tirto.id - Di pengujung masa jabatannya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024 mencabut tiga TAP MPR demi membersihkan nama tigaPresiden Indonesia. Tiga TAP MPR yang dicabut itu yakni terkait pelanggaran kekuasaan Sukarno; pengusutan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme Soeharto beserta keluarga dan kroninya; serta polemik pemberhentian Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
TAP MPR terkait tuduhan pelanggaran Sukarno yang dicabut adalah TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967. Lalu, TAP MPR Nomor 2 Tahun 2001 soal pemberhentian Gus Dur juga dicabut.
Ketiga, nama Soeharto dicabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998. Sebelumnya, dalam Pasal 4, TAP MPR tersebut menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dilakukan terhadap siapa pun, termasuk Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Upaya MPR 2019-2024 mencabut ketiga TAP MPR itu memang ibarat “mencuci” coreng masa lalu tiga sosok Presiden RI. Setelah itu, agenda lain yang juga berkaitan dengan pencabutan TAP MPR itu pun menyeruak.
Agenda lain yang dimaksud adalah usulan untuk memberikan gelar pahlawan nasional bagi Presiden Soeharto. Usulanitu kali ini datang dari Ketua MPR RI periode 2019-2024, Bambang Soesatyo alias Bamsoet, dan ditujukan kepada pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto itu dengan skeptis.
Menurutnya, tidak ada proses peneladanan dan pencerdasan publik terkait dengan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurutnya, upaya pembersihan nama Soeharto lewat pencabutan TAP MPR dan usulan pemberian gelar pahlawan nasional padanya itu sama saja dengan mewariskan dan merawat kejahatan masa lalu.
“Masa kita diwariskan kejahatan kemanusiaan, diberi warisan KKN, terutama oleh anak-anak pejabat. Masa diwariskan sumber daya alam kena eksploitasi. Tidak ada keteladanan [dari gelar pahlawan nasional untuk Soeharto],” kata Herlambang dihubungi reporter Tirto, Rabu (2/10/2024).
Herlambang juga menilai bahwabakal sangat keliru dan ahistoris jika pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Hanya karena Soeharto menjabat Presiden Indonesia amat lama dan sempat membuat ekonomi Indonesia membaik, bukan berarti kesalahan-kesalahannya bisa dilupakan.
Terlebih, kata Herlambang, titel Presiden RI adalah jabatan publik yang dilekati tanggung jawab untuk memimpin Indonesia dengan baik. Maka apabila si penjabat Presiden RI itu membuat kesalahan-kesalahan, dia harus tetap diusut. Begitupun saat berprestasi, dia pantas diberi pujian. Namun, tak ada alasan untuk memberikan gelar pahlawan kepada kepala negara.
“Sama sekali tidak beralasan ya jika seorang Presiden harus dipaksakan mendapatkan gelar pahlawan,” ujar Herlambang.
Sebelumnya, Bamsoet mengklaim bahwa usulan gelar pahlawan untuk Soeharto itu didasarkan apresiasi atas jasa dan pengabdiannya memimpin Indonesia selama 32 tahun. Politikus partai Golkar itu menilai bahwa Soeharto sudah berjasa di bidang ekonomi bagi Indonesia selama jadi Presiden RI.
“Tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang dan oleh pemerintah mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional,” kata Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Antara, Sabtu (28/9/2024) lalu.
Menurut Herlambang, pahlawan nasional adalah gelar dedikasi yang semestinya diberikan hanya bagi sosok pemimpin yang memiliki keluhuran hati serta pengorbanan bagi bangsa. Pahlawan selalu memberikan yang terbaik bagi bangsa, bukan menyengsarakan rakyat luas.
Pahlawan, kata dia, juga selalu taat kepada cita-cita bangsa dan teguh pada konstitusi. Jika pemimpin justru berbuat culas, seperti memperkaya diri, keluarga, kroni, hingga rekan bisnis, sama sekali tak ada kepahlawanan dalam tindak-tanduk tersebut.
“Pahlawan karena peneladanan, bukan karena politik jabatan. Jabatan itu hanya sementara saja, sedangkan keteladanan ada sepanjang waktu,” terang Herlambang.
Di sisi lain, Herlambang malah heran dengan sikap parpol-parpol di Senayan yang diam saja saat MPR mencabut TAP MPR terkait Soeharto. Menurutnya, diamnya parpol-parpol itu adalah suatu bentuk sikap ahistoris.
“Ini kan ahistoris. Misalnya, PDIP yang mengaku Soekarnois, tetapi diam saja pencabutan soal TAP MPR Soeharto. Padahal, yang memenjarakan Soekarno adalah Orde Baru,” terang Herlambang.
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto sebetulnya bukan kali ini saja menyeruak. Wacana ini berkali-kali kempis karena protes dari masyarakat sipil dan sejumlah parpol yang menilai bahwa Soeharto tidak pantas diberikan gelar pahlawan nasional.
Pemerintahan Soeharto selama 32 tahun memang diwarnai gelap-terang. Sebutan “Bapak Pembangunan” sempat disematkan untuknya karena berhasil mengentaskanperekonomianTanah Air dari keterpurukan. Meski begitu, pemerintahan Orde Baru sekaligus diiringi dengan rentetan peristiwa pelanggaran HAM.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, tidak setuju jika seorang bekas kepala negara harus diberikan gelar pahlawan nasional atas jasanya. Dia menegaskan bahwa jabatan Presiden RI adalah tugas yang dimandatkan oleh rakyat sehingga bukan peran luar biasa yang perlu dianugerahi gelar pahlawan.
Terlebih, kata Isnur, usulan pemberian gelar pahlawan kali ini justru bergulir untuk Soeharto yang kepemimpinannya penuh noda hitam. Isnur menyampaikan bahwa sudah banyak sekali riset dan buku yang terbit untuk menegaskan kekejaman pemerintahan Orde Baru.
“Sejarah sudah sangat terang benderang mencatat itu. Kalau Soeharto akan diberikan gelar pahlawan, ini sungguh tidak masuk akal,” ujar Isnur.
Isnur memandang bahwa pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto adalah bentuk pengkhianatan pada agenda Reformasi 1998. Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 juga dinilai sebagai bentuk pembangkangan pada negara hukum dan demokrasi.
Selain itu, kata Isnur, memberikan gelar pahlawan pada Soeharto sama saja abai terhadap sejarah kejahatan kemanusiaan masa lalu. Hal ini akan berlawanan dengan semangat yang sudah dilakukan saat kepemimpinan Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi sudah mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk saat masa kepemimpinan Soeharto.
“Jadi, ide ini [memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto] sangat-sangat tidak etis dan bagian dari enablingkejahatan kemanusiaan,” tegas Isnur.
Memelihara Impunitas
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai bahwa TAP MPR Nomor 11/1998 memang menjadi salah satu batu sandungan terhadap usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Maka saat nama Soeharto dicabut dari TAP MPR ini, wajar bila orang menduga itu dilakukan untuk memuluskan pemberian gelar pahlawan kepada Presiden RI kedua itu.
KontraS menilai, langkah MPR itu seolah memberikan amnesti moral bagi tindakan yang sudah merugikan masyarakat.
Selain itu, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR merupakan kemunduran bagi reformasi yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Ini tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab, tetapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan,” kata Dimas kepada reporter Tirto.
Dalam catatan KontraS, Soeharto bertanggung jawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan HAM berat. Itu belum lagi menghitung dugaan tindak pidana korupsi yang diperkuat eksistensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/205 yang telah menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut Dimas, momentum “pemutihan” nama Soeharto layak dikritisi. Apalagi, dengan mempertimbangkan fakta bahwa Presiden RI Terpilih, Prabowo Subianto, memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Cendana. Jangan sampai penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan.
Di sisi lain, nasib kontras justru mendera para penyintas serta keluarga korban Peristiwa Kekerasan 1965-1966 yang berjuang untuk mendesak negara mencabut TAP MPR XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Sayang, kata Dimas, hingga saat ini aturan tersebut masih menjadi alat operasi negara untuk memperkuat stigma terhadap para penyintas dan keluarga korban kekerasan 1965-1966.
“Pencabutan Soeharto dari TAP MPR jelas memiliki nuansa politik yang menguntungkan kelompok tertentu,” ujar Dimas.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai MPR menciptakan preseden buruk dengan membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Langkah itu dinilai bakal berdampak pada kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil.
“Ini juga menyempitkan ruang gerak korban kejahatan masa lalu untuk menyuarakan hak-hak mereka,” ujar Usman kepada reporter Tirto.
Apalagi, kata dia, langkah MPR itu juga beriringan dengan gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Hal ini secara tak langsung serupapenghinaan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto.
“Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati Reformasi 1998 yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial,” sambung dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi