkat yang diterima reporter Tirto, Rabu (9/10/2019).
Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum Janedjri M Gaffar pernah mengatakan bahwa sertifikasi halal yang nanti dimulai pada 17 Oktober 2019 meliputi makanan dan minuman. Untuk standar kehalalan lainnya, akan dilakukan bertahap baik itu obat, barang, sampai jasa.
"Baru kemudian dilanjutkan dengan obat, barang, jasa, penyembelihan, penyimpanan, akan diatur secara bertahap,” ucap Janedjri seperti dikutip dalam keterangan tertulis di ombudsman.go.id Selasa (8/10/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri